“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
N ~ Bab 08
Mahar 500 rupiah, tanpa seserahan, meniadakan cincin kawin, enggan sungkeman, tak jua syukuran, begitulah caranya aku dinikahi.
...****************...
Setelah kata sah terucap, pak penghulu meminta calon pengantin wanita untuk mendekat.
“Dhien, ayo!” Mala menggenggam tangan sahabatnya, menyembunyikan air mata yang sudah mendesak ingin berderai.
“Ya.” Dhien berdiri, penampilannya jauh dari kebanyakan pengantin wanita pada umumnya, hanya mengenakan baju kurung warna putih gading milik ibunya yang sudah 5 tahun lamanya tidak dipakai, dengan selendang warna senada.
Sosok sederhana itu berjalan pasti mendekati sang suami, rautnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun selain datar.
Air mata Emak Inong tidak berhenti berderai, hatinya bagai ditusuk ribuan duri, bahkan bernapas pun kesulitan kala melihat penampilan putrinya yang lebih pantas disebut hendak pergi tidur daripada ijab kabul.
‘Malang betul nasib mu Dhien, dinikahi dengan mahar sangat merendahkan padahal mereka berkecukupan, bahkan secuil barang seserahan pun tak diberikan.’
“Sudah Mak! Kita harus kuat, biar tak menambahi beban pikiran Dhien yang sudah berat, agar nya juga fokus mencapai tujuannya!” Amala menggenggam tangan Emak Inong.
“Ya, kau benar Mala.”
'Mengapa hatiku tak nyaman macam ni? Rasanya masih tak ikhlas melihatnya bersanding dengan laki-laki bejat tu!' batinnya begitu berisik, netranya hampir tidak berkedip menatap Dhien yang sedang membubuhkan tanda tangan di buku nikah.
.
.
“Mengapa nya tak menangis ataupun berteriak? Minimal protes lah. Aku tak suka melihat wajah angkuhnya tu!” Winda berisik lirih dan hanya Suci yang dapat mendengar.
“Tak usah risau, sebab nanti malam waktunya dia menangisi nasib malangnya. Setelahnya pasti macam orang gila nya nanti!” balas Suci, lalu dirinya melirik dua sosok pria dewasa yang sudah lama dikaguminya.
“Apa tengok-tengok? Apa mau ku colok mata gatal mu tu! Tak tahu malu betul!” Meutia melototi Suci dan juga Winda, yang sedari tadi sudah dalam pantauan nya.
“Maaf Tia, kami tak bermaksud demikian, hanya hendak menyapa Abang mu saja!” Winda beralasan, berharap Meutia paham.
“Tia Tia Tia … Jangan sok akrab ya, kita tak sedekat itu!” Meutia menatap nyalang dua sosok wanita yang duduk di sampingnya dengan sedikit berjarak.
“Maaf ya Meutia!” ucap Suci dengan nada mendayu, lalu menghadap serta menatap penuh adik dari laki-laki yang dia dambakan. “Apa boleh aku tanya_”
“Tak boleh! Sebab aku lagi malas main kuis tanya jawab. Hadap sana lagi kau! Sakit mataku melihat bibirmu yang merot-merot (miring-miring) kalau cakap di buat-buat!”
Agam menggelengkan kepalanya, tanpa bertanya pun dia sudah tahu bila adik bungsunya itu sedang berulah, lalu tatapannya beradu dengan wanita berwajah sendu yang langsung menunduk malu.
Winda meremas lengan Suci, agar sahabatnya ini tidak lagi meladeni Meutia.
Fikar menatap penuh minat wajah istri yang terlihat sama sekali tidak tersentuh makeup, kemudian dia mengulurkan tangan meminta untuk di salim, tanpa aba-aba langsung saja mencium kening Dhien.
Dada Dhien bergemuruh hebat, giginya bergemeletuk, tetapi dia tetap membiarkan saja, karena belum waktunya.
“Sekarang Bang Fikar dan Kak Dhien, sudah sah menjadi pasangan suami istri baik secara agama maupun negara. Semoga Sakinah Mawadah Warahmah rumah tangganya, serta diberikan keturunan yang sholeh dan sholehah … Aamiin,” ucap pak penghulu, setelah menyelesaikan tugasnya menikahkan pasangan pengantin baru ini.
"Kami hendak pamit dulu, maaf tak bisa lama-lama, sebab ada pasangan lainnya yang juga melakukan ijab kabul pada hari ini.” Pak penghulu dan pak RT berpamitan, menyalami para lelaki, dan menangkupkan tangan ke kaum Hawa.
Agam serta Dzikri juga berpamitan, tidak ikut makan bersama.
Tinggallah keluarga inti beserta mempelai laki-laki, dan tambahan Meutia dan Amala.
“Ck … cuma segini kemampuanmu dalam menjamu tamu, Inong? Sungguh keterlaluan kau! Kami rela datang demi menghadiri pernikahan putri mu, tapi cuma di suguhi oleh menu gulai Ayam, tumis genjer, tauco kembang tahu! Dasar tak berguna! Dari dulu hingga sekarang masih tetap sama, BODOH!” Nek Blet sengaja mencaci maki Emak Inong, agar mantan menantunya ini kehilangan muka.
“Mala, Meutia, tolong angkat semua piring di atas lantai, dan bawa ke amben dapur! Para orang sok kaya ini tak pantas mencicipi masakan olahan tangan kita!” Dhien begitu geram kala ibunya di hina, dia yang memilih duduk dekat dengan Meutia dan lainnya, ikut berdiri dan bergegas membawa peralatan makan untuk disimpan kembali.
“Apa-apaan kau, Dhien? Jangan buat malu!” hardik Ayie, sang bibi.
Meutia begitu semangat mengangkat baskom berisi irisan buah mentimun, bahkan menarik paksa sayap Ayam gulai yang sedang digigit oleh Suci.
“Dasar tak tahu malu! Sudah datang dengan tangan kosong, tapi paling semangat menyantap makanan kami!”
Ramlah, Fikar, dan lainnya, sampai melongo melihat aksi Dhien.
"Ayo kita pulang! Kalau lama-lama disini, yang ada ketiban sial nanti!” Nek Blet begitu murka, dia merasa sangat direndahkan, tidak menyangka kalau kalimatnya barusan ditanggapi serius oleh Dhien.
“Kami tunggu kau di rumah, Dhien! Cepat menyusul! Maaf, tapi memang sengaja tak memberikan tumpangan. Takut kali kami, bila nanti mobil nya menjadi sering mogok karena kau diduduki!” Fikar berkacak pinggang, menatap tajam punggung istrinya yang masih sibuk membawa ceret dan gelas.
“Inong! Kami tak terima diperlakukan hina! Harusnya kau bersyukur karena ada yang bersedia mempersunting anak pembawa sial mu tu!” Nek Blet berteriak seraya menatap tajam Emak Inong yang terlihat tenang.
“Beruntung hanya untuk Anda, Nek Blet! Tapi, buntung ada pada kami! Tak usah sok berlakon paling tersakiti, padahal aslinya kau lah penjahat sesungguhnya! Menukar putriku dengan dua ekor Kambing, menyebarkan fitnah dengan mengatakan dia hamil duluan, belum lagi mengancamnya menggunakan selembar kertas bukti pembelian tanah yang jelas-jelas memanglah haknya!”
“Sekarang, siapa yang tak tahu malu, Nek Blet? Kami atau kalian?” untuk pertama kalinya, ia berani bersuara bahkan menentang dengan tegas.
Badan Nek Blet sampai mundur kebelakang dan membentur dinding, bola matanya nyaris keluar. ‘Apa benar dia Inong? Mengapa tajam betul mulutnya?’
Acara makan bersama itu harus bubar sebelum terlaksana, para tamu pulang dalam keadaan perut lapar. Kue kudapan pun belum sempat mereka cicipi.
Ramlah masih begitu terkejut mendapati kenyataan yang tidak sesuai harapan, sepertinya dia salah dalam memilih pembantu berkedok menantu.
***
"Mala, selama aku tak ada, tolong jaga Emak ya!” pintanya sungguh-sungguh.
“Jangan kau khawatirkan Emak, Dhien! Cemaskan saja dirimu sendiri! Hati-hati dan waspada lah selalu!” Emak Inong berkata tegas, tetapi netranya bergetar menahan tangis.
“Kau tenang saja, Dhien! Emak aman bersama ku! Yang perlu dirisaukan tu dirimu, tolong jangan gegabah, jaga emosi agar tak bertindak ceroboh!” Mala memeluk erat tubuh sahabatnya, yang dibalas tidak kala kuat.
Emak Inong juga melakukan hal yang sama.
.
.
Dengan mengayuh sepeda, kini Dhien sudah sampai di rumah belakang yang terpisah dari bangunan utama, sebuah gubuk yang lebih pantas dikatakan seperti kandang Kambing.
Begitu membuka pintu tidak terkunci, dirinya langsung disuguhi sosok Fikar yang tidak mengenakan baju.
Fikar menyeringai culas, matanya memindai lekuk tubuh Dhien yang sedang membelakanginya, langsung saja dirinya mengelus Burung Emprit nya, lalu berdiri mengikis jarak hendak meremas buah dada sang istri.
Dhien yang peka akan sekitar langsung membalikkan badan, berakhir Fikar memegang pinggulnya.
Dhien berjinjit, mencium sisi leher suaminya. “Harap bersabar sebentar, tunggu aku mempersiapkan diri agar mudah kau masuki!”
"Ternyata kau binal juga macam perempuan gatal diluaran sana!” Fikar meremas bokong Dhien, membiarkan istrinya berlalu ke kamar mandi.
.
.
“Makanlah dulu gulai Ayam ni, sengaja tadi ku sisihkan untuk mu!”
Fikar tidak langsung menurut, terlebih dahulu memperhatikan semangkuk daging ayam campur kentang berkuah santan.
“Kau tak percaya dengan ku? Baiklah ... biar ku coba terlebih dahulu!” Dhien menyendok kentang dan langsung memakannya.
.
.
“Ayah … Dhien lelah, bolehkah menyerah saja …?”
.
.
Bersambung.
semangaat Dhien doaku meyertaimu
tar kembali lagi skalian bawa tiker sm kupi , klo dh End yak. 🤩😘🤗