Menjalin asmara bertahun-tahun tak menjanjikan sebuah hubungan akan berakhir di pelaminan.
Begitulah yang di alami oleh gadis bernama Ajeng. Dia menjalin kasih bertahun-tahun lamanya namun akhirnya di tinggal menikah oleh kekasihnya.
Namun takdir pun terus bergulir hingga akhirnya seorang Ajeng menikahi seorang duda atas pilihannya sendiri. Hingga akhirnya banyak rahasia yang tidak ia ketahui tentang suaminya?
Bagaimanakah Ajeng melanjutkan kisahnya??
Mari kita ikuti kisah Ajeng ya teman2 🙏🙏🙏
Selamat datang di tulisan receh Mak othor 🙏. Mohon jangan di bully, soale Mak othor juga masih terus belajar 😩
Kalo ngga suka ,skip aja jangan kasih rate buruk ya please 🙏🙏🙏🙏
Haturnuhun 🙏🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Sederhana
Jaenah pulang dari pasar sekitar pukul sepuluh setelah di jemput Amri. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol tentang sang putri yang sedang patah hati.
Keduanya tiba di rumah di mana Ajeng sedang menyibukkan diri membuat masakan untuk makan siang keluarga mereka.
"Assalamualaikum, masak apa nduk?", tanya Jaenah sambil mencuci tangan di wastafel.
"Walaikumsalam. Chicken katsu, Bu!", jawab Ajeng. Pekerjaannya di resto cepat saji selama beberapa tahun ini membuat gadis itu terbiasa mencoba resep-resep yang ada di resto nya.
Meski dirinya bukan bagian masak memasak juga sih!!
"Judule ya ayam tepung, Jeng!", sahut bapaknya yang baru masuk ke dapur. Jaenah dan Amri sepakat tak mau membahas soal Ranu lagi. Kecuali kalau Ajeng sendiri yang ingin membahasnya.
"Udah mateng nih Bu, Pak!", kata Ajeng sambil merapikan piring untuk mereka makan.
"Eum...kayake enak!", kata Jaenah.
"Insyaallah enak, Bu! Ajeng kan suka lihat teman-teman dapur masak!", sahut gadis itu berusaha terdengar riang. Meski pun matanya sudah terlanjur sembab.
Amri dan Jaenah menikmati masakan sang putri. Untuk lidah orang kampung seperti mereka, rasanya memang cukup enak. Tapi tetap saja lidah mereka lebih cocok dengan masakan tradisional.
Beberapa menit berlalu ,makan siang mereka usai. Amri mengajak anak dan istrinya untuk sholat dhuhur berjamaah di ruang tengah. Karena rumah kecil mereka tidak memiliki ruang khusus untuk sholat bersama.
Selesai sholat, Amri mengajak Ajeng duduk di teras belakang rumah. Pemandangan belakang rumah adalah kebun milik tetangga juga sebuah gunung yang tampak gagah dan kokoh.
Desa itu memang terkenal sejuk dan sering terjadi hujan. Makanya, hawa di sana cukup dingin dan nyaman untuk melepas penat.
"Pak...!"
Amri menoleh saat anak gadisnya menoleh.
"Kontrak kerja Ajeng habis bulan depan."
Amri mengangguk dan masih mendengarkan lagi apa yang akan Ajeng sampaikan.
"Awalnya...Ajeng ingin cari kerja di sini saja. Tapi....", Ajeng menjeda ucapannya karena ia mengusap sedikit air mata yang mengembun.
"Tapi rasanya Ajeng belum siap kalau harus melihat Mas Ranu dengan calonnya. Apa ya ...Ajeng rasa ...untuk ikhlas itu butuh proses pak!",lanjut Ajeng.
"Ya, apa pun keputusan kamu pasti bapak dukung selama itu baik Jeng!", ujar Amri. Jaenah membawa tiga gelas es teh manis dan beberapa donat yang ia beli di pasar tadi. Ia pun turut bergabung dengan anak dan suaminya.
"Kamu ngga mau perpanjang kontrak lagi?", tanya Jaenah.
"Ngga Bu, mungkin...Ajeng mau cari pekerjaan lain."
Jaenah dan Amri mengangguk pelan.
"Kamu kan bisa masak kaya tadi itu, kenapa ngga coba buat buka usaha saja Jeng? Kalo butuh modal, ada bapak! Atau tabungan kamu juga lumayan lho yang di titip ke ibu!", kata Jaenah.
Ajeng tampak berpikir.
"Iya juga ya Bu! Kayaknya makanan kaya tadi kalo di jual di pinggiran bisa laku. Yang penting enak dan murah!", kata Amri.
Ajeng tersenyum. Kedua orang tuanya memang selalu seperti itu.
"Insyaallah bu, sebelum masa kontrak habis, Ajeng akan cari tempat buat jualan. Yang penting bapak modalin dulu heheh!", kata Ajeng berusaha untuk tersenyum.
Amri menaikkan salah satu alisnya sok-sokan keberatan mendanai Ajeng.
Plak!
"Bapak itu lho, ngga mau dukung anaknya tah?", tanya Jaenah sambil memukul paha suaminya.
"Apa sih Bu, ya Allah! Gini nih kelakuan ibu mu Jeng, hobi sekali mukul bapak!", adu Amri. Ajeng terkekeh melihat keromantisan kedua orang tuanya.
"Duit bapak mu banyak lho Jeng, tapi kalo ibu bilang suruh ganti mobil pick up nya bapak mu ngga pernah mau. Padahal udah sering mogok itu."
"Wong mobile masih bisa di pake kok. Sayang kalo harus beli yang baru. Lagian ya Bu, gimana juga tuh mobil butut udah nemenin usaha kita lho. Itu barang mahal yang pertama kita beli. Ngga bakal bapak jual!", kata Amri.
"Begitu lah prinsip bapak mu, Jeng! Kalo belum rusak sampai ngga bisa di pakai baru lah cari gantinya. Padahal mampu beli yang baru."
Ajeng tertawa kecil melihat perdebatan kedua orang tuanya yang lebih menjurus ke candaan sebenarnya.
"Gini lho, Bu! Bapak tahu, bapak mampu beli yang baru. Tapi kalo ternyata punya kita masih bisa di pake ya sayang dong. Toh nanti kita juga bakal di hisab di akhirat nanti. Kita berlebih-lebihan apa ngga dalam membelanjakan atau memiliki suatu barang. Ya toh?"
Kali ini Ajeng setuju dengan bapaknya.
"Bener juga sih, Bu!", kata Ajeng.
"Wis...ibu kalah kalo dua lawan satu begini!", kata Jaenah. Amri dan Ajeng tertawa bersama. Gadis itu seolah sudah melupakan kegalauan hatinya karena patah hati.
"Bu, ngga ada salahnya kita hidup sederhana. Ngga apa-apa banget kita di anggap orang miskin oleh orang lain."
Ajeng dan ibunya mendengarkan ucapan bapaknya.
"Miskin itu nasib, kalo sederhana itu pilihan. Biarin kita terlihat miskin, yang penting kalau ada yang membutuhkan bantuan kita...kita bisa membantu semampunya."
"Hooh! Sederhana jeng! Tahu-tahu ada yang mau gadai sawah, bapak mu maju duluan Jeng!", sindir Jaenah.
Ajeng lagi-lagi tersenyum.
"Kan nanti kalo udah jadi uang, uangnya buat ibu juga!", kata Amri.
"Iya...iya...!", sahut Jaenah.
Di sela obrolan mereka, terdengar ketukan pintu di depan.
"Ajeng saja yang buka, Bu!", kata Ajeng. Orang tua Ajeng pun mempersilahkan anak gadisnya untuk membukakan pintu.
"Walaikumsalam....!", jawab Ajeng ketika membuka pintu.
"Mba....?", sapa orang itu. Ajeng menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
"Pak Amri, ada?", tanya nya.
"Oh, bapak ada. Sebentar saya panggil! Silahkan masuk pak!", kata Ajeng. Orang itu pun duduk setelah di persilahkan oleh Ajeng.
Ajeng berlalu ke belakang untuk memanggil bapaknya. Jaenah juga ikut menemui tamu, sedang Ajeng memilih duduk di ruang tengah untuk menonton film di yucub.
"Pak Anshori ...?'', sapa Amri. Kedua orang tua itu pun berjabat tangan. Jaenah ke belakang untuk membuatkan tamunya minuman. Ajeng sedang konsen dengan film nya.
Tak berapa lama kemudian, tamu bapaknya pun pulang. Amri dan Jaenah ikut menonton di ruang tengah.
"Siapa pak? Mau gadai sawah hehehe?", ledek Ajeng. Amri tersenyum.
"Iya, pak Anshori mau gadai sawah tiga puluh juta katanya setahun Jeng!", kata Amri.
"Owh...!", Ajeng menganggukkan kepalanya.
"Dia gadai buat biaya nikahan anaknya, dua Minggu lagi."
Amri menoleh pada istrinya yang juga tengah menatapnya.
"Anaknya cewek apa cowok? Nyiapin duit nya banyak ya...?!", sahut Ajeng. Amri menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
"Dia...calon mertuanya Ranu!", kata Amri. Ajeng terdiam lalu menoleh ke belakang di mana kedua orang tuanya duduk berdampingan.
"Hah???", gumam Ajeng cengok.
Jaenah ikut duduk di lantai dengan Ajeng.
"Sebenarnya bapak tertarik karena sawahnya dekat irigasi sama jalan raya. Tapi ...bapak mau tanya dulu ke kamu, Jeng!"
Ajeng menatap mata Amri.
"Kenapa harus tanya Ajeng?", dengan suara bergetar. Jaenah memeluk sang putri.
"Karena ini ada hubungannya dengan Ranu."
Ajeng menggeleng pelan.
"Ngga ada pak, ngga ada hubungannya. Itu kan urusan pihak calon istrinya Ranu. Bapak kalo mau ambil, ya ambil saja! Ajeng ngga masalah!", kata Ajeng.
Ngga masalah dengan sawahnya, tapi bermasalah dengan rencana pernikahan Ranu yang baginya sangat mengejutkan! Siapa yang menyangka jika dua minggu lagi mereka akan menikah! Bagaimana kalau Ajeng baru pulang bulan depan? Sampai rumah, kekasihnya sudah menikah dengan orang lain, begitu???
"Ambil saja pak, Ajeng beneran nggak apa-apa. Benar kata bapak tadi. Ngga apa-apa terlihat miskin, yang penting kalau ada yang membutuhkan bantuan bapak bisa membantu!"
Amri merasa bersalah pada sang putri. Tapi ia pun kasihan dengan pak Anshor terlepas anak gadisnya di campakan karena kedatangan anak pak Anshor!
"Ajeng ke kamar!", pamit Ajeng pada kedua orang tuanya. Jaenah dan Amri hanya bisa menatap gadis kesayangan mereka yang hilang di balik pintu.
💐💐💐💐💐
Kadang2 emang gitu ya orang kaya kampung. Keliatan sederhana, bilang ngga punya duit. Eh ...ada yang mau gadai/jual sawah ...tiba-tiba ada duitnya 🤭🤭🤭
terimakasih semua 🙏🙏🙏
km tuh cm gede mulut doank resti... tpi kenyataan nol besar... krja gaji cm cukup buat beli make up... tpi songongmu g ktulungan...
biar tau rasa tuh ibumu yg pilih kasih...