Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Cahaya layar ponsel memantul di mata Nayla, pesan itu seperti bisikan beracun yang menggema di pikirannya. Ia membaca ulang setiap kata, jantungnya berdegup keras. “Jangan percaya apapun yang dia katakan.” Siapa orang ini? Mengapa mereka tahu begitu banyak tentang Arga?
Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah foto. Tangan Nayla bergetar saat membukanya. Gambar itu memperlihatkan Arga bersama seorang wanita, senyumnya terlukis samar, tetapi matanya menunjukkan sorot dingin yang familier. Wanita itu berdiri terlalu dekat, menandakan hubungan yang lebih dari sekadar kenalan.
Pikirannya berpacu. Apakah wanita ini adalah bagian dari rahasia yang disembunyikan Arga? Ataukah ia sumber semua kekacauan ini?
Nayla menekan tombol panggilan pada nomor tersebut, tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara monoton operator yang menyatakan nomor tersebut tidak dapat dihubungi.
Keesokan harinya, Arga terlihat sama seperti biasa. Ia duduk di meja makan, membaca dokumen sambil menyeruput kopi. Wajahnya tenang, seperti tidak ada beban di pikirannya.
“Arga,” suara Nayla memecah kesunyian. Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap datar, meskipun rasa penasaran membara di dalam dirinya.
Arga mengangkat wajah, menatapnya sekilas. “Ada apa?”
“Apa kau pernah bertemu seseorang bernama S.K.?” tanyanya langsung.
Cangkir kopi berhenti di udara. Wajah Arga tetap tenang, tetapi Nayla melihat perubahan kecil di sorot matanya. Ia tidak menjawab segera, hanya meletakkan cangkir itu dengan perlahan di atas meja.
“Kenapa kau tanya itu?”
“Aku menemukan sesuatu di ruang kerjamu,” jawab Nayla, menahan napas. “Dan aku ingin tahu siapa dia. Aku punya hak untuk tahu, Arga.”
Arga menghela napas panjang, mengusap pelipisnya seolah mencari kesabaran. “S.K. adalah bagian dari masa lalu yang ingin kulupakan. Tidak ada gunanya membicarakannya sekarang.”
“Bagaimana aku bisa tidak membicarakannya? Dia mengirimiku pesan!” Nayla menyerang, suaranya lebih keras dari yang ia rencanakan.
Arga menatapnya tajam. “Kau tidak mengerti apa yang kau masuki. Orang itu berbahaya, Nayla. Jika kau ingin tetap aman, jauhi dia.”
Semua peringatan itu justru membuat Nayla semakin penasaran. Setelah percakapan itu, ia tidak bisa menahan diri untuk memikirkan pesan yang diterimanya. Siapakah sebenarnya wanita di foto itu? Dan apa hubungan Arga dengannya?
Namun, ada hal lain yang terus menghantui Nayla—realitas pernikahannya sendiri. Ia dan Arga berbagi rumah, bahkan sekarang mereka telah berbagi ruang tidur, tetapi jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tidak mungkin dijembatani.
Setiap malam, Arga hanya duduk di kursi dekat jendela, membaca atau bekerja hingga larut. Ketika akhirnya naik ke tempat tidur, ia menjaga jarak yang jelas, bahkan tidak pernah mencoba menyentuh Nayla.
Di sisi lain, Nayla merasa terjebak dalam peran sebagai istri tanpa arti. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—penolakan fisik Arga atau misteri yang menyelimuti hubungan mereka.
Malam itu, ia berbaring dengan punggung menghadap Arga, mencoba mengabaikan kehadirannya di ruangan yang sama. Tetapi pikirannya terus memutar kemungkinan-kemungkinan yang tak terhitung jumlahnya.
Suara pelan mengalihkan perhatiannya. Arga, yang selama ini selalu menjaga jarak, kini duduk di sisi tempat tidur. Sentuhan lembut tangannya di bahu Nayla membuat tubuhnya menegang.
“Aku tahu kau membenciku sekarang,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Nayla tidak menjawab. Kata-kata itu seperti tamparan, tetapi ia tidak yakin apakah itu benar-benar berasal dari hati Arga atau sekadar manipulasi lain.
“Aku hanya ingin kau tahu,” lanjut Arga, suaranya serak, “aku tidak pernah berniat melukaimu. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan semua ini padamu.”
Nayla menoleh, menatap mata Arga yang terlihat lelah. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang berbeda—sesuatu yang menyerupai penyesalan.
“Kalau begitu, jangan sembunyikan apapun lagi dariku,” kata Nayla, nada suaranya memohon. “Aku ingin tahu segalanya, Arga. Aku ingin mengerti.”
Namun, jawaban Arga tidak datang. Sebaliknya, ia berdiri dan kembali ke kursinya, meninggalkan Nayla dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Saat Nayla mencoba tidur, ponselnya bergetar lagi. Pesan baru muncul di layar, “Kau tidak punya banyak waktu. Datanglah sebelum semuanya terlambat.”
Nayla meraih tasnya dengan tangan gemetar, mengambil keputusan untuk pergi ke alamat itu malam itu juga. Namun, saat ia membuka pintu depan, Arga sudah berdiri di sana dengan tatapan tajam. “Kau mau ke mana, Nayla?”
Nayla menelan ludah, lidahnya kelu di hadapan tatapan tajam Arga. Ia merapatkan pegangan pada tali tasnya, mencoba merangkai alasan yang masuk akal, tetapi pikirannya terasa buntu.
“Aku... aku hanya ingin keluar sebentar. Butuh udara segar,” jawabnya, berusaha terdengar biasa.
Arga mendekat, langkahnya mantap. “Udara segar? Tengah malam begini?” Tatapan pria itu mengunci Nayla di tempatnya, seperti seekor rusa yang tertangkap lampu mobil.
“Kenapa tidak?” Nayla mencoba tersenyum, tetapi suaranya terdengar gemetar. “Aku merasa penat, itu saja.”
Arga berdiri hanya beberapa langkah darinya sekarang, wajahnya terlalu dekat, dan keheningan di antara mereka terasa seperti bom waktu. “Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Nayla?”
Nayla menggeleng cepat, tetapi kegugupannya jelas terlihat. Ia tahu Arga bisa membaca kebohongan sekecil apapun.
“Kalau begitu, tinggalkan tasmu. Kau tidak butuh tas hanya untuk mencari udara segar, kan?” ucap Arga, nadanya penuh kecurigaan.
Nayla membeku. Ia tahu bahwa tas itu memuat ponsel dan alamat yang ditulis dalam pesan tadi. Jika Arga memeriksanya, semuanya akan terbongkar.
“Aku butuh dompetku,” Nayla mencoba mencari alasan. “Kalau ingin membeli sesuatu—”
“Berikan padaku.” Arga mengulurkan tangan, matanya tidak berpaling darinya sedetik pun.
Ia tidak punya pilihan. Dengan hati-hati, Nayla menyerahkan tasnya, berharap Arga tidak membuka bagian dalamnya. Pria itu menerima tas itu, memeriksanya sekilas, tetapi tidak menunjukkan minat lebih.
“Sudah terlalu larut untuk keluar, Nayla. Masuklah ke kamar,” katanya akhirnya. Ia berbalik, membawa tas itu bersamanya.
Nayla menghela napas lega begitu Arga menghilang di balik pintu ruang kerja. Namun, rasa lega itu hanya berlangsung sekejap. Pikirannya terus berpacu. Tasnya ada di tangan Arga sekarang, dan itu berarti ia harus menunggu kesempatan lain untuk pergi.
Ia kembali ke kamar, tetapi tidur adalah hal terakhir yang ada di pikirannya. Pandangannya terus melayang ke arah koper besar di bawah tempat tidur. Ia tahu koper itu memuat rahasia besar, tetapi mengingat tatapan tajam Arga tadi, Nayla tahu ia harus berhati-hati.
Beberapa jam berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Arga tidak kembali ke kamar, dan itu membuat Nayla semakin gelisah. Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah dengan hati-hati menuju ruang kerja.
Pintu ruangan itu sedikit terbuka. Nayla mengintip melalui celah kecil, melihat Arga duduk di meja, memegang ponselnya dengan ekspresi serius. Ia tidak bisa mendengar percakapannya dengan jelas, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kuduk Nayla meremang.
“Tidak, belum saatnya,” Arga berkata dengan suara pelan tetapi tegas. “Aku akan mengurusnya.”
Nayla mundur perlahan, rasa penasaran dan ketakutan berputar menjadi satu di dalam dadanya. Ia kembali ke kamar, mencoba menenangkan dirinya.
Namun, suara langkah kaki mendekat memaksanya untuk cepat kembali ke tempat tidur. Ia berpura-pura tidur saat pintu kamar terbuka. Arga berdiri di sana, mengamatinya dengan tatapan yang sulit ditebak.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Arga menutup pintu lagi tanpa mengatakan apapun.
Ketika pagi tiba, Nayla menemukan ponselnya di meja samping tempat tidur. Ia segera memeriksanya, dan pesan terbaru dari nomor misterius itu membuat tubuhnya kaku. “Kau terlalu lama. Jika kau tidak datang malam ini, aku tidak akan menunggu lagi.” Nayla membaca pesan itu berulang kali, rasa takut dan penasaran saling berebut tempat dalam pikirannya. Ia harus pergi malam ini, apa pun risikonya. Namun, saat ia merencanakan caranya keluar tanpa sepengetahuan Arga, sebuah suara yang dingin dan familiar terdengar dari belakangnya. “Apa yang kau baca, Nayla?”