Elle, seorang barista di sebuah kedai kopi kecil di ujung kota, tanpa sengaja terlibat perselisihan dengan Nichole, pemimpin geng paling ditakuti di New York. Nichole menawarkan pengampunan, namun dengan satu syarat: Elle harus menjadi istrinya selama enam bulan. Mampukah Elle meluluhkan hati seorang mafia keji seperti Nichole?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Absolute Rui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elle & Nichole: Roti Panggang
Pagi itu, matahari baru saja terbit, menyinari jendela kamar Nichole dengan cahaya lembut yang menembus tirai tipis. Nichole, yang sudah bangun sejak sebelum fajar, sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa beberapa dokumen penting. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Di luar, suara langkah kaki di tangga semakin dekat. Elle.
Elle, meskipun sudah bangun, seringkali terlambat keluar dari kamarnya karena kebiasaannya yang suka menunda-nunda. Biasanya, ia akan datang ke ruang makan dengan rambut acak-acakan dan mata yang setengah terpejam. Tapi kali ini, berbeda. Ada sesuatu yang tampak berbeda tentangnya.
Nichole menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar, dan Elle masuk dengan ekspresi bingung. Rambutnya yang panjang tertata rapi, dan ia mengenakan piyama berwarna biru muda yang membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya. Namun, wajahnya tampak penuh dengan kekecewaan.
"Ada apa?" tanya Nichole dengan nada sedikit khawatir, meskipun ia berusaha terlihat tenang.
Elle menghela napas panjang. "Aku... aku kesulitan dengan resep sarapan hari ini. Aku tidak bisa membuat roti panggang dengan benar. Roti itu... seperti beton," katanya sambil menunjuk roti yang terbakar di atas meja makan.
Nichole hanya mengangkat alisnya dan melangkah mendekat. "Roti panggangmu tidak mungkin lebih buruk daripada apa yang biasanya aku buat," jawabnya sambil tersenyum tipis. "Berikan saja padaku."
Elle terkekeh, namun ia merasa sedikit malu. "Aku serius! Ini benar-benar tidak bisa dimakan."
Dengan sikap percaya diri yang khas, Nichole mengambil alih tugas yang seharusnya menjadi urusan Elle. Ia menyalakan ulang pemanggang roti, sambil menambahkan sedikit butter di atas roti yang baru.
“Begini cara melakukannya,” kata Nichole dengan nada gurauan. "Ini bukan tentang seberapa keras kita menekan roti, tetapi tentang seberapa sabar kita menunggunya matang dengan sempurna."
Elle berdiri di dekatnya, merasa geli dengan sikap Nichole yang anehnya penuh percaya diri dalam hal-hal kecil seperti ini. “Kau selalu percaya diri dalam hal-hal yang tak terduga, ya?” tanyanya sambil tersenyum.
"Ya, tentunya," jawab Nichole, mengedipkan mata padanya. "Apalagi kalau itu melibatkan makanan. Siapa yang bisa menentang kesempurnaan roti panggangku?"
Elle tertawa kecil, merasa lebih rileks meskipun kejadian pagi yang canggung itu masih ada di benaknya. "Aku rasa aku akan menyerah pada roti panggangmu. Tapi aku tetap tidak bisa percaya kau lebih jago daripada aku dalam hal ini."
Nichole hanya tersenyum lebar. "Kadang-kadang, kita perlu menerima kenyataan bahwa ada orang yang lebih hebat dalam beberapa hal."
Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman dekat rumah mereka. Meskipun banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Nichole merasa hari itu sempurna untuk sedikit istirahat. Elle berjalan di sampingnya, dengan tangan terulur tapi tidak benar-benar saling menggenggam. Meskipun keduanya merasa canggung, ada sesuatu yang manis dalam kebersamaan mereka.
Elle tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih atau keinginan untuk melindungi. Perasaan itu tumbuh perlahan—suatu perasaan yang sulit untuk didefinisikan. Namun, ia tidak tahu apakah Nichole merasakannya juga.
“Kau tahu,” Nichole memulai, sambil memandang langit yang cerah. "Kadang aku merasa seperti hidupku ini penuh dengan tekanan dan kekacauan. Tapi ada sesuatu yang membuatnya terasa lebih ringan. Entah itu karena pekerjaan, atau mungkin karena ada seseorang yang selalu membuatku merasa... lebih baik."
Elle menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan pengakuan itu. “Kau sedang bicara tentang dirimu, atau ada seseorang yang lain?”
Nichole tersenyum tipis, wajahnya berubah serius sejenak. “Aku sedang bicara tentang diriku, tentu saja. Tapi mungkin juga tentang seseorang yang terlalu keras kepala untuk menyadarinya.”
Elle menelan ludah, jantungnya mulai berdebar. “Siapa orang itu?”
Nichole berhenti berjalan dan menatapnya. “Mungkin orang yang selalu melawan aku dan berusaha tetap berbeda—walaupun kadang ia tidak sadar bahwa dirinya juga menjadi bagian dari dunia yang aku buat.”
Elle menatapnya dengan hati berdebar. “Kau tidak mungkin sedang bicara tentang aku, kan?”
“Oh, aku kira aku sedang bicara tentang kita,” jawab Nichole, tanpa memecah tatapan mereka. “Tapi tentu saja, kita semua tahu siapa yang lebih pintar soal roti panggang, bukan?”
Elle terkekeh, merasa lebih tenang meskipun hatinya berdegup cepat. “Jangan mulai dengan roti panggang lagi,” katanya sambil menepuk bahu Nichole dengan lembut. “Kau bisa mengajari banyak hal, tapi aku akan tetap jadi ahli dalam hal makanannya, oke?”
Nichole tertawa, tetapi ada sesuatu dalam tawa itu yang terasa lebih hangat dari biasanya. “Tentu. Aku akan membiarkanmu menang dalam hal itu, tapi hanya untuk hari ini.”
Setelah beberapa saat, mereka kembali ke rumah dengan langkah ringan, tertawa dan berbincang sepanjang jalan. Meskipun hari itu tampak biasa saja, ada sesuatu yang lebih mendalam yang terhubung di antara mereka—sesuatu yang masih belum sepenuhnya diungkapkan, tetapi jelas terasa.
Malam itu, setelah mereka menyelesaikan makan malam bersama, Nichole dan Elle duduk di sofa yang nyaman, menonton film di layar besar. Nichole mengalihkan pandangannya sesekali ke Elle yang tertidur di sampingnya, kepalanya bersandar di bahu Nichole.
Kepalanya terasa ringan dan hangat. Nichole menyandarkan kepalanya ke belakang sofa, matanya terpejam sejenak. Tak ada kata-kata, hanya ada kedamaian yang jarang ia rasakan.
"Elle," katanya pelan, cukup untuk dirinya sendiri. “Aku rasa hidupku tidak akan pernah sama lagi sejak kau ada di sini.”
Meskipun tidak mendengar, Elle tersenyum dalam tidurnya, dan untuk pertama kalinya, Nichole merasa ia benar-benar ingin melindungi perasaan itu, tidak peduli apa yang harus dihadapi di masa depan.
Hari-hari yang penuh dengan tawa dan kebersamaan itu, meskipun sederhana, terasa lebih berarti dari apapun yang pernah mereka alami sebelumnya.
Aku membaca sampai Bab ini...alurnya bagus cuma cara menulisnya seperti puisi jdi seperti dibuat seolah olah mencekam tpi terlalu..klo bahasa gaulnya ALAY Thor...maaf ya 🙏...Kisah yg melatar belakangi LN dn itu soal cium" ketua mafia hrsnya lebih greget ngak malu"... klo di Indonesia mungkin sex tdk begitu ganas krn kita mengedepankan budaya timur..ini LN sex hrnya lbih wau....dlm hal cium mencium..ini mlah malu" meong 🤣🤣🤣🤣🤣