Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tercabik-cabik
Setelah Danang dan Dina pulang, Yaya pun segera meminta pegawainya membereskan meja. Saat Yaya berjalan hendak menuju ruangannya, ia melewati meja dimana Nurlela dan Marissa duduk. Mereka pun sepertinya sudah menyelesaikan makan siang mereka. Namun saat kaki Yaya melangkah, tiba-tiba ia mendengar kalimat yang sungguh membuat hatinya miris.
"Wah, beneran ini kalung buat Mama? Wah, Sa, kamu memang benar-benar baik. Nggak seperti dia, boro-boro ngasi hadiah, cuma gara-gara masalah sepele aja memilih pulang. Kekanakan banget. Nggak tau dah, apa yang Rian liat dari dia. Cantik sih cantik, tapi ... "
"Ma ... " sergah Marissa. "Bagaimanapun mereka sudah berjodoh. Sebagai perempuan, aku paham apa yang Yaya rasakan. Marissa merasa wajar Yaya seperti itu."
"Kamu tuh dari dulu kok baik banget sih, Sa. Persis seperti ibu kamu. Kenapa sih Rian nggak berjodoh sama kamu aja?" ucap Nurlela tanpa memikirkan perasaan Yaya sedikitpun. Yaya yang berdiri tak jauh dari sana merasa hatinya begitu teriris-iris. Mengapa mertuanya bisa setega itu pada dirinya? Kenapa setelah menikah ia berubah seperti itu? Apa hanya karena ia hanya anak sambung ayahnya atau ada hal lain?
Yaya yang merasa begitu sakit hati pun memilih beranjak dari sana. Ia mengurungkan niatnya ke ruang kerjanya. Sebaliknya, ia memilih pergi dari restoran dan melajukannya ke sebuah danau buatan yang jaraknya sekitar satu jam dari sana.
Setiap Yaya merasa sedang tidak baik-baik saja, maka ia akan memilih pergi ke tempat itu. Danau itu memang tidak begitu indah karena hanya danau buatan. Namun tempat itu cukup sepi membuat Yaya merasa tenang berada di sana.
Yaya merenung dalam diam. Memikirkan kemana arah pernikahan ini akan dibawanya? Rasa-rasanya, ia sudah tak sanggup lagi. Rasa-rasanya ... ia sudah mau menyerah. Namun, ia belum bisa melakukannya sebelum ia memiliki sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menguatkan tekadnya untuk berpisah. Sesuatu yang bisa membuat orang-orang tak perlu bertanya lagi apa dan kenapa akhirnya ia memilih berpisah.
Sementara itu, di sebuah apartemen, tampak seorang pemuda berdiri di depan kaca besar yang menampakkan dengan jelas jalanan sore itu yang dipadati dengan beraneka ragam kendaraan. Pemuda itu tercenung seorang diri dengan gelegak rindu yang mencengkeram hati.
Rindu. Ia sebenarnya sedang merindukan keluarganya. Keluarga yang terpaksa ia jauhi sementara. Bukan karena marah ataupun kecewa. Ia melakukan itu demi menjaga perasaan seseorang yang entah kenapa sejak beberapa tahun terakhir seakan menaruh dendam padanya.
Bukan tanpa alasan pemuda itu memilih menjadi koas di rumah sakit yang jauh dari kotanya. Ia tentu memiliki alasan yang jelas. Ia hanya tak ingin orang yang begitu ia kasihi itu semakin menaruh kebencian padanya. Ia hanya ingin seseorang yang ia kasihi itu kembali seperti dulu. Memanggilnya kakak dengan penuh cinta.
Pemuda yang tak lain adalah Rafi itu menghela nafas panjang. Tubuhnya sebenarnya terasa begitu lelah. Tapi rasa lelah itu tak selelah hatinya karena merindu.
Rafi duduk di kursi malas yang ada di balkon. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia membuka salah satu foto beberapa tahun yang lalu. Sebuah foto keluarga. Foto terakhir ia tersenyum lebar bersama adiknya. Karena setelah itu, entah dimulai sejak kapan, semua berubah.
"I miss you," lirih Rafi yang sangat merindukan kebersamaan mereka dulu.
...***...
"Mama kenapa?" Madava baru saja pulang lalu ia mendapati sang istri tengah melamun.
"Eh, Mas. Maaf, nggak nyadar kamu udah pulang."
"Nggak papa. Kamu kenapa, hm? Kangen Rafi?" tanya Madava yang kemudian memilih duduk di sampingnya.
Ayu pun mengangguk. Ya, Ayu memang merindukan Rafi. Sudah setahun ini, Rafi tak pernah pulang. Mereka hanya sesekali saja bertemu. Itupun saat Madava ada waktu senggang sehingga mereka bisa segera menemui putra pertama mereka itu.
Madava tampak berpikir. "Tapi Mas dua mingguan ke depan sibuk sekali. Malah Minggu depan Mas ada perjalanan dinas ke Gorontalo," ujar Madava penuh sesal. Sesal karena tidak bisa menemani istrinya menemui putra pertamanya itu.
Terdengar helaan nafas pendek dari bibir Ayu. "Bukankah lusa tanggal merah ya? Esoknya juga weekend, bagaimana kalau kamu ajak Artha saja?" tawar Madava. Artha merupakan anak kedua mereka.
"Emangnya Artha mau? Mas tau sendiri dia seperti apa?" keluh Ayu.
Bukan tanpa alasan, putra keduanya itu memang sedikit keras kepala. Belum lagi, dua tahun ini Artha dan Rafi terlihat tidak akur. Entah apa alasannya. Ayu sudah mencoba menanyai keduanya, tapi keduanya justru kompak menjawab mereka baik-baik saja. Sungguh Ayu sangat mencemaskan keduanya. Tak pernah terbayangkan di benak Ayu kalau kedua putranya akan terlibat perang dingin seperti ini. Namun satu yang Ayu yakini, itu bukanlah kesalahan Rafi sebab Ayu sangat tahu kalau Rafi merupakan tipe yang suka mengalah. Ayu hanya berharap perang dingin ini hanya berlaku sementara dan Ayu berharap semua ini terjadi hanya karena kesalahpahaman semata.
"Nanti Mas yang akan bertanya padanya."
Ayu pun mengangguk setuju.
...***...
Sudah 3 hari Yaya pergi dari apartemen dan tak kunjung pulang. Andrian memang terus berusaha menghubunginya, tapi Yaya enggan merespon panggilan dan pesan masuk dari Andrian. Andrian juga mencoba mencari Yaya di restoran yang ia ketahui tempat kerja istrinya itu, tapi sesuai instruksi Yaya pada karyawannya, bila Andrian datang ke sana, mereka harus menjawab Yaya tidak ada di sana. Alhasil, Andrian pun pulang dengan tangan hampa.
Sementara itu, di kediaman Marissa, tampak Tania yang sedang dipakaikan pakaian oleh ibunya. Mereka sedang bersiap hendak pergi ke wahana permainan air bersama Nurlela, Ellena dan suami serta anaknya. Rencananya Andrian pun akan segera menyusul setelah pekerjaannya selesai.
"Tania ingat ya, panggil Papa Om Ian, bukan Papa. Dengar?"
Dahi Tania berkerut. Sebenarnya ia bingung, kenapa saat bertiga saja, ia boleh memanggil Andrian Papa, tapi saat ada orang lain ia harus memanggil Om.
Melihat dahi Tania yang berkerut, Marissa paham alasannya. "Tania nggak usah terlalu pikirin. Nanti juga Tania tau," ucapnya. "Nah, sekarang udah cantik. Jadi anak yang baik ya di depan Oma, aunty, Papa, dan yang lain. Harus nurut juga. Oke?"
"Oke, Mama."
"Anak pintar. Ayo!" ajak Marissa.
Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai oleh suami Ellena pun tiba di depan rumah Marissa. Mereka pun segera turun dan berganti naik ke mobil Marissa. Mobil Marissa merupakan mobil SUV sehingga bisa memuat orang lebih banyak. Lalu dalam hitungan detik, mobil itupun melaju dengan kecepatan sedang menuju wahana permainan air.
Di wahana permainan air, Tania tampak bermain dengan girang. Andrian yang sudah tiba pun ikut bermain sembari menjaga Tania. Mereka tampak seperti keluarga bahagia. Marissa memercikkan air ke wajah Andrian. Andrian pun membalasnya. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil terus saling menyiramkan air.
Saat mereka sedang bersenang-senang, tanpa mereka tahu ada sebuah kamera terarah kepada mereka. Setelah mengambil beberapa gambar dan video, gambar dan video itupun segera orang itu kirim ke nomor Yaya. Yaya yang melihat foto dan video itu semakin tersenyum miris. Hatinya semakin dicabik-cabik.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...