🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Di meja makan, Ruka duduk dengan sandwich di tangannya, tapi matanya menatap kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
Tanpa suara, El tiba-tiba muncul dari belakang, dan sebelum Ruka menyadarinya, sandwich di tangannya sudah berpindah ke tangan suaminya. Dengan santai, El menggigit sandwich itu tanpa sedikit pun merasa bersalah. "Thanks sarapannya," katanya sambil mengunyah.
"El!!!" lagi-lagi Ruka dibuat naik darah dengan kelakuan buruk suaminya. "punya lo disana, kenapa lo ambil punya gue."
"Punya lo extra cheese, kan? Lo curang. Gue cuma mau ambil yang enak aja."
"Kalau mau ekstra keju, bikin sendiri! Jangan selalu ngandelin orang lain."
Dengan wajah tanpa dosa, El menyandarkan tubuhnya di kursi sambil mengunyah dengan santai. "Bikinin sarapan untuk suami itu pahala, lo tau? Gue udah berbaik hati kasih lo jalan menuju surga, tapi malah diomelin."
Ruka mendengus keras, wajahnya merah padam. "Ada banyak amalan lain yang bikin gue masuk surga." balasnya sambil merebut sandwich dari tangan El. "Ini punya gue, dan gue gak mau bagi sama lo!"
Namun, El tidak menyerah begitu saja. Dengan gerakan gesit, dia berdiri sambil mengangkat sandwich tinggi-tinggi di atas kepala, menjauhkannya dari jangkauan Ruka. Senyumnya melebar penuh kepuasan, seolah kemenangan sudah di tangannya.
"Coba aja kalau bisa ambil," tantangnya dengan nada penuh kemenangan.
Ruka mendengus kesal. "Lo pikir gue nggak bisa?"
Dia berjinjit, mencoba meraih sandwich itu, tapi tinggi badan El jelas menjadi keuntungan besar. Gadis itu melompat-lompat kecil sambil menggerutu. "Dasar curang! balikin sandwich gue!"
El tertawa pelan, menikmati perjuangan Ruka. "Yang lebih tinggi yang menang, sayang."
Ruka memicingkan mata, berpikir cepat. Tanpa peringatan, dia menjambak ujung seragam El dan menariknya dengan kuat. Lelaki itu terkejut, sedikit kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu dimanfaatkan Ruka untuk melompat dan meraih sandwichnya kembali.
"Gotcha!" serunya penuh kemenangan sambil memeluk sandwich seperti harta karun.
"Lo curang, main tarik seragam gue. bocah banget."
"Dan lo lebih payah, kalah sama bocah," balas Ruka sambil tersenyum puas, lalu menggigit sandwichnya dengan bangga.
***
Berulang kali Ruka memohon untuk naik ojek online saja, ketimbang harus berangkat dengan El, namun lelaki itu benar-benar tidak memberinya izin.
"Lo mau gue kena marah bokap lo? Inget, lo tanggung jawab gue, Ruka!"
"Tapi El, apa kata murid-murid lain nanti? Gue gak mau ya jadi bahan gosip lagi." Ruka memohon. "Lagian Papa juga gak tahu kalau gue naik ojol. Gue janji, kalau Papa marah gue yang akan tanggung jawab."
Setelah berdebat cukup lama, El akhirnya mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Terserah..."
"Makasih, El." Ruka menghela napas lega. Akhirnya dia bisa menghindari situasi canggung yang pasti akan terjadi jika murid-murid lain melihatnya datang bersama El.
El hanya berdehem kecil, memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Tapi lo harus janji, kalau ada apa-apa di jalan, gue nggak mau dengar lo nyalahin gue.
"Tenang aja. Gue bukan tipe yang suka cari kambing hitam," balas Ruka sambil memesan ojek online lewat aplikasi di ponselnya.
Sambil menunggu, El bersandar pada motornya, memperhatikan Ruka dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika pengemudi ojek akhirnya datang. Ruka buru-buru naik ke atas motor ojek. Saat motor mulai melaju, ia melirik El dari kaca spion. Lelaki itu berdiri di sana, menatapnya pergi dengan ekspresi datar, tapi entah kenapa Ruka merasa ada sesuatu yang lain di balik tatapan itu—seperti... khawatir? Dan matanya melotot saat menyadari sudut bibir suaminya yang lebam. "Apa dia habis berantem?"
***
"Ruka..." Hana menghampiri Ruka yang baru saja turun dari ojol. "Loh, kok naik ojol? Gak dijemput 'Anjing Gila'?"
"Apa sih," Ruka mendesah pelan, sambil menarik sahabatnya lebih cepat masuk ke dalam gerbang sekolah.
Namun, deru motor El yang begitu familiar membuat langkahnya terhenti. Suara berat knalpot Ducati itu seperti magnet, menarik perhatian semua orang di sekitar mereka. Dengan santai, El turun dari motornya. Dia melepas helm full face, memperlihatkan wajahnya yang urakan namun terlihat menarik.
Dia mengacak rambutnya dengan satu tangan, memberikan kesan santai yang memikat hampir semua mata yang melihatnya. Bahkan beberapa murid perempuan yang kebetulan lewat terlihat berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arah El.
"Vibes-nya beneran gila, deh," komentar Hana sambil melirik Ruka yang terlihat buru-buru menariknya masuk ke gerbang sekolah. Matanya masih terpaku pada El yang kini tengah menurunkan helm dan mengacak rambutnya dengan santai. "Lo beneran gak baper dideketin cowok ganteng macam El?*
Ruka mendesah, mencoba mengabaikan pertanyaan yang lebih mirip provokasi itu. Namun, Hana memang Hana—tidak pernah berhenti kalau belum puas. "pantesan cewek-cewek pada heboh jika ada El, wong seganteng itu."
"Hana, cukup!" desis Ruka akhirnya, mendorong sahabatnya sedikit lebih cepat agar tidak lagi memandangi El seperti remaja yang baru pertama kali naksir. "Dia bukan tipe gue!"
"Oh ya? Terus tipe lo kayak gimana? Diego?"
Nama itu langsung membuat Ruka terhenti di tempatnya. Mata cokelatnya melotot tajam ke arah Hana, penuh peringatan. "Apa sih, Han?" gumamnya dengan nada yang lebih rendah, tapi cukup tajam untuk membuat Hana sedikit mundur.
"Cih, masih aja denial." Hana melipat tangan di depan dada, menyeringai kecil. "Kalau cinta ya ungkapin dong, jangan dipendam mulu. Lo kira itu perasaan apa? Umbi-umbian yang bisa tahan di dalam tanah?"
Ruka menutup wajahnya dengan kedua tangan, antara frustrasi dan malu. Suaranya yang rendah tapi tegas terdengar di sela jari-jarinya. "Gue gak suka sama Diego. Enggak sama El juga. Jadi, udah ya, tutup topik ini."
"Kalau gak suka sama siapa-siapa, kenapa lo melotot pas gue sebut nama Diego tadi? Ayo, jujur, Haruka. Gue tahu lo lebih dari orang lain."
Ruka mendesah panjang, akhirnya menyeret Hana lebih jauh dari area ramai untuk menghentikan gosip itu berkembang. Namun, di ujung matanya, ia sempat melirik ke arah El yang kini berdiri santai di samping motornya. Tatapannya tidak lagi sekadar santai—ada sesuatu di sana yang sulit dia pahami. Bukan perhatian, bukan juga kesal, tapi lebih seperti... pengawasan?
Dia buru-buru mengalihkan pandangannya, merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Mungkin Hana ada benarnya—mungkin, hanya sedikit.
"Lo mau bawa gue kemana sih? Kelas kita gak lewat sini, Bu Ketos!" Hana memprotes sambil menghentikan langkahnya. Ruka, yang tadinya berjalan tanpa arah, baru menyadari bahwa dia salah jalan. Dengan wajah penuh rasa bersalah, ia buru-buru ingin berbalik.
Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara yang sangat dikenalnya memanggil. "Ruka..."
Diego, dengan senyum khas yang membuat banyak gadis di sekolah mereka terpesona, berlari menghampiri. Nafasnya sedikit terengah, tapi ekspresinya tetap tenang, seperti biasa. "Ada yang mau gue omongin sama lo."
"Hah?!" Ruka terpaku di tempat, jantungnya mendadak berdebar lebih cepat dari biasanya.
Sementara itu, Hana menyenggol lengan sahabatnya sambil menyeringai lebar. "Wow, jangan-jangan ini pengakuan, nih?" bisiknya penuh semangat. Ruka langsung memelototinya, tapi raut gugup di wajahnya tidak bisa disembunyikan.
"Sebaiknya gue ke kelas dulu, deh. Jangan sampai lo pingsan ya kalau beneran Diego bikin pengakuan!"
Ruka hanya bisa menggigit bibirnya, melihat Hana yang pergi sambil melambaikan tangan dengan gaya meledek.
Kini, dia berdua saja dengan Diego di koridor yang sepi. Diego mengusap lehernya dengan gugup, sesuatu yang jarang sekali dia lakukan. Biasanya, cowok itu selalu percaya diri.
"Jadi... apa yang mau lo omongin?" tanya Ruka akhirnya, mencoba terdengar tenang meski suara hatinya seolah berteriak panik. "Apa iya Diego akan membuat sebuah pengakuan?" pikirnya, penuh rasa penasaran bercampur gugup. Kata-kata Hana tadi membuat otaknya berpikir kearah sana terus.
Diego menatap Ruka dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Sebenarnya..." Lelaki itu menggantung kalimatnya, membuat Ruka semakin gelisah.
"Jangan bilang cinta, Di! Please....." harap Ruka dalam hati.
Bersambung...