Jingga yang sedang patah hati karena di selingkuhi kekasihnya, menerima tantangan dari Mela sahabatnya. Mela memintanya untuk menikahi kakak sepupunya, yang seorang jomblo akut. Padahal sepupu Mela itu memiliki tampang yang lumayan ganteng, mirip dengan aktor top tanah air.
Bara Aditya memang cakep, tapi sayangnya terlalu dingin pada lawan jenis. Bukan tanpa sebab dia berkelakuan demikian, tapi demi menutupi hubungan yang tak biasa dengan sepupunya Mela.
Bara dan Mela adalah sepasang kekasih, tetapi hubungan mereka di tentang oleh keluarganya. Mereka sepakat mencari wanita, yang bersedia menjadi tameng keduanya. Pilihan jatuh pada Jingga, sahabat Mela sendiri.
Pada awalnya Bara menolak keras usulan kekasihnya, tetapi begitu bertemu dengan Jingga akhirnya dia setuju.
Yuk, ikuti terus keseruan kisah Jingga dan Bara dalam membina rumah tangga. Apakah rencana Mela berhasil, untuk melakukan affair dengan sepupunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Terluka
Jingga curiga memikirkan Bara dan Mela yang pergi bersama, ia jadi ingat ketika suaminya itu tampak gelisah setelah mendapat telpon dari Astri. Apalagi Mela terlihat shock, ketika mereka melihat keadaannya. Wajah pucat juga ketakutan, membayang di matanya. Apa yang dilakukan Om Henry? Benarkah lelaki itu tunangan Mela? Mengapa pula ia tidak di beri tau?
Begitu banyak pertanyaan, yang terpendam di dalam otaknya. Kejadian di club malam, berita pertunangan Mela juga sosok Om Henry sebagai calon suami sahabatnya. Selama ini ia mengenal Om Henry, sebagai teman Tante Soraya. Mereka menjalin persahabatan, ketika Om Henry bertindak selaku penyandang dana tetap panti asuhan yang di kelola Tantenya.
Sambil mengaduk-aduk bubur ayam, Jingga memeriksa ponselnya. Barangkali ada pesan dari Bara? Tetapi tak ada satu pesan atau telpon masuk gawainya. Jingga jadi gundah sendiri, nafsu makannya berkurang karena hatinya tengah merindu. Lucu ya, padahal belum dua puluh empat jam Bara meninggalkan rumah. Apakah ini yang dinamakan cinta? Ah, tapi kan dia merindukan suaminya bukan suami orang lain.
Sedangkan orang yang sedang di rindukannya, tengah mengobati wajahnya sendiri . Dengan hati-hati, Bara membubuhkan betadine di sudut bibirnya yang terkena pukulan Henry. Ia tidak menyangka pukulan lawannya keras juga, hingga wajahnya terlihat sedikit memar-memar. Setelah selesai mengobati lukanya, ia menghubungi sekretarisnya.
"Sil, tolong ke Pak Rahmat ambilkan saya baju ganti di rumah" ucap Bara, sembari mengamati wajahnya di cermin kecil.
"Baik Pak bos!" balas Silvi hormat.
"Oo ya, ini milik mu bukan?" tanyanya, memberikan cermin berbentuk hati yang dipegangnya.
"Iya" jawabnya malu-malu.
"Saya temukan ada di atas meja, ambilah!"
Dengan agak malu, Silvi menerima benda wajib yang selalu ada di kantongnya. Pantas saja ia tidak menemukannya, ternyata tertinggal di meja bos ketika tadi berdandan lupa memasukkan kembali.
'Duh pak bos, biarpun wajahnya sedikit memar-memar tapi tidak mengurangi kegantengannya' bisik hati Silvi mengagumi bos tampannya.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tegur Bara ketika mendapati sekretarisnya malah bengong sambil senyum-senyum gak jelas.
"Eh...iy...a pak" jawabnya salah tingkah.
"Cepat beritahu pak Rahmat, saya ada pertemuan" ucap Bara tegas.
"Siap pak, akan saya hubungi pak Rahmat."
"Heum!"
Bara menyandarkan kepala di kursi kerjanya, dengan kedua kaki menyilang di atas meja dan tangan berada di dadanya. Begitu Silvi keluar dari ruangannya, ia memandangi plafon diatasnya, sambil berpikir tentang kejadian yang baru saja terjadi. Bara merasa menjadi manusia paling tolol, untuk apa ia menyerang Henry? Cowok itu tunangan Mela, tentu Henry berpikir kalau ia cemburu. Lalu seandai Jingga tau, bagaimana ia harus memberi alasan yang masuk akal?
"Argh...!" teriaknya kesal, sembari mendorong kursinya ke belakang. Ia kemudian berdiri menghadap keluar, melalui kaca tembus pandang. Memasukkan ke dua tangan dalam saku celananya, dan berdiri terpekur menatap lalu lintas di bawahnya.
Hidupnya benar-benar menjadi rumit dan bertambah semrawut, akibat dari kebohongan yang mereka ciptakan. Bara tidak berpikir akan sejauh ini melangkah, menghalalkan segala cara untuk keuntungannya. Ia pikir rencana Mela akan berhasil, menyodorkan sahabatnya sebagai penggantinya. Tetapi satu yang ia tidak pikirkan, bahwa hati mudah saja berubah. Jingga perempuan yang baru saja di tinggalkan kekasihnya, secara mengejutkan bisa menggantikan posisi Mela. Bara menginginkan dapat seorang istri yang patuh, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Jingga perempuan cerdas yang suka bicara ceplas-ceplos, diam-diam telah memasuki hatinya.
"Tok...tok...tok!" terdengar suara ketukan, di iringi handle pintu di putar.
"Cklek!"
Suara langkah kaki terdengar di telinga Bara yang masih berdiri tegak, aroma parfum wanita menyeruak memasuki indera penciumannya. Ia masih berdiri diam, membiarkan sang tamu menghampirinya. Namun ketika tangan lembut berjari lentik memegang bahunya, ia segera berpaling dan mendapati Mela menatapnya sembari menahan tangisnya.
"Kenapa bisa jadi begini?" tanyanya, menyentuh hati-hati sudut bibir Bara. "Gue langsung pergi, begitu Henry menelpon."
"Ah, ini bukan apa-apa" ucap Bara, menyingkirkan jemari Mela yang masih memegang wajahnya. Ia kemudian berjalan kearah sofa, dan mendudukkan dirinya di sana.
"Lo, ternyata masih sayang sama gue" ujar Mela antara sedih dan bahagia.
"Gue spontan melakukannya, karena kemanusiaan" balas Bara. "Gue gak suka, laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan."
"Benarkah?" tanya Mela tak percaya. "Tolong berterus-terang lah, bila masih ada sedikit rasa di hati lo buat gue?" lanjutnya memelas.
"Mungkin saja!? Tapi lambat laun, rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Gue mungkin perduli dan masih tertinggal kenangan kita dulu, tapi kehadiran Jingga menyamarkan bayangan lo."
'Sakit' itulah yang di rasakan Mela. Mungkin ia salah langkah, dalam mengambil keputusan. Seharusnya ia mendengarkan ucapan Jingga, yang egois dalam cinta. Mungkin juga, ia kurang keras mempertahankan miliknya.
Mela terduduk lesu menatap lantai, menghitung jarak antara satu ubin dengan yang lain. Sama seperti hubungannya dengan Bara, ada jarak melintang yang memisahkan. Walaupun dekat, tetapi tidak bisa bersatu. Berdiri berdampingan, namun tak mampu bersanding di pelaminan.
"Coba, hapuslah kenangan tentang kita. Mulai lah melukis masa depan, bersama lelaki pilihan orang tua lo" suara Bara terdengar dalam, membuyarkan lamunan Mela.
"Huhu!" tiba-tiba Mela menutup wajahnya, sambil menangis tersedu-sedu. "Lo bener-bener cowok brengsek, sebentar perhatian sebentar cuek. Mau lo, apa sebenarnya?" tanyanya, menatap wajah Bara dengan airmata berlinang.
"Gue memang lelaki brengsek juga bajingan. Tapi percayalah, hidup lo bakalan lebih baik di bandingkan hidup bersama gue."
"Tapi gue, gak bisa hidup tanpa lo!" pekik Mela histeris, tubuhnya bergetar hebat lalu ia kehilangan kesadarannya.
"Mela!" teriak Bara, merengkuh tubuh Mela yang terkulai serta menaruhnya di pangkuannya. Ia menepuk-nepuk pipinya agar segera sadar, tetapi nihil. Sepupunya itu pingsan.
Bersamaan dengan itu, pintu terbuka lebar. Terlihat Jingga berdiri mematung, sambil menenteng paper bag berisi pakaian suaminya. Begitu tersadar dari keterkejutannya, ia segera berlari menghampiri keduanya, dan ikut membantu Bara menyadarkan Mela. Namun Bara yang panik tidak dapat berpikir tenang, ia membopong tubuh Mela keluar dari ruangan kantor. Meninggalkan Jingga yang hanya bisa memandangi kepergian mereka, dengan hati yang entah bagaimana bentuknya?
Seharusnya pak Rahmat yang membawakan pakaian pesanan Bara, tetapi Jingga memaksa agar memberikan padanya. Seandainya ia menuruti keinginan pak Rahmat, maka tidak akan melihat suaminya mencemaskan sahabatnya.
Jingga menatap paper bag yang teronggok di lantai, memungutnya lalu membawanya pulang. Suasana di kantor jadi tidak karuan, para karyawan bergosip tentang kejadian di dalam ruangan CEO. Mereka mulai menerka-nerka, apa gerangan yang telah terjadi? Mungkinkah Mela hamil? atau sang bos telah selingkuh. Yang mereka tau, Bara Aditya telah menikah. Dan Mela Anjani, berusaha mengakhiri hidupnya seperti yang kejadian yang lalu.
Dengan santai, Jingga keluar dari gedung yang pernah menaunginya bekerja. Ia luput dari perhatian teman-temannya, yang tengah sibuk bergosip. Duduk menunggu pesanan taksi online tiba di pos sekuriti, sambil memeluk paper bag. Sungguh miris nasibnya, melihat suaminya mencemaskan sahabatnya. Mungkin waktunya sudah tiba untuk melepaskan Bara? Biarkanlah hanya Tuhan yang tahu, bagaimana koyaknya hatinya saat ini?
... ****...
beri plajaran tuk Laki leya leye gtu mh Laki gk punya pendirian hampas aja
Menjauhlah bila prelu pergi ke dasar bumi biar tidak ketemu lagi sama laki biadab entu.
Menjauhlah bila prelu pergi ke dasar bumi biar tidak ketemu lagi sama laki biadab entu.
si Jingga harusnya gk baper di pernikahan itu kan pernikahan hitam di atas putih bukan di dasari suka sama suka..
biar jdi penonton dulu , dema apa lgi yang mereka mainkan.