Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
persimpangan takdir
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang tak jauh berbeda. Bagi Sasa, kebahagiaannya adalah membangun rumah tangga bersama Arman. Ia tak pernah ragu akan kesetiaan pria itu, meski akhir-akhir ini ia merasa ada jarak yang perlahan muncul. Namun, ia memilih mengabaikannya, percaya bahwa semua itu hanya akibat kesibukan pekerjaan.
Di sisi lain, Caca menjalani hidupnya dengan kepura-puraan. Senyumnya di media sosial, pakaian mewah, hingga perjalanan dinas ke luar kota, semua itu hanyalah topeng untuk menutupi kekosongan di dalam hatinya. Sebagai wanita karier yang sukses, ia sering dipuji karena penampilannya yang anggun dan mandiri. Tetapi, hanya ia yang tahu bahwa rasa iri terhadap Sasa kian tumbuh dalam hatinya.
***
Pagi itu, Caca menerima undangan untuk makan malam bersama rekan-rekan bisnisnya. Acara itu bertempat di sebuah hotel mewah di pusat kota, dan ia tahu Arman akan hadir karena proyeknya berkaitan dengan perusahaan yang bekerja sama dengan Caca.
Saat Caca tiba di ballroom hotel, suasana sudah ramai. Para tamu berbicara dengan penuh antusias sambil menikmati hidangan pembuka. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan. Ia melangkah ke dalam ruangan dengan percaya diri, meski hatinya berdebar saat matanya menangkap sosok Arman di sudut ruangan.
Arman sedang berbincang dengan beberapa kolega. Penampilannya yang rapi dalam setelan jas membuatnya tampak berwibawa. Saat pandangan mereka bertemu, Arman tersenyum dan melangkah mendekat.
“Caca? Senang lihat kamu di sini,” sapanya hangat.
Caca tersenyum kecil. “Kebetulan sekali, ya. Kamu kelihatan sibuk.”
“Lumayan. Tapi selalu menyenangkan bertemu teman,” jawab Arman, memandangnya sejenak.
Percakapan mereka dimulai dengan obrolan ringan, seperti membahas proyek dan rencana kerja. Namun, semakin lama mereka berbicara, suasananya terasa lebih personal. Arman menceritakan betapa ia merasa terkadang terlalu sibuk untuk memberikan perhatian penuh pada Sasa, sementara Caca mendengarkan dengan seksama, menawarkan pandangannya sebagai seorang sahabat.
“Kamu tahu, Sasa selalu cerita kalau dia sangat bangga sama kamu,” kata Caca dengan senyum yang terasa getir di hatinya.
Arman menghela napas. “Aku tahu. Sasa itu istri yang luar biasa. Aku hanya khawatir, aku enggak selalu bisa ada untuknya.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Caca ingin menenangkan Arman, tetapi ia sadar, ada batas yang tidak boleh ia lewati.
“Kalau aku boleh bilang,” ujar Caca perlahan, “kadang kita terlalu keras sama diri sendiri. Kamu udah jadi suami yang baik, Arman. Aku yakin Sasa tahu itu.”
Arman tersenyum, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia merasa ada ketulusan di mata Caca yang berbeda dari orang lain.
***
Beberapa hari setelah acara itu, hubungan antara Caca dan Arman mulai berubah tanpa mereka sadari. Mereka bertukar pesan, awalnya hanya soal pekerjaan atau Sasa, tetapi perlahan-lahan topiknya mulai lebih pribadi.
Caca merasa ada seseorang yang akhirnya mendengarkan dirinya, memahami perasaan sepinya. Di sisi lain, Arman merasa nyaman berbagi pikiran dengan Caca, sesuatu yang ia anggap tak berbahaya karena ia percaya Caca adalah sahabat istrinya.
Sementara itu, Sasa tetap tak menyadari apa yang sedang terjadi. Hari-harinya dipenuhi oleh kegiatannya di rumah dan sesekali mengunjungi orang tuanya. Ia merasa hidupnya berjalan dengan baik, meski perasaan aneh tentang perubahan Arman masih menghantui.
“Mas, kapan kita liburan lagi? Sudah lama kita enggak pergi berdua,” tanya Sasa suatu malam saat mereka makan malam bersama.
Arman tersenyum tipis. “Boleh. Mungkin setelah proyek ini selesai.”
Namun, bahkan saat mengatakan itu, pikirannya melayang ke pesan terakhir yang ia terima dari Caca. Ia merasa bersalah, tetapi sekaligus tak mampu menghindar dari rasa nyaman yang mulai tumbuh.
***
Sebuah kesempatan lain mempertemukan mereka di luar kendali Sasa. Saat itu, Caca sedang berada di kantor Arman untuk membahas kerjasama baru antara perusahaan mereka. Setelah rapat selesai, Arman menawarkan untuk mengantarnya pulang karena hujan turun dengan deras di luar.
“Kamu enggak keberatan, kan?” tanya Arman saat mereka masuk ke mobil.
Caca menggeleng. “Enggak, malah aku senang. Rasanya lama enggak ngobrol santai.”
Di dalam perjalanan, percakapan mereka semakin hangat. Mereka tertawa mengenang beberapa momen lucu dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Namun, di balik tawa itu, ada ketegangan yang sulit dijelaskan.
“Caca,” ujar Arman tiba-tiba, suaranya lebih serius. “Terima kasih karena selalu ada untuk Sasa. Dia sering cerita tentang betapa pentingnya kamu dalam hidupnya.”
Hati Caca mencelos. Kata-kata itu seharusnya menjadi pengingat baginya untuk menjaga jarak, tetapi entah mengapa, justru menambah rasa sakit di dalam hatinya.
“Sasa itu... sahabat terbaik yang pernah aku punya,” jawab Caca pelan.
“Dan aku bersyukur dia punya kamu,” balas Arman, tanpa sadar menatapnya lebih lama dari seharusnya.
Saat itu, mereka berhenti di lampu merah. Hujan masih mengguyur kaca mobil, menciptakan suasana yang begitu sunyi di antara mereka. Caca merasakan debaran di dadanya, dan ia tahu, ia sedang berada di persimpangan takdir yang berbahaya.
***
Beberapa minggu setelah kejadian itu, perasaan bersalah terus menghantui Caca. Ia mencoba menjauh dari Arman, tetapi pesan-pesan singkat darinya membuat usaha itu sia-sia.
“Caca, ada yang salah?” tanya Arman dalam salah satu pesannya.
Caca mengetik jawaban, tetapi menghapusnya berulang kali. Akhirnya, ia hanya menulis, “Enggak, aku cuma butuh waktu.”
Namun, waktu yang ia butuhkan justru membawa mereka semakin dekat. Setiap interaksi, setiap percakapan, semakin mempererat ikatan yang seharusnya tak pernah ada.
Di sisi lain, Sasa mulai merasa sesuatu yang aneh. Arman sering pulang lebih larut dari biasanya, dan meski ia selalu punya alasan, Sasa merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Mas, kamu yakin enggak ada apa-apa?” tanya Sasa suatu malam.
Arman memandang istrinya sejenak sebelum menggeleng. “Enggak ada, Sayang. Cuma kerjaan aja.”
Sasa mencoba mempercayainya, tetapi hati kecilnya mulai ragu.
...****************...
Akan kah mereka berhenti sebelum semuanya terlambat? Atau justru takdir akan membawa mereka melewati garis yang tak seharusnya dilanggar?