Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendatangi Masa Lalu (2)
Dulu, aku langsung tahu bahwa siswa yang bersama Jaka itu bukanlah dari kelas yang sama denganku. Sosoknya sungguh terasa tidak tergapai.
Masa depan benar-benar sebuah misteri yang tidak terduga.
'Tunggu dulu. Apa jangan-jangan, mas Arwan juga sudah pernah melihatku saat itu?'
Sebelum berangkat ke sini, mas Arwan sama sekali tidak mengatakan apapun soal masa lalunya di sekolah.
'Nanti, aku akan coba tanya.'
Jujur, aku ingin tahu lebih banyak hal tentang suamiku. Aku senang, ketika mas Arwan mengatakan padaku bahwa ia sudah berteman dengan Jaka sejak kecil karena bertetangga.
Dan ternyata, laundry-an yang dulu aku berikan kepada Jaka itu adalah milik keluarga mas Arwan.
Rumah yang dulu pernah aku datangi juga merupakan kediaman keluarga Beentang, dan aku sama sekali tidak menduganya.
Kata mas Arwan, sejak dulu Jaka memang sering datang ke rumahnya untuk belajar bersama. Ia bahkan bilang kalau dirinya dengan jaka itu sudah seperti saudara.
Maka dari itu, kini Jaka menjabat sebagai sekretaris pribadi mas Arwan. Jaka benar-benar orang yang paling dipercaya oleh suamiku.
"Ehem!" Aku sedikit terkejut ketika Sofia tiba-tiba berdehem. Dia terlihat canggung bersamaku. Rasanya, perlakuannya padaku jadi berubah cukup drastis dibandingkan dengan yang dulu.
Selain karena bertambah dewasa, pasti karena dia juga sudah paham akan posisinya.
Diam-diam, aku melirik sekilas ke arah Sofia, sebelum melanjutkan makan.
Sofia terlihat memindahkan tasnya ke kursi di sebelah kirinya.
Ah, sepertinya dia malu, jika tas KW-nya bersanding dengan milikku.
"Kenapa dipindah?" tanyaku basa-basi. Aku hanya penasaran dan ingin melihat reaksinya.
"Oh, nggak," jawab Sofia terlihat canggung.
'Sofia lucu sekali.' Aku diam-diam tersenyum.
Tapi di sisi lain, aku jadi kasihan melihatnya. Bagaimanapun juga, Sofia pernah membuatku bahagia. Aku memang tidak menunjukkannya, namun sebenarnya aku merasa amat senang ketika dia mengajakku ke acara festival dulu.
Aku sempat berpikir, kalau aku ingin membuat kenangan masa SMA yang menyenangkan dengan Sofia sebelum lulus sekolah.
Sofia mendekatkan kepalanya ke arahku, membuatku refleks mengepalkan tangan dan tubuhku seketika menegang.
"Btw, Udah isi?" tanyanya sedikit berbisik.
"Belum," jawabku cuek.
Aku harus jaga jarak aman dengan Sofia. Aku tidak ingin pipiku memerah lagi karena dirinya. Masa lalu, memang tidak semudah itu untuk dilupakan.
"Gitu? Anak pertamaku aja, sekarang udah mau kelas enam SD, loh." Perkataan Sofia yang ini, berhasil mengejutkanku. Hampir saja, aku tersedak kue.
'Dia serius?' Tanpa sadar, aku sampai mendelik ke arah mantan teman sekelasku ini.
Kalau anak pertamanya saja sudah sebesar itu, apa setelah lulus SMA, Sofia langsung menikah? Aku sama sekali tidak menyangka.
'Apa karena terpaksa, ya?' Ah, sudahlah. Itu bukan urusanku, meski aku juga jadi sedikit penasaran.
"Anak kamu, emang udah berapa?" tanyaku akhirnya, tidak kuasa membendung rasa penasaranku.
"Aku saat ini lagi mengandung yang ketiga," jawabnya sambil mengusap perut yang terlihat masih rata.
'Ah, mungkin usia kandungannya baru beberapa minggu.' Aku mengangguk paham.
"Kamu kayaknya suka banget sama kue itu, ya?" tanya Sofia tiba-tiba keluar dari topik pembicaraan. Ia menunjuk ke arah kue yang entah sudah keberapa, masuk ke dalam mulutku sejak aku duduk di sini.
"Ah, iya. Lumayan enak juga kuenya,' jawabku seadanya.
Aku sendiri juga baru sadar, kalau sudah makan cukup banyak. Terlihat dari beberapa cup roti yang terlihat bertumpuk di tempat sampah di bawah meja.
"Katanya, yang buat kue ini tuh, chef yang udah terkenal, loh." Informasi dari Sofia, membuatku membulatkan mulut.
'Hm, pantas saja, rasanya enak,' kagumku dalam batin.
"Dan katanya, dia juga alumni sekolah ini. Sayang banget orangnya nggak bisa hadir hari ini. Dia sekarang buka pastry yang udah banyak banget cabangnya, bahkan sampe luar negeri."
"Waw," responku singkat dan datar, setelah menjeda gerakan mengunyah makanan.
"Jadi, dia awalnya ngerasa tersakiti, gara-gara seseorang nolak buat beli kue ubinya waktu acara festival sekolah dulu. Dia yang udah merasa hebat itu, akhirnya merasa terhina dan nggak terima. Dia berambisi buat belajar lebih giat lagi, sampai berguru ke luar negri juga. Kisahnya ini, sebenernya udah terkenal dan tertulis di buku biografinya. Kamu nggak tau?" Pertanyaan tiba-tiba dari Sofia tidak sempat kurespon, sebab kini aku sedang terbatuk-batuk karena tersedak kue.
'Itu adalah perbuatanku!' jeritku dalam hati.
'Pantas saja, rasa kuenya tidak asing.'
Sofia mengulurkan segelas minuman padaku dan aku langsung meneguknya perlahan, setelah menerimanya.
Yah, Meski merasa bersalah, tapi syukurlah, kalau orang itu sekarang sudah sukses.
Anggap saja, penolakanku dulu itu sebagai pendorong agar dia mau berkembang lagi.
Padahal, aku dulu menolaknya karena alasan tidak punya uang dan bukan karena rasa kue ubi buatannya tidak enak.
'Wah, orang elit itu ambisinya kuat sekali. Sangat patut untuk ditiru.'
~
Bersambung.....