Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Kejaran Tanpa Henti
Ariella memandang konvoi kendaraan yang terus melaju dengan kecepatan tinggi, menembus malam yang gelap. Di belakangnya, timnya berlarian, mengikuti setiap langkah dengan hati-hati. Suara tembakan yang terdengar dari kejauhan semakin dekat, menggema dalam kegelapan. Meskipun mereka sudah berhasil menyerang The Raven Syndicate di fasilitas utama, pengejaran mereka belum selesai. Pengiriman senjata nuklir itu harus dihentikan.
“Rael, kejar konvoi itu!” teriak Ariella melalui radio komunikasi. Suaranya tegas, dipenuhi tekad. “Jangan biarkan mereka kabur!”
Rael, yang berada di kendaraan terdepan, mengangguk dan meningkatkan kecepatan. “Kita harus memotong jalur mereka. Arahkan tim kita ke jalan utama yang lebih sempit.”
Ariella mengamati konvoi yang dipenuhi kendaraan besar dan beberapa truk pengangkut bahan nuklir itu. Tembakan dari pihak The Raven Syndicate mulai datang dari depan dan belakang, mencoba menghalangi jalan mereka. Mereka sudah tahu bahwa mereka dalam pengejaran, dan itu hanya berarti satu hal: perang habis-habisan.
“Ini akan menjadi pertempuran terakhir,” gumam Ariella dengan penuh keyakinan. Ia menekan tombol komunikasi di tangan kirinya. “Tim dua, siapkan peluru kendali. Kita tidak akan membiarkan satu pun kendaraan itu melarikan diri.”
Di dalam kendaraan kedua, Liana memonitor pergerakan musuh melalui sistem pengawasan satelit. “Ada dua kendaraan yang mendekat ke sisi kanan. Mereka mencoba memotong jalan kita,” katanya, matanya tak lepas dari layar.
Ariella mengerutkan kening. “Tidak ada jalan mundur. Kita harus mengalahkan mereka di sini.”
Rael memberi isyarat kepada timnya, dan beberapa kendaraan dari belakang mulai bergerak maju, mengepung konvoi musuh dari kedua sisi. Beberapa truk dari The Raven Syndicate terpaksa melambat saat mereka mendekati ujung jalan yang sempit, mempersempit ruang gerak mereka.
“Sekarang!” perintah Rael.
Ledakan mengguncang jalanan, disertai suara tembakan yang keras dari peluru kendali yang menghancurkan salah satu kendaraan pengawal di depan. Asap hitam membubung ke udara, menyelimuti jalanan dalam kabut tebal. Ariella dan timnya tidak memberi ampun. Mereka terus menekan, memasuki zona musuh dengan kecepatan tinggi.
Namun, musuh tidak kalah cerdas. Dari balik truk-truk besar, beberapa kendaraan bermotor yang lebih kecil keluar, bergerak cepat dan menembakkan senapan serbu dengan presisi. Ariella merunduk di dalam kendaraan, merasakan getaran peluru yang melesat melintasi kaca jendela.
Rael yang berada di depan tidak mengulur waktu. Ia menekan pedal gas, menabrakkan kendaraannya ke kendaraan penghalang, memaksa musuh mundur. “Ambil posisi! Jangan beri mereka kesempatan!” teriaknya, memberi perintah kepada timnya yang bergerak mengikuti dari belakang.
Ariella tidak gentar. Ia membuka pintu kendaraan dengan sigap dan melompat keluar, menghunus pistol dengan tangan kanan. Dengan gerakan yang terlatih, ia menembak seorang pria yang mencoba melarikan diri ke arah truk pengangkut. Satu tembakan, satu musuh jatuh ke tanah. Tanpa memberi kesempatan untuk bernafas, Ariella bergerak cepat, berlari menyusuri sisi jalan untuk mengejar kendaraan musuh yang terus berusaha melaju.
Rael yang mengikuti di belakangnya mengarahkan timnya untuk menembak dan menghentikan kendaraan yang semakin menjauh. Mereka berada dalam kejaran tanpa henti, berlari dalam kegelapan, dengan suara ledakan dan tembakan yang bersahutan.
Setiap detik sangat berharga. Ariella tahu bahwa jika mereka terlambat, seluruh dunia bisa berada dalam bahaya. Hanya ada satu cara untuk mengakhiri pertempuran ini: menghentikan konvoi musuh sebelum mereka bisa sampai ke tempat yang lebih aman dan menyelesaikan pengiriman senjata nuklir itu.
Ariella memacu langkahnya, menembak dua musuh yang sedang mencoba bersembunyi di balik kendaraan. Rael, di belakangnya, mengikuti dengan sigap, menembakkan peluru dengan akurasi tinggi. “Satu lagi!” Rael berteriak, berhasil menembak salah satu pria bersenjata yang mencoba menghentikan mereka.
Namun, seiring dengan kemajuan mereka, semakin banyak musuh yang muncul dari kegelapan malam. Mereka mulai menyebar, mencoba mengelilingi tim Ariella. Dari arah berlawanan, truk pengangkut yang lebih besar terus bergerak maju, semakin mendekati tujuan mereka.
Ariella berlari ke depan, memutuskan untuk mengubah strategi. “Tim dua, pindahkan posisi! Fokuskan tembakan ke pengemudi truk itu!”
Sebuah ledakan besar terdengar, dan truk pertama terhenti di tengah jalan, terbakar setelah peluru kendali tepat mengenai mesin penggeraknya. Namun, itu hanya menghentikan satu truk. Masih ada lebih banyak kendaraan di belakangnya yang tetap bergerak maju.
“Tidak cukup! Kita harus menghentikan mereka semua!” teriak Ariella.
Rael, yang tampaknya lebih dari siap untuk pertempuran ini, mengangguk dan memberi isyarat kepada Liana untuk segera mengaktifkan sistem pelacak kendaraan yang sudah dipasang. “Kita punya cara lain,” katanya dengan penuh keyakinan.
Liana mengangguk, memasukkan kode dengan cepat ke dalam perangkat. Seketika, kendaraan pengiriman nuklir di depan mereka mendapat sinyal untuk melambat, lalu berhenti di tempat yang tepat. Tim Ariella dengan cepat mengepung, namun tiba-tiba suara sirene memekakkan telinga mereka.
Polisi, mungkin, atau lebih buruk—tim militer yang telah dipanggil oleh The Raven Syndicate untuk mengatasi mereka. Ariella menggertakkan giginya. Jika mereka tidak mengalahkan pasukan ini, mereka tidak akan bisa menghentikan pengiriman tersebut.
“Arahkan tembakan ke unit-unit militer! Jaga mereka agar tidak mendekat!” teriak Ariella dengan suara yang penuh semangat.
Perang terbuka dimulai, dengan tim Ariella melawan pasukan yang jauh lebih terlatih dan lebih lengkap persenjataannya. Namun, Ariella tidak pernah ragu. Setiap keputusan yang ia buat adalah keputusan hidup dan mati.
Di tengah pertempuran yang semakin sengit, Ariella mendekati truk pengangkut terakhir yang berisi bahan nuklir. “Rael!” ia berteriak. “Bawa tim, hancurkan truk itu. Aku akan memastikan kita keluar dari sini hidup-hidup.”
Rael dan timnya bergerak ke depan dengan penuh semangat, menembakkan peluru mereka ke arah kendaraan musuh yang terus berusaha melarikan diri. Sebuah ledakan besar mengguncang jalanan, menghancurkan salah satu truk musuh dan membiarkan jalan terbuka untuk tim Ariella.
Ariella merasa denyut jantungnya berdetak lebih kencang. Keberhasilan mereka dalam menghancurkan sebagian besar konvoi memberi mereka sedikit ruang untuk bernafas. Namun, musuh yang tersisa berlarian, berusaha melarikan diri. Ariella tidak memberi ampun.
Dengan pistol di tangan, ia mengejar satu-satunya musuh yang tersisa yang tampaknya mencoba melarikan diri dengan berjalan kaki. Ariella tidak bisa membiarkan mereka lolos. Di hadapannya, pria itu berlari dengan cepat, namun Ariella yang sudah terlatih mengejar dengan kecepatan yang tidak kalah.
Begitu mereka hampir sampai, Ariella menembak satu kali lagi, menghentikan pria itu di tempat. Namun, sebelum dia bisa merayakan kemenangan mereka, sebuah ledakan hebat terdengar dari kejauhan. Sebuah bom telah diledakkan, merusak sebagian besar jalan yang mereka tempuh.
“Rael!” teriak Ariella, berlari kembali ke arah timnya. “Kita harus pergi sekarang! Semua tim, siap!”
Mereka segera berlari menuju kendaraan yang tersisa, menghindari reruntuhan yang berserakan di jalan. Konvoi yang hancur, bersama pasukan The Raven Syndicate yang kalah, menunjukkan bahwa pertempuran ini belum berakhir. Mereka mungkin telah menghentikan pengiriman nuklir untuk sekarang, tetapi Ariella tahu bahwa ancaman The Raven Syndicate masih jauh dari selesai.
Ariella menatap langit malam yang kelam, penuh perhitungan. “Ini baru permulaan,” bisiknya pelan, merasa ketegangan yang menyelimuti tubuhnya. Kemenangan mereka kali ini hanyalah langkah pertama dalam perjalanan yang lebih panjang.