Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
“Kau ... marah, kepadaku?”
Pertanyaan tersebut terlontar dari bibir berisi milik Andika kepada Mendung.
Setelah akan menikah lagi dan sepertinya sudah terbiasa berzina dengan Yanti. Bahkan bersama Yanti, Andika juga telah menjebloskan Pelangi ke penjara. Pantaskah Andika yang sampai kapan pun tetap akan menjadi ayah dari Pelangi, bertanya seperti tadi? Kenapa Andika harus bertanya apakah Mendung marah kepadanya. Sementara apa yang Andika lakukan saja, tak mungkin bisa dimaafkan?
Mendung memilih mengabaikan Andika. Terus begitu dan membuat Andika makin kesal saja. Sebagai gantinya, Andika mendorong keranjang berisi pakaian berea disetrika, dan menjadi alasan Mendung sibuk kemudian mengabaikannya. Menyaksikan itu, mendapati pakaian yang ia setrika susah payah malah terkapar di lantai, Mendung yang sempat mematung, dengan segera mendekati Andika kemudian menempelkan setrika panasnya ke kedua tangan Andika.
Andika meraung-raung kepanasan, tetapi Mendung merasa puas karenanya.
“Sayang, kamu kenapa? Aku masih dilulur biar kamu makin sayang aku! Biar besok pas malam pertama, rasanya jadi beda!” teriak Yanti dari kamar sebelah.
“Enggak, Sayang! Cuma kejepit!” Andika sengaja melindungi Mendung.
“Ah kamu Sayang, hobinya dijepit-jepit. Nanti, aku saya yang jepit kamu kayak biasa!” balas Yanti dengan suara manjanya.
Di kamar sebelah, Yanti memang sedang pijat memakai lulur. Lebih tepatnya, Yanti sedang melakukan perawatan untuk persiapan pernikahannya, besok. Karena sesuai rencana, hari besok juga pernikahan Yanti dan Andika akan digelar.
Meski sang suami terang-terangan membelanya, tak sedikit pun Mendung tersentuh. Mendung tetap fokus merapikan pakaian yang sebelumnya diberantakan oleh Andika.
“Entah hubungan apa yang mengikat kami, tetapi aku sudah tak sudi menjadi bagiannya lagi,” batin Mendung.
“Mendung ... kamu nyetrika apa ke alam barzah? Dari tadi enggak kelar-kelar! Cepat ke sini, bantu aku keramas! Manusia kayak enggak punya tulang. Mentang-mentang sudah tua, apa-apa serba lelet! Makan saja kamu cepat!” teriak Yanti dari dalam sana.
Mendung berangsur menghela napas pelan. Rasanya, ia sungguh ingin menyetrika bibir Yanti agar wanita itu tak berisik lagi. Andai Pelangi sudah dibebaskan, Mendung pastikan ia tak ragu melakukannya. Mendung rela dan sangat ikhlas dipenjara, asal bibir bahkan wajah Yanti rata setelah ia setrika.
Tanpa mau berurusan dengan Andika lagi, meski itu tak mungkin karena mereka saja tinggal satu rumah, Mendung segera menaruh keranjang berisi pakaian rapinya di lantai sebelah dinding. Ia agak mengusap beberapa bagian pakaian karena efek tumpah dari keranjang selaku wadahnya, beberapa pakaiannya jadi lecek lagi.
“Dikiranya aku akan mengejar apalagi mengemis kepadamu?” cibir Andika kepada Mendung yang masuk ke kamar sebelah.
Seperti biasa, kata-kata kasar sudah langsung menyambut Mendung dari Yanti. Seolah, Yanti merupakan Tuhan Mendung. Hingga Yanti merasa sangat berhak untuk memperlakukan Mendung sesuka hati.
“Cepat keramasin aku! Kalau nyonya lagi ngomong dijawab. Bisu, kamu ... sekadar ngomong saja enggak bisa!” kecam Yanti. Ia yang tengah tiduran sambil membiarkan kedua kakinya diurut, meminta Mendung untuk mengambil satu gayung air keran.
Mendung pikir, nyonya yang begitu haus pengakuan itu akan menggunakan air satu gayung yang diminta untuk apa. Namun, ternyata Yanti mengguyurkan ke wajah Mendung. Mendung refleks mundur, sementara rekan yang tengah melulur kaki Yanti, memilih diam. Demi cari aman, wanita paruh baya yang tengah melulur Yanti, bersikap seolah tidak melihat apa pun. Wanita berhijab hitam itu terus berlutut tanpa sedikit pun menoleh kepada Mendung.
“Saat nanti Pelangi sudah bebas, ... aku pastikan aku akan melakukan balasan tak berkesudahan, Yanti! Aku sungguh enggak peduli, mau berurusan dengan polisi, bahkan mati, aku bakalan tetap balas dendam!” batin Mendung masih berusaha bersabar. Ia yang sempat tersedak air guyuran Yanti, bersiap mengeramasi Yanti. Kebetulan, Yanti sudah duduk di kursi khusus. Yang mana di ruangan mereka berada memang menjadi ruang mempercantik diri untuk Yanti.
“Akan ada waktu, ruangan ini bukan lagi menjadi tempat kamu mempercantik diri. Karena nanti, ruang ini akan membuatmu menjadi monster. Apa kabar jika kulitmu sampai terkena air keras. Aku bahkan sudah tak sabar melihatmu begitu!” batin Mendung lagi yang masih mewajibkan dirinya untuk bersabar dan tetap melayani Yanti. Pun meski Yanti sangat rese, terus saja mengeluhkan kinerja Mendung, Mendung tetap bersabar. Walau sebenarnya, Mendung sudah sangat ingin menyabuni sekaligus menyikat wajah Yanti menggunakan sikat toilet.
***
Hari ini, hari yang Mendung tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Hari ini menjadi hari pernikahan Yanti dan Andika, yang dengan kata lain, detik-detik Pelangi dibebaskan sudah ada di depan mata. Tentunya, waktu Mendung untuk balas dendam juga sudah mendekati detik-detik terakhir. Sebentar lagi, Mendung tak lagi punya alasan untuk patuh lagi kepada Yanti.
Acaranya tetap dilakukan di rumah. Rumah yang sudah bagus sengaja dihias menggunakan bunga segar. Termasuk juga dengan kamar Yanti yang disulap layaknya kamar-kamar untuk bulan madu di hotel mewah. Kelopak bunga mawar Mendung susun membentuk hati sesuai arahan Yanti. Nyonyanya itu sungguh tidak mau keluar modal dan apa-apa serba Mendung yang mengerjakan.
“Itu dirapihkan ... goblog banget sih jadi orang!” ucap Yanti tak segan mendorong kepala Mendung sekuat tenaga.
Mendung yang sudah kelelahan dan memang tak dikasih makan maupun sekadar minum, dengan sangat mudah terjerembab. Dahi Mendung menghantam lantai. Kepala Mendung serasa terbelah saking sakitnya. Masalahnya, Mendung harus segera pergi dari sana. Sebab Yanti yang sudah menjalani rias dan tinggal memakai kebaya, berdalih akan ‘praktek’ menjalani malam pertama dengan Andika yang baru datang.
“Ya Allah ... ada ya, orang seperti Yanti,” batin Mendung susah payah mengontrol napas sekaligus langkahnya. Kepalanya begitu pusing, lantai di sana seolah bergoyang-goyang. Namun, ia harus segera pergi dari sana.
“Sayang ... kamu ngapain ngelihatin nenek-nenek itu sampai segitunya? Awas minggir dari pintu. Kamu jangan sampai kena dia, yang ada langsung jadi najis!” teriak Yanti.
Bukan hanya kedua telinga Mendung yang panas hanya karena mendengar setiap ocehan Yanti. Sebab sekujur tubuhnya juga, di tengah dadanya yang bergemuruh.
Melalui lirikannya, Andika yang minggir dari pintu kamar Yanti, mengawasi sang istri. Mendung melangkah pelan dan kedua tangannya berusaha pegangan asal. Andika berpikir, Mendung tidak baik-baik saja.
“Sayang, cepat tutup terus kunci pintunya. Mumpung aku belum pakai kebaya. Eh, enggak ... enggak. Harusnya biarin nenek-nenek itu lihat kita ngadon. Cepat Sayang, seret dia biar lihat kita. Cepat bawa dia ke sini,” sergah Yanti benar-benar berisik.
“Apaan sih Sayang, ... yang ada bentar lagi tuh orang juga pingsan.” Andika refleks menyikapi dengan sewot.
Di luar kamar, Mendung yang sudah sampai ruang tamu dan niatnya beres-beres di sana, sungguh berakhir jatuh. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, tetapi alih-alih terbanting ke lantai layaknya biasa. Kali ini ada sepasang tangan yang melakukannya. Aroma rokok terendus kuat dari sosok yang menolong Mendung. Bisa Mendung pastikan, yang menolongnya merupakan seorang pria, meski ia tak bisa melihat wajahnya secara jelas. Pandangannya kabur akibat rasa pening di kepalanya yang sangat berlebihan.
“Ndung ...?”
Suara barusan, dan memang suara berat dari seorang pria, sukses membuat dada Mendung berdebar.