Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan - Ada Yang Ketingalan
Adrian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ternyata Asyifa tidak tahan karena ingin buang air, bukan karena ingin menuntaskan hasratnya sama seperti dirinya tadi, yang menuntaskannya sendiri.
“Bapak kenapa sih? Aneh ih tanyanya? Masa orang lagi buang air suruh teriak-teriak?” ucap Asyifa.
“Aku lapar, makan yuk? Sudah selesai masaknya, kan?”
Adrian sengaja mengalihkan pembicaraan, karena ia malu dengan pikirkannya sendiri yang tiba-tiba jadi berpikiran negatif tentang Asyifa. Pasalnya, jika Naura ingin sekali, dia menuntaskan hasratnya sendiri di kamar mandi. Adrian kira Asyifa melakukan hal yang sama dengan Naura.
“Hmmm ... pantas saja bicaranya ngelantur, ternyata Bapak lapar? Ya sudah yuk kita makan,” ajak Asyifa.
Mereka duduk saling berhadapan di depan meja makan. Tangan Asyifa cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya.
“Silakan, Pak. Selamat makan,” ucapnya dengan senyum tipis di wajahnya.
“Selamat makan juga, Asyifa,” jawab Adrian.
Adrian menyendokkan makanannya, dan mulai mencicipi masakan Istrinya. Sungguh masakan yang diracik dengan bumbu sederhana itu membuat lidah Adrian ketagihan. Lebih tepatnya Adrian sudah jatuh cinta pada rasa masakan Istri Mudanya. Tanpa mengatakan apa pun, dan mengomentari apa pun soal masakan Asyifa, Adrian terus melahap makanan yang disajikan Asyifa sampai sudah habis separuhnya.
“Asyifa, saya baru pernah makan sayur lodeh seenak ini, boleh kalau saya tambah lagi?” pinta Adrian.
“Boleh, Pak. Saya masak kan untuk Bapak juga? Sini biar saya ambilkan.” Dengan segera Asyifa mengambilkan makanan lagi untuk Adrian.
“Kamu jago masak, ya?” puji Adrian.
“Kata Almarhumah ibu, perempuan itu harus pandai memasak. Katanya supaya suami dan anak-anaknya makanannya terjamin, tidak sembarangan makan di luar,” jawabnya dengan tatapan sendu.
“Kamu kangen dengan mendiang ibumu?” tanya Adrian.
“Sangat, sebelum Ayah dan Ibu pergi, hidupku serba kecukupan, Ayah menjamin hidup kami supaya tidak pernah kekurangan sedikit pun, akan tetapi, peristiwa itu membuat mereka pergi untuk selamanya meninggalkan kami bertiga,” jawabnya dengan tatapan kosong. Guratan kesedihan tercetak jelas di wajah manis Asyifa.
Adrian melihat Asyifa semakin hanyut dengan lamunannya. Matanya tiba-tiba sendu sambil menatap kosong ke satu arah. Tangan Adrian meraih tangan Asyifa, mengenggamnya memberikan sedikit rasa tenang di hati Asyifa. “Jangan ceritakan apa pun yang membuat kamu sedih, maaf aku sudah mengingatkan kenangan yang membuat kamu sedih. Mari kita makan lagi.”
“Iya, maaf. Saya malah melamun, mengingat semua kenangan indah dengan Ayah dan Ibu dulu,” ucap Asyifa gugup.
Mereka melanjutkan makan siangnya. Saling diam, tidak ada lagi pembicaraan, hanya denting sendok dan piring yang terdengar sedikit nyaring. Hingga suasana itu terpecah karena dering ponsel Adrian. Adrian segera meraih ponselnya, melihat siapa yang meneleponnya.
“Ada apa, Ga?” tanya Adrian.
“Baik satu jam lagi aku ke kantor!” jawab Adrian.
Mendengar suaminya sudah akan ke kantor, Asyifa langsung cepat-cepat menghabiskan makanannya, karena ia ingat, baju Adrian masih ada dijemuran, dan belum ia setrika.
“Kamu kok jadi cepat-cepat gitu makannnya, Fa?” tanya Adrian.
“Baju Bapak, masih di jemuran, belum aku setrika. Bapak mau ke kantor, kan?”
“Iya, tapi satu jam lagi,” jawab Adrian.
“Ya sudah saya ke belakang dulu ambilkan baju Bapak, lalu menyetrikanya,” ucap Asyifa.
“Jangan buru-buru. Temani saya sampai selesai makan, baru boleh meninggalkan meja makan. Kamu juga belum selesai makannya, urusan baju bisa nanti. Tidak baik makan buru-buru,” tutur Adrian.
“Oh, baiklah,” jawab Asyifa pasrah.
Adrian hanya masih ingin menikmati momen makan siang yang menurutnya sangat spesial. Bagaimana tidak spesial, semua yang Asyifa masak sangat cocok di lidahnya, dan baru kali ini Adrian dimanjakan oleh masakan yang benar-benar dimasak khusus untuk dirinya, apalagi dari istrinya. Istri? Bukannya Adrian tidak mau menganggap Asyifa istrinya?
**
Selesai makan, Asyifa membereskan piring dan gelas, lalu mencucinya. Mengelap meja, dan menata sisa makanan, lalu menutupnya dengan tudung saji. Adrian kembali menerima telepon dari Hasan, kalau dirinya harus segera ke kantor. Meeting setengah jam lagi akan dimulai.
“Fa, bajuku di mana?” tanya Adrian.
“Oh iya, sebentar saya ambilkan,” jawab Asyifa.
Asyifa ke belakang mengambil baju Adrian yang sedang dijemur, lalu langsung membawanya ke kamar belakang tempat khusu untuk menyetrika.
“Kamu mau menyetrika bajuku?” tanya Adrian.
“Iya, ini sangat kusut dan tidak rapi kalau dipakai ke kantor,” jawab Asyifa.
Adrian ikut masuk ke dalam kamar belakang, yang seharusnya menjadi gudang, tapi Asyifa tata untuk menjadi ruangan yang berguna, seperti untuk menyetrika dan menaruh baju-baju yang baru selesai dijemur. Adrian memerhatikan dengan seksama, Asyifa yang sedang menyetrika bajunya. Setengah hari di rumah Asyifa, ia merasa diperlakukan seperti raja, diperlakukan baik oleh istrinya. Tidak pernah Naura seperhatian itu pada dirinya, jangankan soal baju yang akan dipakainya ke kantor, soal makanan saja tidak pernah diperhatikan?
“Pak? Ini lho bajunya? Kok bengong sih?” Asyifa membuyarkan lamunan Adrian yang berdiri di depannya.
“Kamu cantik,” ucap Adrian.
“Hah? Gimana, Pak?” tanya Asyifa.
“Oh maaf, sini bajunya,” ucap Adrian dengan meraih bajunya, dan langsung melepas kaos milik Asyifa, lalu memakai baju yang baru disetrika oleh Asyifa.
“Jangan langsung dipakai, Pak. Masih panas,” tutur Asyifa.
“Oh iya, masih panas ternyata. Ya sudah saya ke kamar dulu, untuk siap-siap,” jawab Adrian.
Adrian menatap cermin setelah memakai bajunya. Bukan baju kantor formal seorang CEO yang ia pakai sekarang, akan tetapi pakaian santai, hanya kemeja lengan pendek biasa, dan celana biasa yang ia pakai. Namun, Adrian merasa sangat nyaman menggunakannya, dan ia ingin memakainya ke kantor. Wangi bajunya membuat Adrian nyaman memakainya. Bukan wangi parfum mahal yang ia gunakan setiap hari, akan tetapi wangi lembut dari hasil setrikaan Asyifa.
“Aku tinggal ke kantor dulu, ya?” pamit Adrian pada Asyifa.
“Baik, Pak. Selamat bekerja,” jawab Asyifa.
“Baik-baik di rumah,” ucap Adrian. Asyifa mengangguk, dan tanpa ragu diraihnya tangan Adrian lalu diciumnya.
“Hati-hati,” ucap Asyifa.
“I—iya,” jawab Adrian gugup mendapat perlakuan Asyifa yang patuh pada dirinya.
Dengan cepat-cepat Adrian melangkahkan kakinya untuk pergi ke kantor. Apalagi dia merasa tidak keruan hatinya karena perlakuan lembut Asyifa tadi. Adrian mengurungkan membuka pintu mobilnya, ia kembali menoleh ke arah istrinya, tersenyum ke arah Asyifa, dan senyuman itu pun dibalas oleh Asyifa dengan hangat.
Adrian memutar badannya, lalu berjalan kembali ke arah Asyifa yang masih menunggunya di depan sampai dia berangkat ke kantor.
“Ada apa kok balik lagi?” tanya Asyifa.
“Ad yang ketinggalan, Fa,” jawab Adrian.
“Apa, boleh saya ambilkan?” tanya Asyifa.
“Eng—enggak usah, Fa. Ini kok yang ketinggalan,” jawab Adrian dengan meraih tubuh Asyifa, dan mendekatkan kepalanya ke kepala Asyifa.
Cup ...
Adrian mengecup kening Asyifa dengan lembut. “Ini yang ketinggalan. Nanti malam aku pulang ke sini,” bisik Adrian.
“Hah?” ucap Asyifa dengan tertegun mendapat perlakuan Adrian.
“Siap-siap untuk nanti malam. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”