Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Mulai Bekerja.
“Ternyata kamu bisa diandalkan juga anak manis.” Ucap rentenir—seorang wanita paruh baya dengan dandanan mentereng.
Mereka kini tengah berada di rumah kontrakan, dan seorang preman sedang menghitung uang yang di serahkan oleh Gista ditemani oleh bapak.
“Aku harap kedepannya kita bisa bekerja sama lagi. Jangan sungkan datang padaku jika kalian tidak memiliki uang.” Ucap rentenir itu sembari memainkan kuku tangannya yang berhiaskan cat merah menyala.
“Terima kasih, nyonya. Tetapi, aku pastikan tidak akan ada lain kali. Bapak tidak akan meminjam uang lagi.” Ucap Gista dengan tegas.
Wanita paruh baya itu tergelak. “Percaya diri sekali kamu gadis manis.”
“Kenapa tidak?” Gista berbalik melempar tanya meski kini jantungnya sedang berdebar kencang.
“Lalu bagaimana denganmu, Gideon?” Tanya rentenir itu pada bapak Gista yang bernama Gideon.
Pria paruh baya itu hanya mampu menundukan kepala. Ia sungguh malu pada sang putri. Merasa tidak becus menjadi seorang ayah.
Setelah uang yang di berikan Gista di katakan sudah genap oleh preman, pasangan rentenir dan anak buahnya itu pun pergi meninggalkan rumah kontrakan.
Sepeninggal penagih hutang itu, Gista tiada henti mewanti wanti sang bapak agar tidak lagi berurusan dengan rentenir. Bukannya gadis itu tidak mau membayar, namun ia tidak ingin nyawa bapaknya dalam bahaya.
“Pak, bapak mendengar apa yang aku katakan, ‘kan?” Tanya Gista saat sang bapak hanya diam tak memberikan tanggapan apapun.
“Iya, nak. Bapak mendengarnya.” Ucap pria paruh baya itu kemudian.
“Jangan cuma di dengarkan saja, pak. Tetapi di lakukan juga.” Imbuh Gista lagi.
“Iya, nak.” Bapak beranjak pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
Gista menghela nafas kasar. Entah kenapa ia merasa ragu dengan jawaban sang bapak. Gadis itu pun masuk ke dalam kamarnya.
“Sudah jam dua.” Gumam Gista saat melihat jam kecil di atas meja belajarnya.
Gadis itu kemudian bergegas. Ia harus pergi ke apartemen Dirga untuk memulai pekerjaannya. Gista harus tau diri. Sang atasan sudah sangat baik padanya. Memberikan pinjaman tanpa perjanjian hitam di atas putih, dan jaminan apapun.
“Kamu mau kemana, nak?” Tanya sang bapak ketika Gista keluar dari kamarnya dengan pakaian yang berbeda.
“Aku harus ke tempat orang yang memberikan pinjaman, pak. Aku tidak mau setelah ini kita terkena masalah lagi.” Gadis itu meraih tangan sang bapak untuk berpamitan.
“Ini kunci motornya.” Pria itu merogoh saku celananya.
Namun Gista menolak. “Motornya bapak saja yang bawa. Aku bisa naik ojek.”
“Tapi, nak. Kamu lebih membutuhkannya.” Paksa bapak.
“Aku tau. Tapi biar bapak saja yang bawa. Manfaatkan dengan baik, pak. Tolong jangan berbuat kejahatan apalagi kembali berjudi. Aku ingin bapak baik-baik saja. Maaf karena tidak bisa menjadi putri yang berbakti. Suatu hari nanti, aku pasti akan membalas kebaikan bapak.”
Entah kenapa Gista merasa perlu memperingati sang bapak berulang kali agar pria paruh baya itu mengerti dan berhenti melakukan perbuatan haram.
“Iya, nak. Kamu hati-hati dan jaga diri dengan baik juga.”
\~\~\~
Dalam perjalanan menuju apartemen Dirga, Gista mengirim pesan pada pria itu. Mengatakan jika siang ini, dirinya akan mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Tepat saat Gista membuka pintu unit apartemen sang atasan, pesan balasan dari Dirga pun masuk pada ponselnya.
‘Alat kebersihan ada di gudang dekat dapur. Dan tolong kamu masukkan ke mesin cuci pakaian kotor yang ada di ruang ganti kamar saya.’
“Baiklah.” Gista membaca pesan itu. Ia meletakan tas selempang yang di bawanya diatas sofa.
‘Ada sebuah kamar kosong di samping gudang. Kamu bisa menggunakan untuk beristirahat.’
Pesan masuk kedua saat Gista hendak membalas pesan yang pertama.
“Baik, pak.” Balasnya singkat.
Gadis itu pun memulai pekerjaannya. Mengambil peralatan kebersihan dari gudang. Kemudian pergi ke lantai dua.
Ia mulai dari kamar Dirga.
Gadis itu ingat, jika Dirga mengatakan menyimpan kunci di dalam sela tanaman hias, diatas meja. Dan ia pun mendapatkannya.
Dengan hati-hati Gista memasuki kamar pria itu.
Kesan maskulin sangat kental terasa ketika pintu kamar di buka. Nuansa putih dan abu-abu sangat mendominasi.
Ranjang berukuran King size dengan sprei putih terletak di tengah ruangan. Televisi berukuran besar menempel pada dinding, tepat di depan tempat tidur. Pintu balkon terbuat dari kaca lebar dengan tirai abu-abu.
“Apa kamar duda memang seperti ini?” Gumam Gista sembari mengamati ruangan itu.
Namun, sedetik kemudian kepala gadis itu menggeleng kencang. Ia berada di tempat itu untuk bekerja. Bukan untuk diam mengamati seisi ruangan.
“Kita mulai dari kamar mandi.” Ucap gadis itu.
Kepala Gista memutar, mencari dimana letak kamar mandi. Hingga ia menemukan sebuah pintu bercat putih yang tak jauh dari ranjang.
Ternyata itu ruang ganti. Namun, ada pintu lain tepat di sebalah kanan. Gista pun membukanya. Dan di sanalah letak kamar mandinya.
“Luas sekali.” Gumam Gista mengamati kamar mandi itu. Luasnya setara dengan ruangan di dalam rumah kontrakannya.
Ada bak mandi besar di dekat jendela kaca, tempat membilas tubuh yang di batasi sekat kaca. Juga tempat buang air yang terpisah.
Sungguh sangat mewah menurut gadis itu.
Tidak ingin terlalu lama membuang waktu, Gista pun bergegas membersihkan kamar mandi itu.
Setelah selesai, ia pun beralih ke ruang ganti. Gista tidak berani membuka lemari pakaian. Ia hanya menyapu dan mengepel lantai kemudian memungut pakaian pakaian kotor.
“Banyak sekali.” Ucap gadis itu ketika mengangkat keranjang cucian yang terasa berat.
Gista membawa turun pakaian kotor itu dan memasukkan ke dalam mesin cuci. Ia kemudian kembali ke lantai dua untuk membersihkan kamar tidur Dirga.
Tak terasa waktu berlalu. Sudah dua jam gadis itu bekerja, namun ia baru selesai membersihkan kamar sang atasan.
“Lelah sekali.” Ucap Gista seraya meregangkan kedua otot lengannya.
“Aku akan melanjutkan besok.” Ucapnya sembari mengunci kamar Dirga dan menyimpan kembali kunci di sela tanaman hias.
“Pak, saya baru selesai membersihkan kamar tidur bapak. Untuk ruang tamu atas dan bawah akan saya lanjutkan besok. Karena sekarang saya harus bekerja ke kafe.”
Gista mengirim pesan pada Dirga saat dirinya berada di dalam lift menuju basemen apartemen.
“Terima kasih, Anggi.”
“Anggi?” Dahi Gista berkerut ketika membaca balasan pesan dari Dirga.
Apa mungkin pria itu salah mengirim pesan?
“Anggi siapa ya, pak?”
“Anggista Anggraini. Bukannya itu nama kamu?”
Gista hanya mampu menganga membaca pesan balasan itu. Bagaimana bisa ia melupakan namanya sendiri? Itu karena tidak ada orang yang memanggilnya Anggi.
“Iya, pak.”
Namun, pesan itu tidak mendapatkan balasan lagi. Mungkin saja Dirga sedang sibuk. Lagi pula, dirinya bukan orang penting yang harus pria itu utamakan.
“Selamat datang hidup yang keras.” Ucap Gista saat ia melangkah ke luar dari dalam lift.
semoga kamu bisa cepet bayar utang ke Dirga
pergi dan carilah kebahagiaan kamu sendiri
syukur2 Dirga merana di tinggal kamu
tetap semangat ya gistaaaa💪😊