Diana, gadis manis yang harus merasakan pahit manisnya kehidupan. Setelah ayahnya meninggal kehidupan Diana berubah 180 derajat, mampukah Diana bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aprilli_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Flasback
Mendengar setiap untaian kata yang Ibu ucapkan membuatku mengingat akan kejadian malam itu, iya... kejadian yang membuat Ayah pergi dari rumah dan membawa Andi juga.
Kala itu aku masih duduk dibangku kelas 1 SD sedangkan Andi sekolah TK A, sepulang sekolah aku langsung menghampiri Ayah yang berada dirumah Nenek Sita (Ibu dari Ayah) aku memilih menginap disana satu malam dan izin tidak masuk sekolah. Pada malam harinya saat Andi terlelap aku mencoba bicara dari hati ke hati dengan ayah,
"Ayah ayo pulang lagi kerumah Yah,"
Sambil menahan air mata yang siap terjun bebas saat aku mengedipkan mata,
"Maaf Na Ayah tidak bisa pulang sekarang, Nana tahu kan Ibu marah kepada Ayah, kita tunggu emosi Ibu mereda ya Nak,"
Aku yang tidak tahan dengan situasi saat itu hanya bisa menangis dipelukan Ayah.
"Sampai kapan Ayah seperti ini?"
Aku memeluk Ayah dan mendengar irama jantung Ayah yang tidak beraturan, entah menahan tangis ataupun menahan emosi Ayah menghapus air mata yang mengalir di pipiku sambil berkata
"Sabar ya Nak, kita tidak selamanya akan seperti ini Nana harus kuat ya Nak."
Tidak kuasa aku mendengar ucapan Ayah akhirnya aku menangis di pelukan Ayah hingga terlelap.
Siang harinya aku memutuskan pulang, sepulang dari rumah Nenek Ibu mengajakku ke taman yang dekat dengan rumah Nenek Sita.
"Na ajak Ayah kesini sebentar ya bicara ke ayah kalau Ibu menunggu di taman tapi usahakan jangan sampai terdengar Nenek, Nana paham?"
Aku yang mendengar penuturan Ibu merasa senang karena yang ada di dalam pikiranku
'Mereka pasti baikan lagi'
Aku menganggukkan kepala tanpa dikomando lagi aku melesat ke rumah Nenek Sita.
Sesampainya di rumah Nenek Sita aku mencari keberadaan Ayah dan ternyata Ayah masih berada di tempatnya bekerja sejurus kemudian aku menghampiri Ayah.
"Ayah ada salam dari Ibu katanya Ibu nunggu Ayah di taman, di tempat biasa,"
Ucapku lirih tepat d telinga kanan Ayah, wajah kuyu itu pun akhirnya tersenyum merekah saat mendengar apa yang aku ucap sebelumnya.
"Iya Na Ayah mandi dulu setelah itu kita ke taman menghampiri Ibu,"
Aku yang melihat Ayah seantusias itupun merasa bahagia lalu aku mengajak Andi sekalian.
"Dik, ayo ikut Kakak ke taman kita bermain bersama disana,"
"Wah asyik ayo Kak,"
"Tapi kamu janji dulu Dik jangan bicara apapun kepada Nenek, kita semua perginya harus hati-hati, ok?!"
Ucapku yang tidak ingin Nenek ikut campur dalam masalah rumah tangga Ayah dan Ibu.
"Ok Kak!"
Aku yang menunggu Ayah dan Andi hanya bisa bernafas lega lalu memanjatkan doa dalam hati agar semuanya baik-baik saja tanpa ada masalah lain yang muncul.
Saat aku asyik larut dalam lamunanku Ayah menghampiriku lalu menepuk pundakku,
"Astaghfirullahal'azim Ayah Ngaget-ngagetin saja untung jantung Nana masih aman, kalau copot bagaimana coba?!"
Ucapku sambil mendramatisir keadaan dan Ayah duduk disampingku.
"Kamu tidak usah banyak pikiran ya Nak, cukup doa kan yang terbaik saja untuk kita semua, Nana mengerti kan?"
Aku hanya menganggukkan kepala mendengar perkataan Ayah lalu Andi menghampiri kami setelah itu Ayah melihat situasi dirasa situasi aman kami langsung pergi ke taman.
Aku memilih menghindar dari orang tuaku mengajak serta Andi agar mereka dapat menyelesaikan masalahnya. Hampir 2 jam lamanya aku bermain aku memilih menghampiri Ayah dan Ibu yang sudah tertawa riang.
Ayah memang humoris orangnya setiap bicara selalu mengundang tawa, aku yang melihat itu dari kejauhan menghela nafas lega.
"Akhirnya Ayah dan Ibu baikan lagi, semoga ini yang terakhir Ayah memilih pergi dari rumah."
Aku mengajak Andi sekalian menghampiri mereka dan berlagak seakan-akan aku tidak tahu apa-apa padahal sebenarnya aku selalu memantau mereka dan mencari cara agar mereka tidak selalu bertengkar.
Pertengkaran memang menjadi bumbu dalam bahtera rumah tangga tapi setiap anak tidak ingin salah satu orang tuanya tersakiti. Bertengkar memang hal wajar tapi sangat berpengaruh pada psikologis anak.
(Nb : Untuk para orang tua diluar sana, kalian boleh beda pendapat dengan pasangan, boleh beda argumen dengan pasangan tapi tolong jangan di depan anak, anak bukan tidak tahu apa-apa, mereka hanya memendam perasaan meraka tanpa bisa mengutarakan apa yang mereka rasakan.)
Larut dalam lamunan kala itu aku tidak sadar Ayah mengetuk pintu kamarku, sayup-sayup aku mendengar Ayah memanggil namaku lalu aku beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu.
"Na, Nana apa Ayah boleh masuk Nak?"
Sesegera mungkin aku membukakan pintu untuk Ayah.
"Iya Yah silahkan masuk Yah, maaf tadi Nana ganti pakaian,"
Ujarku membuat alasan yang masuk akal kepada Ayah.
"Iya Nak tidak apa-apa, kamu jangan terlalu berpikir keras ya Nak, kamu bisa drop kalau terlalu berpikir keras. Ayah tidak apa-apa kok Ayah sudah terbiasa kan dengan semua ini jadi Nana pikirkan diri Nana sendiri dan fokus dengan kesehatan Nana, mengerti Nak?"
Aku hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab sepatah kata pun lalu Ayah berlalu pergi meninggalkan aku yang berperang dengan pikiranku sendiri.
Keesokan harinya disekolah lagi-lagi saat jam pelajaran aku mimisan dan entah sampai kapan aku seperti ini terus, uluran tangan yang selalu aku dapatkan dari orang yang aku anggap bak malaikat tidak bersayap.
Siapa lagi kalau bukan Milen, iya Milen yang selalu mengulurkan tangannya saat aku terjatuh, Milen yang selalu mengulurkan tangannya saat aku butuh bantuan dan Milen pula yang selalu siap mendengar setiap keluh kesah ku.
"Mimisan lagi Na?"
Sambil menyodorkan tisu di depanku.
"Iya Len, entah sampai kapan aku seperti ini terus,"
"Sudah kamu jangan seperti itu yang penting kamu tidak pusing kan? Hanya sekedar mimisan saja,"
Aku yang menyeka darah yang keluar dari hidungku hanya bisa menganggukkan kepala. Lalu Milen fokus mendengar penjelasan dari Guru setelah darah yang keluar kurasa telah berhenti aku memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa yang masih menempel.
Aku menuju wastafel guna membersihkan sisa darah di hidungku tanpa sengaja aku mendengar cerita dari kakak kelas.
"Rin kamu tahu tidak? Ternyata sekolah kita itu bekas rumah sakit loh,"
"Yang benar Nil, Hihh... Kok seram ya,"
"Benar Rin, apalagi di kamar mandi itu bekas kamar mayat,"
Mendengar cerita itu seketika bulu kudukku berdiri dan secepat mungkin aku kembali ke kelasku.
Saat bel istirahat berbunyi aku menceritakan apa yang aku dengar dari kakak kelas itu.
"Len tahu tidak, tadi saat aku ke wastafel aku mendengar kakak kelas cerita tentang sekolah ini,"
Milen yang mendengar itu hanya mengernyitkan dahi.
"Tentang sekolah ini, memangnya ada apa dengan sekolah ini?"
Aku melihat sekitar lalu berbisik ke telinga Milen.
"Sekolah ini katanya bekas rumah sakit dan kamar mandi itu dulunya bekas kamar mayat,"
Lalu aku melanjutkan
"Ih seram sekali tidak sih, Aku tadi langsung merinding dengar cerita dari kakak kelas itu, aku secepat mungkin membersihkan hidungku setelah itu lari ke kelas,"
Milen yang mendengar ceritaku itu lalu menambahkan.
"Kerap sekali sekolah itu dijadikan momok yang katanya bekas rumah sakit lah, bekas kuburan lah. Tapi yang membuat aku heran kenapa kamar mandi di sekolah terkesan angker ya, apa momok yang beredar itu benar adanya?"
Ucap Milen dengan segala argumennya,
"Eh iya kan, kamar mandi tempat paling angker menurutku apa yang diceritakan kakak kelas itu benar ya kalau sekolah kita ini bekas rumah sakit?"
Aku dan Milen memikirkan hal itu lalu Milen menjawab
"Entahlah yang penting kita disini mencari ilmu hal seperti itu abaikan saja."
Aku mengiyakan ucapan Milen dan bel tanda masuk pun telah berbunyi.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya