Elowen, seorang wanita muda dari keluarga miskin, bekerja sebagai asisten pribadi untuk seorang model internasional terkenal. Hidupnya yang sederhana berubah drastis saat ia menarik perhatian dua pria misterius, Lucian dan Loreon. Keduanya adalah alpha dari dua kawanan serigala yang berkuasa, dan mereka langsung terobsesi dengan Elowen setelah pertama kali melihatnya. Namun, Elowen tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan menolak perhatian mereka, merasa cemas dengan intensitasnya. Lucian dan Loreon tidak menerima penolakan begitu saja. Persaingan sengit antara keduanya dimulai, masing-masing bertekad untuk memenangkan hati Elowen. Saat Elowen mencoba menjaga jarak, ia menemukan dirinya terseret ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan, dunia yang hanya dikenal oleh mereka yang terlahir dengan takdir tertentu. Di tengah kebingungannya, Elowen bertemu dengan seorang nenek tua yang memperingatkannya, “Kehidupanmu baru saja dimulai, nak. Pergilah dari sini secepatnya, nyawamu dalam bahaya.” Perkataan itu menggema di benaknya saat ia dibawa oleh kedua pria tersebut ke dunia mereka, sebuah alam yang penuh misteri, di mana rahasia tentang jati dirinya perlahan mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Two Alpha's And Mate
Di sebuah sudut kota yang tenang, terdapat sebuah kafe yang menggabungkan desain vintage dan modern dengan suasana hangat dan nyaman. Begitu memasuki kafe, aroma kopi yang baru diseduh langsung menyambut, berpadu dengan wangi roti dan kue yang baru dipanggang. Lampu-lampu kecil menggantung dengan lembut di langit-langit, memberikan cahaya temaram yang menciptakan atmosfer yang intim. Dinding-dinding kafe dihiasi dengan karya seni minimalis dan tanaman hijau yang menambah kesan alami.
Meja-meja kayu yang dihias dengan vas bunga segar berada di sepanjang ruangan, sementara di sudut-sudut lebih gelap, ada beberapa kursi empuk yang mengundang untuk berlama-lama duduk. Musik latar yang lembut mengalun, tak mengganggu percakapan, namun cukup untuk mengisi kekosongan di antara obrolan.
Di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, ada suasana luar yang cerah dengan matahari yang meredup, menyinari dinding kaca dengan kehangatan alami. Ada beberapa pelanggan yang menikmati waktu mereka.
Loreon memesan matcha latte panas. Dengan warna hijau cerah yang kontras dengan gelas putih, matcha latte ini dihiasi sedikit busa di atasnya. Rasanya manis
Valerie memilih hot chocolate dengan marshmallow di atasnya. Minuman cokelat panasnya kental, kaya rasa, dan lembut, hampir seperti pelukan hangat di tengah udara dingin. Marshmallow yang meleleh perlahan menambah rasa manis dan kehangatan.
Valerie dengan mata tajam, memandang Loreon. "Aku tahu kamu seorang gamma, Loreon. Kenapa kamu datang ke sini? Di packmu banyak yang lebih membutuhkanmu, kenapa justru aku yang kamu temui?"
Loreon dengan ekspresi datar, sambil menatap Valerie dengan penuh perhatian. "Aku datang atas perintah Alpha. Sudah hampir setengah bulan, tidak ada kabar darimu. Alpha khawatir, Valerie. Itu sebabnya aku yang akhirnya diutus."
Valerie menghela napas berat, sedikit menghindari pandangannya.
"Aku tidak ingin menambah beban pikiran Harrison. Dia sudah cukup banyak memikirkan aku dan keadaan pack. Dia suamiku, Loreon, dan aku tak ingin dia terlalu terbebani."
Loreon memandang Valerie dengan serius, suara agak tegas.
"Justru, tindakanmu itu yang hampir membuat Alpha gila. Dia tidak tahu apa yang terjadi padamu, dan dia hampir melampiaskannya padaku. Alpha sangat khawatir, terutama karena kau hidup bebas di luar sana, tanpa kabar. Untungnya, Beta Damian masih bisa menenangkan Alpha, jadi aku yang akhirnya diutus untuk menemui dan melihat keadaanmu."
Valerie terdiam, merasa berat hati dan sedikit bersalah, ingin meminta maaf tapi merasa ragu.
"Ah... aku tidak... aku tidak tahu harus berkata apa."
Valerie kemudian cemas, wajahnya berubah sedikit khawatir.
"Tapi... dia tidak terluka, kan?"
Loreon menatap Valerie dengan pandangan tajam, kemudian menggeleng pelan.
"Tidak. Hanya saja, dia hampir gila, Valerie. Perasaan cemas itu membuatnya hampir tidak bisa mengontrol dirinya sendiri."
Valerie melotot kesal, tidak suka cara Loreon berbicara tentang suaminya. " Apa? Kamu... kamu mengatai Harrison seperti itu?!"
Valerie mencoba tetap tenang. "Kalau begitu, apakah aku bisa pulang sekarang?"
"Situasi di istana belum kondusif. Kau harus tinggal lebih lama di sini. Aku rasa itu yang terbaik untukmu, Valerie."
Valerie wajahnya muram, sedikit terlihat lelah dan kesepian, matanya menatap ke luar jendela, memikirkan keluarganya.
Sulit jauh dari keluarga dan suamiku, tempat asing ini Tapi, Valerie beruntung bertemu dengan Elowen, dia... ceria, bar-bar, suka bercanda. Kalau bukan karena dia, mungkin Valerie sudah merasa sangat kesepian di sini.
Valerie dengan sedikit harapan, menatap Loreon dengan mata penuh rasa ingin tahu
"Jadi, kapan aku bisa kembali ke sana?"
Loreon suara berat, tidak bisa memberi kepastian.
"Aku tidak tahu pasti, Valerie. Tapi Alpha Harrison akan mengunjungimu dalam waktu dekat."
Valerie raut wajahnya tampak semakin cemas dan khawatir.
"Tapi kenapa harus seperti ini? Apa yang terjadi dengan pack kita sampai-sampai aku tidak bisa tinggal di sana?"
Loreon melihat kecemasan Valerie dengan tajam, kemudian berbicara dengan lembut untuk menenangkan.
"Kau tidak perlu khawatir. Cukup hidup dengan nyaman dan aman di sini. Tidak ada yang perlu kau risaukan sekarang."
Sore itu, suasana apartemen Valerie cukup sepi. Hanya ada suara lembut dari televisi yang diputar di ruang tengah. Valerie duduk di sofa sebelumnya. Dia melirik ke arah lelaki itu yang duduk di lantai, tampak santai meskipun acara TV yang diputar tidak benar-benar menarik perhatiannya.
Tiba-tiba, ponsel Valerie berdering, mengalihkan perhatiannya dari suasana sepi itu. Elowen terlihat di layar ponselnya, dan Valerie segera mengangkat teleponnya dengan suara ceria.
Valerie sambil tersenyum saat mendengar suara Elowen di telepon.
"Hey, Elowen! Kenapa kamu belum pulang ke apartemen? Apa ada masalah?"
Elowen dengan suara terburu-buru di ujung telepon. "Halo, Valerie! Maaf ya, aku nggak balik ke apartemen. Aku buru-buru pulang ke rumah nenek. Nenekku lagi sendirian di rumah, suster yang biasanya jaga dia lagi cuti. Jadi, aku harus pastiin dia baik-baik aja."
Valerie dengan nada khawatir. "Elowen, kamu nggak perlu buru-buru, aku bisa jemput kok. Apartemen ke tempat kerja kamu kan nggak terlalu jauh, nanti aku antar kamu pulang."
Elowen tertawa ringan, mencoba menenangkan Valerie. "Aduh, kamu nggak perlu repot-repot, Valerie. Aku buru-buru aja nih, dan jaraknya juga lumayan jauh, jadi lebih baik aku langsung ke rumah nenek. Aku nggak mau lama-lama di jalan."
Valerie menghela napas, merasa khawatir namun tetap mengerti. "Baiklah, kalau kamu yakin. Tapi hati-hati ya di jalan."
Elowen dengan suara ceria meskipun terburu-buru. "Tenang aja, aku baik-baik kok! Nanti kita ngobrol lagi ya. Sampai ketemu!"
Valerie menatap Loreon dengan serius, seolah ingin memastikan apakah dia benar-benar tidak peduli. Setelah beberapa detik hening, Valerie akhirnya bertanya.
Valerie dengan nada tak percaya. "Apa kau tidak berniat menjemput Elowen, Loreon? Dia kan masih harus pulang sendiri ke rumah neneknya malam-malam gini."
Loreon yang duduk santai di lantai, masih tidak mengalihkan pandangannya dari televisi, hanya menjawab dengan suara datar.
"Aku tidak mengenalnya."
Namun, dalam hati Loreon, sisi werewolf dalam dirinya mulai menggeram. Suara itu bergema di dalam pikirannya, tajam dan penuh kemarahan.
Suara Werewolf dalam Hati Loreon geram. "Manusia gila. Tidak berhati manusia. Dia mate kita, sial! Harusnya kau lebih peduli padanya! Jangan biarkan dia sendirian."
Namun, Loreon tetap tidak menanggapi suara itu. Dia terus mempertahankan sikap dinginnya dan tidak bergeming dari pendiriannya.
Loreon dengan tenang, tanpa menunjukkan perasaan. "Dia tidak membutuhkan aku."
Valerie yang mendengarnya langsung merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Malam sudah semakin larut, dan dia tahu betul betapa berharganya keberadaan orang-orang di sekitarnya. Saat melihat Loreon tetap tidak tergerak, Valerie tak bisa menahan kecemasannya.
Valerie dengan nada mendesak.
"Ini sudah jam 23.30, Loreon... Apa tidak apa-apa membiarkannya pulang sendirian malam-malam begini?"
Loreon akhirnya mengalihkan pandangannya dari TV, matanya sedikit tajam, namun tetap datar.
"Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Jangan khawatir."
Namun, dalam hatinya, perasaan tidak enak mulai timbul. Suara werewolf dalam dirinya kembali bersuara, jauh lebih keras dan lebih memaksa kali ini.
Suara Werewolf dalam Hati Loreon dengan cemas. "Kau bodoh! Dia mate kita. Harusnya kau tidak membiarkan dia pulang sendirian malam ini! Apa kau tidak merasa apa-apa? Apa kau tidak peduli? Jangan biarkan dia pergi."
Loreon menegakkan tubuhnya, menahan perasaan yang mulai bergejolak. Sebuah tarikan naluri yang kuat mulai merasukinya, walau ia mencoba untuk tetap tidak peduli. Valerie melihat perubahan kecil di wajahnya, meskipun Loreon tetap berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Loreon terdiam beberapa detik setelah ucapan Valerie. Ia tidak membalas, hanya duduk di sana, tatapannya kosong, seakan tidak tahu harus merespon apa. Namun, suara dalam dirinya—insting werewolf yang kuat—terus menggema, mengganggu ketenangannya. Setelah sejenak merenung, ia bangkit dengan gerakan cepat.
Tanpa berkata apa-apa, Loreon berjalan menuju meja dekat pintu, mengambil kunci mobil yang tergeletak di sana. Dengan langkah yang tegas dan tanpa keraguan, ia langsung berlalu pergi. Valerie yang masih duduk di sofa terkejut dan cepat berdiri, mencoba menghentikan langkah Loreon.
Valerie berteriak, khawatir. "Loreon! Mau kemana kamu?!"
Namun, Loreon sama sekali tidak menoleh, tak memperdulikan teriakan Valerie. Suasana di ruangan itu seketika terasa mencekam, dan Valerie merasa cemas, gelisah, entah kenapa. Hatinya seperti terombang-ambing antara rasa khawatir dan bingung. Loreon yang biasanya tenang dan acuh tak acuh, kini tampak berbeda—ada sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan, perasaan yang terasa begitu asing dan membingungkan.
Valerie berbisik pada dirinya sendiri, khawatir: "Ada apa dengannya?"
Sementara itu, Loreon terus melangkah menuju pintu, meninggalkan Valerie yang berdiri di sana, bingung dengan kekhawatiran yang terus merasuki pikirannya. Ia tahu, bahwa meskipun ia bersikap acuh tak acuh, ada bagian dalam dirinya yang merasa gelisah—sebuah dorongan kuat untuk memastikan Elowen aman. Tetapi ia tidak bisa memahaminya sepenuhnya. Terkadang perasaan itu datang begitu saja, tanpa bisa ia kontrol.
Loreon melangkah keluar, dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa seolah tidak perlu peduli, karena itu bukan urusannya. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang terus memanggilnya, membimbingnya untuk memastikan Elowen baik-baik saja. Sebuah dorongan dari dalam dirinya yang lebih besar daripada apapun yang pernah dia rasakan sebelumnya—insting seorang mate.
oh iya mampir juga yuk dikarya baruku, judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏