Firman selama ini berhasil membuat Kalila, istrinya seperti orang bodoh yang mau saja dijadikan babu dan tunduk akan apapun yang diperintahkan olehnya.
Hingga suatu hari, pengkhianatan Firman terungkap dan membuat Kalila menjadi sosok yang benar-benar tak bisa Firman kenali.
Perempuan itu tak hanya mengejutkan Firman. Kalila juga membuat Firman beserta selingkuhan dan keluarganya benar-benar hancur tak bersisa.
Saat istri tak lagi menjadi bodoh, akankah Firman akhirnya sadar akan kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firman pusing
"Welcome back, Kalila!" sambut Kalandra dengan senyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya.
"Terima kasih atas sambutannya, Pak Kala!" Cepat, Kalila menyambar tangan kanan sang kakak kemudian menjabatnya dengan erat.
Sepasang matanya tampak memberi kode kepada sang kakak untuk tidak mengungkapkan identitas aslinya. Seperti di masa lalu, Kalila enggan diakui sebagai adik sang Presdir.
Ia merasa lebih nyaman jika rekan-rekan kerjanya menganggap dirinya setara dengan mereka. Dengan begitu, mereka akan memperlakukan Kalila dengan lebih santai dan apa adanya tanpa perlu merasa tegang apalagi takut.
"Well, kalau begitu, kamu bisa langsung bekerja! Kalau ada masalah ataupun kendala, kamu bisa langsung temui saya di ruangan saya."
"Baik, Pak. Terimakasih!" angguk Kalila.
Kalandra mengangguk. Ia mengelus puncak kepala Kalila sebelum berlalu meninggalkan divisi keuangan diiringi tatapan aneh beberapa karyawan yang belum mengenal siapa Kalila sebenarnya.
"Kalila!!!" pekik seorang wanita berkacamata tebal.
"Diandra!!" sapa Kalila dengan senyuman.
Gadis berkacamata itu pun langsung memeluk Kalila erat.
"Argghhh!! Akhirnya kamu balik lagi, La! Kamu kemana aja, sih? Kenapa kamu tiba-tiba ngilang waktu itu?" tanya Diandra sambil memperbaiki letak kacamatanya.
"Sorry, Di. Waktu itu, aku ada urusan mendesak. Jadi, aku terpaksa resign tanpa bilang-bilang sama siapapun."
"Urusan apa?" tanya Diandra ingin tahu.
"Urusan keluarga," jawab Kalila singkat.
Ia belum siap untuk jujur tentang pernikahannya yang sebentar lagi akan kandas kepada Diandra. Sekalipun mereka dekat, namun Kalila bukanlah tipe wanita yang mudah berbagi masalah dan rahasia sekali pun dengan teman baiknya sendiri.
"Semenjak kamu nggak ada, aku udah nggak punya teman lagi, tahu. Aku sendiri. Kesepian," ucap Diandra sambil tertunduk sedih.
"Kenapa nggak main sama temen-temen yang lain?"
Diandra tersenyum kecil. Ia menggelengkan kepalanya. "Nggak ada yang mau temenan sama aku, La. Dimata mereka, aku ini aneh. Cupu."
"Kamu yang nggak pernah nyoba buat buka diri sama orang lain, Di," timpal Kalila.
Diandra lagi-lagi hanya tersenyum mendengar ucapan Kalila. Mungkin, Kalila memang benar. Diandra tak memiliki teman karena dirinya sendiri yang seolah-olah menghindar dari orang lain.
"Pas kamu nggak ada, banyak hal yang udah berubah, La. Terutama, sama perilaku bos besar kita. Pak Kala jadi tambah galak dan tegas. Banyak pegawai yang sudah kena pecat walaupun sebenarnya kesalahan yang mereka perbuat nggak terlalu parah."
"Oh, ya?"
"Iya. Kamu ingat si Rendi yang selalu nge-bully aku itu, nggak?"
"Ya, aku ingat," angguk Kalila. "Ada apa sama dia?"
"Pak Kala pecat si Rendi karena Rendi ngomong sama pegawai lain kalau dia sebenarnya senang banget karena kamu udah resign. Katanya, nggak akan ada lagi yang sok cari muka didepan Pak Kala. Sialnya, ada salah satu orang yang dengar kemudian menyampaikannya ke Pak Kala. Dan, tahu apa yang terjadi? Besoknya, Rendi dipanggil baik-baik terus dipecat dengan alasan karena Rendi terbukti melakukan penyelewengan uang perusahaan."
Kalila terdiam. Ia mencerna hati-hati setiap detail informasi yang disampaikan oleh Diandra.
"Mungkin, Rendi memang melakukan aksi penyelewengan itu, Di."
"Nggak tahu juga," timpal Diandra sambil mengendikkan bahunya. "Yang jelas, Pak Kala benar-benar berubah galak pas kamu nggak ada. Kayak orang yang lagi patah hati gitu."
Seketika, Kalila tertawa. "Pak Kala patah hati? Jangan ngaco, Di!"
"Aku serius, La!" ucap Diandra. "Kayaknya... dulu Pak Kala sempat suka deh, sama kamu."
Semakin bertambah kencang tawa Kalila. Andai Diandra tahu apa hubungan antara Kalila dan Kalandra, sudah pasti perempuan itu tak mungkin berani mempunyai pemikiran seperti sekarang.
"Pak Kala suka sama aku?" tanya Kalila. "Itu hal yang paling mustahil terjadi, Di!"
"Kenapa mustahil?"
"Ya.... Mustahil aja," jawab Kalila yang enggan menjelaskan lebih lanjut.
"Ngapain kalian sibuk bergosip?" tegur seorang wanita berambut pendek dengan usia yang mungkin sudah memasuki 50 tahunan.
"Maaf, Bu," ucap Kalila.
"Lanjutkan pekerjaan kalian! Jangan bicara lagi," ucap wanita itu.
Beliau adalah salah satu dari segelintir orang yang benar-benar tahu identitas asli Kalila. Meski awalnya hendak marah, namun semua itu ia urungkan karena mengetahui bahwa yang sedang mengobrol adalah adik kandung pemilik perusahaan tempatnya mencari nafkah.
"Bu Rosi dari dulu memang nggak bisa marah sama kamu, La! Hebat!" puji Diandra.
"Nggak usah berlebihan, Di!" sahut Kalila. "Mending, kamu tunjukin ke aku, apa-apa aja yang mesti aku kerjain di hari pertama."
"Oke," angguk Diandra dengan senyuman. "Dengan senang hati, bestie."
*
"Selamat pagi, Pak Firman!" sapa seorang pegawai wanita dengan antusias saat melihat kedatangan Firman.
"Pagi, Vi," jawab Firman.
"Gimana penampilan saya hari ini, Pak?" tanya pegawai itu sambil tersenyum genit.
"Cantik," jawab Firman singkat. "Saya ke ruangan saya dulu, ya!" pamitnya kemudian.
"Perlu saya temenin didalam, Pak? Mumpung toko masih sepi," tanya Vivi dengan cepat.
Pria berkulit agak kecoklatan itu pun menoleh menatap Vivi kemudian berpikir sebentar. Sepertinya, dia memang butuh pengalihan dari setumpuk masalah yang beberapa hari ini terus memenuhi kepalanya.
"Boleh juga," angguk Firman pada akhirnya.
Vivi berseru kegirangan dalam hati. Biasanya, jika Firman 'memakainya' didalam ruangan, maka Vivi akan memperoleh bonus yang lumayan banyak.
"Permisi, Pak Firman!"
Belum sempat masuk ke dalam ruangan kantornya bersama Vivi, Firman pun dikagetkan dengan kedatangan orang kepercayaannya. Wajah pria itu tampak tegang sekali.
Sepertinya, sedang ada masalah yang cukup serius.
"Ada apa?" tanya Firman. "Saya sibuk ini."
"Pak Darmawan dan beberapa pelanggan tetap lainnya tiba-tiba ingin memutuskan kerja sama dengan toko kita, Pak."
"Apa? Kok bisa?"
"Saya juga tidak tahu, Pak. Saat saya tanya alasannya, mereka hanya bilang kalau mereka sudah menemukan toko yang jauh lebih murah dan lebih profesional dibanding toko kita."
"Alasan macam apa itu?" hardik Firman dengan gusar. "Bukankah, selama ini mereka tidak pernah mempersalahkan harga dan keterlambatan pengiriman? Kenapa tiba-tiba mereka mendadak berubah seperti ini?"
Pria didepan Firman diam saja. Dia juga tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Masalahnya, jika dia berterus terang pastilah sang atasan akan menyalahkan dirinya.
"Ada satu kabar lagi Pak, yang harus saya sampaikan," lanjut pria itu takut-takut.
"Apa lagi?" tanya Firman dengan nada ketus.
"Supplier toko kita juga ingin memutuskan kerjasama dengan kita, Pak. Setelah kontrak kerja sama kita dengan mereka habis minggu depan, mereka katanya tidak ingin memperbaharui lagi."
"Kenapa bisa jadi begini, sih?" tanya Firman putus asa.
"Pak.." panggil Vivi manja.
"Kamu pergi dulu, Vi! Saya lagi malas ngapa-ngapain," usir Firman.
Vivi cemberut. Ia kesal karena diusir Firman begitu saja. Padahal, ia belum memperoleh tambahan sepeserpun.
"Kamu sudah bujuk mereka untuk tidak menghentikan kerja sama dengan kita?"
"Sudah, Pak. Tapi, gagal."
"G°blok! Masa' gitu aja nggak becus, kamu?" hardik Firman dengan kata-kata kasar.
Pria didepan Firman itu kembali tertunduk.
"Maaf, Pak."
"Jadi, gimana? Apa ada solusi yang bisa kita ambil supaya toko kita nggak sampai bangkrut?"
"Kita harus cari supplier dan pelanggan baru, Pak."
Firman mengusap wajahnya kasar. Dimana dia harus mendapatkan pelanggan tetap yang royal macam Pak Darmawan?
"Kalau begitu, kamu cari!!!" titahnya kemudian.
"Kok saya, Pak?"
"Terus, mau siapa lagi? Masa' saya? Kalau begitu, gunanya saya memperkerjakan kamu itu, apa?"
Pria didepan Firman tetap diam. Jika dia membuka suara, takutnya Firman akan semakin berbicara kasar.
"Udah, sana pergi! Dan ingat, jangan bilang sama siapa-siapa soal masalah ini! Terutama, sama Ibu saya dan karyawan lain."
"Baik, Pak," angguk pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, Firman kemudian duduk di kursi kerjanya sambil memijat kepala. Masalah terus berdatangan sejak kemarin.
Ditengah kekalutan yang membelit kepala, tiba-tiba ponsel Firman berdering. Panggilan telepon dari sang Ibu.
"Kenapa, Bu?" tanya Firman begitu panggilan terangkat.
"Kirimin Ibu duit dong, Man! Ibu mau beli insulin lagi. Punya Ibu sudah habis."
"Beli pakai duit Ibu dulu aja, ya! Firman belum ada duit, Bu."
"Enak aja pake duit Ibu! Nggak boleh. Nanti, kalau habis, bagaimana? Kan, kamu tahu sendiri kalau tahun depan Ibu mau berangkat haji."
"Nanti duitnya Firman ganti, Bu. Jadi, pake duit Ibu dulu, ya!"
"Nggak mau."
Firman menghela napas kasar. Usahanya sedang diujung tanduk dan Ibunya malah tidak mau memberi pengertian sedikitpun.
"Firman janji bakal ganti, Bu. Masa' Ibu nggak percaya sama Firman, sih? Atau... Ibu mau mati sekarat gara-gara kehabisan insulin?"
Hening sesaat.
"Ya udah, kalau gitu. Ibu pake tabungan haji Ibu dulu. Tapi, bener loh, ya! Kamu harus ganti secepatnya."
"Iya, Bu. Iya."
Panggilan terputus secara sepihak. Beban pikiran Firman semakin berat saja.
"Apa aku minta bantuan Kalila saja, ya? Siapa tahu, dia bisa bujuk Pak Darmawan supaya tetap jadi langganan di toko meubel ini. Toh, Kalila nggak mungkin nolak, kan?"
bhkn sbntr lgi km jdi gembel ples kena pnyakit kelamin.... krna istrimu lia & vivi itu smuanya jalang... /Facepalm//Facepalm/
trus apa fungsinya ada si lia & vivi/CoolGuy//CoolGuy/
Tak punya malu lagi masih akan minta bantuan. Gantian minta bantuan pada istri- istri yang lain