Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Kegelapan
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Elara masih bingung, tetapi dia bisa melihat ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap Aiden. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia merasa ada hal besar yang sedang bergejolak dalam hidup pria itu.
“Aiden, ada apa sebenarnya? Kau terlihat... berbeda,” tanya Elara dengan hati-hati, suaranya sedikit bergetar.
Aiden menghela nafas panjang. “Ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Tapi percayalah, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu, Elara.” Ucap di dalam hati Aiden.
Dia kemudian menggelengkan kepala, "Tidak ada, jangan lupa kunci pintunya." dan Aiden melangkah pergi dari kamar Elara (Kamar Tamu)
Selanjutnya
Elara memandang pantulan dirinya di cermin besar di kamar tamu yang mewah. Ia baru saja selesai mengenakan baju tidur setelah seharian berada di rumah Aiden Valen. Rumah besar dan misterius itu membuatnya tidak nyaman, tapi ia berusaha menenangkan diri. Di tangannya, ia memegang sebuah kalung indah yang sudah lama tidak dipakainya. Kalung itu adalah kenangan terakhir dari ibunya.
"Ibu, aku merindukanmu..." bisiknya pelan sambil menyentuh liontin di kalung tersebut, sebuah benda kecil tapi sangat berharga. Elara menarik napas panjang sebelum meletakkan kalung itu di lehernya, mengenakannya lagi setelah bertahun-tahun tersimpan.
Dia duduk di tepi ranjang, merenung sejenak. Ketika memejamkan mata, bayangan sosok pria yang tadi sore hampir menabraknya terlintas di pikirannya. Dennis, nama yang tiba-tiba terlintas, adalah pria yang wajahnya mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Sosok yang sangat mirip dengan ayah tirinya, yang menurut cerita keluarganya, telah membunuh ibunya 18 tahun yang lalu.
"Apa mungkin itu dia?" pikir Elara. "Jika pria itu benar-benar Dennis, maka ada yang tidak beres... Bagaimana mungkin wajahnya tidak berubah setelah 18 tahun?"
Elara mencoba untuk menganalisis keadaan ini. Jika pria itu benar Dennis, maka kematian ibunya mungkin lebih misterius dari yang selama ini dia kira. Tapi, jika dia bukan Dennis, lalu siapa pria itu? Elara merasa terjebak dalam teka-teki yang semakin rumit. Dia tahu, untuk mendapatkan jawaban, dia harus mencari tahu lebih lanjut. Tapi di mana? Dan bagaimana?
Dia menyandarkan kepalanya di bantal, namun pikirannya terus mengembara. Kenapa semua ini tiba-tiba muncul lagi? Selain itu, ada yang aneh tentang Aiden, bosnya. Tadi malam, Aiden tampak seperti orang yang kehilangan kendali, hampir seperti ingin memangsa dirinya. Ingatan itu membuat Elara bergidik.
"Siapa sebenarnya Aiden Valen?" pikir Elara.
Mengetahui bahwa dia sedang berada di rumah Aiden, Elara merasa ini adalah kesempatan untuk menemukan petunjuk. Mungkin ada sesuatu di rumah ini yang bisa memberinya jawaban.
Dengan tekad yang semakin bulat, Elara bangkit dari tempat tidurnya. Dia keluar dari kamar dengan langkah hati-hati. Rumah besar ini, meski mewah di siang hari, sekarang terasa sangat menyeramkan. Seperti rumah hantu. Suara detak jam di tengah rumah terdengar bergema di seluruh ruangan, menciptakan suasana yang mencekam. Setiap bayangan, setiap sudut gelap, seakan memantulkan sesuatu yang menakutkan.
Elara mulai menaiki tangga besar yang dia ingat pernah dilalui oleh Aiden dan Kevin sebelumnya. Tangga itu tampak berkelok-kelok seperti menuju kegelapan yang tak berujung. Langkahnya perlahan-lahan semakin cepat ketika perasaan takut mulai menguasai dirinya.
Namun, tiba-tiba, suara keras dari arah samping membuatnya melompat ketakutan.
"Aaaa... Ada hantu!" teriaknya panik.
Sebuah burung kakaktua yang tiba-tiba berteriak dari sangkarnya mengejutkannya. Elara terdiam sejenak, merasa konyol karena berteriak seperti itu.
"Duh, maaf...," gumam Elara pada dirinya sendiri, tapi sebelum dia bisa menenangkan dirinya, sebuah suara tua terdengar dari belakangnya.
"Apa kau baik-baik saja, Nona?" tanya seorang pria tua dengan suara serak.
Elara menoleh cepat. Di depannya berdiri seorang kakek tua, salah satu asisten rumah tangga Aiden. Wajahnya keriput dan tubuhnya sedikit bungkuk. "Maafkan saya, saya tidak tahu ada kakaktua di sini," kata Elara sambil memegang dadanya yang masih berdebar.
Kakek itu mengangguk. "Rumah ini memang bisa terlihat menyeramkan di malam hari, apalagi bagi tamu yang baru pertama kali menginap. Apa yang kau cari, Nona?"
"Apa Anda tahu di mana kamar Tuan Aiden?" tanya Elara dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Aku hanya ingin... memastikannya baik-baik saja."
Kakek itu ragu sejenak sebelum menjawab. "Tuan Aiden biasanya tidak mengizinkan siapa pun memasuki kamarnya, Nona. Aku sarankan kau kembali ke kamar tamu dan beristirahat."
Elara merasa tidak puas dengan jawaban itu. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa dia harus mencari tahu lebih banyak tentang Aiden. "Aku hanya ingin tahu, tolong, tunjukkan di mana kamarnya."
Kakek tua itu akhirnya mengalah. "Kau lihat lorong di ujung sana? Kamar Tuan Aiden ada di sana, tapi berhati-hatilah, Nona. Tuan Aiden tidak suka diusik."
Elara mengangguk, meskipun perasaan takut masih menggelayuti hatinya. Dia melangkah menuju lorong yang ditunjukkan kakek itu. Lorong tersebut sangat panjang dan gelap, dengan hanya satu atau dua lampu kecil yang menyala. Langkah kakinya menggema di lantai kayu yang dingin, dan semakin lama dia berjalan, semakin mencekam suasananya. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengamatinya dari kegelapan.
Akhirnya, Elara tiba di depan sebuah pintu kayu besar di ujung lorong. Pintu itu terlihat kuno dan usang, sangat berbeda dari pintu-pintu lain di rumah itu yang modern dan berkilau. Jantung Elara berdebar keras. Dia mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu, tapi sebelum tangannya menyentuh permukaan kayu, pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Aiden muncul di depan pintu, wajahnya terlihat pucat dan tidak terduga. Tatapannya kosong, tapi ada sedikit kilatan merah di matanya. Mata itu seperti mata hewan buas yang sedang mengamati mangsanya. "Elara? Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya terdengar berat dan dalam.
Elara tersentak, terkejut oleh kehadirannya yang tiba-tiba. "Aku... aku hanya... aku ingin memastikan kau baik-baik saja," jawab Elara gugup.
Aiden memandang Elara dengan intens. "Kau tidak seharusnya berada di sini." Dia melangkah keluar dari kamarnya, mendekati Elara dengan langkah pelan tapi pasti.
Elara merasa hawa dingin menyelimutinya. "Ada yang aneh di sini, Aiden. Kau... apa yang sebenarnya terjadi? Kau bukan orang biasa, kan?" tanya Elara, suaranya gemetar.
Aiden terdiam sejenak, matanya tidak lepas dari Elara. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya bicara. "Sudah malam tidurlah El, besok kita akan mengerjakan tugas sangat banyak di kantor, kau ingat apa kata ku kan?"
Elara mengangguk, "Baiklah Aiden, aku minta maaf sudah mengusik mu. Aku permisi" ucap Elara.