Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : ujian yang lebih berat
Beberapa bulan berlalu sejak Alya dan Reyhan memutuskan untuk memberi satu sama lain kesempatan. Mereka mulai merasa nyaman dalam hubungan yang baru ini, meskipun kadang-kadang masih ada kekhawatiran kecil yang mengintai di hati Alya. Namun, Reyhan benar-benar berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Dia tidak pernah lagi menyembunyikan hal apapun dari Alya, dan itu membuat hubungan mereka semakin kuat.
Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama tanpa gangguan. Suatu hari, saat mereka sedang mengerjakan tugas kuliah di perpustakaan, Reyhan tiba-tiba menerima pesan yang membuat wajahnya berubah pucat. Alya yang sedang sibuk membaca, menyadari perubahan ekspresi Reyhan, langsung bertanya, “Ada apa, Rey?”
Reyhan mengalihkan pandangannya, mencoba menutupi kecemasannya. “Gak apa-apa, Alya. Cuma tugas yang nambah lagi.”
Alya merasa ada yang aneh. “Tapi lo kelihatan nggak enak. Kalau ada masalah, bilang aja. Lo nggak perlu nutupin apa-apa dari gue.”
Reyhan terdiam sejenak, seolah ragu untuk menceritakan sesuatu. Namun akhirnya dia membuka mulut. “Alya… ini soal masa lalu gue lagi.”
Alya langsung tertarik. “Masa lalu lo? Maksudnya?”
Reyhan menarik napas dalam, tampaknya ini bukan hal yang mudah untuk dibicarakan. “Ada orang dari masa lalu gue yang tiba-tiba muncul lagi. Dia—dia adalah teman lama gue yang udah lama nggak gue hubungi. Dan sekarang dia datang ke kampus, dan dia bawa masalah yang cukup besar.”
Alya merasa jantungnya mulai berdebar. “Masalah apa?”
“Gue nggak tahu gimana caranya ngomong ini, Alya. Temen gue itu—dia nggak suka kalau gue ninggalin mereka dulu. Dan dia tahu soal hubungan kita sekarang. Gue takut dia bakal bikin masalah buat kita berdua.” Reyhan menatap Alya dengan ekspresi cemas.
Alya menatap Reyhan, tidak tahu harus berkata apa. “Lo nggak harus menghadapi semuanya sendiri, Rey. Gue ada di sini buat lo.”
Reyhan menggelengkan kepala, seolah merasa bersalah. “Lo nggak ngerti, Alya. Gue nggak mau lo terlibat dalam masalah gue yang udah lama ini. Gue cuma pengen lo baik-baik aja.”
Alya merasa sesuatu yang berat menahan hatinya. Dia tahu, kalau Reyhan mengatakan ini, artinya masalah yang akan mereka hadapi bukanlah hal kecil.
---
Beberapa hari kemudian, Reyhan membawa Alya untuk bertemu dengan temannya, Damar, yang baru saja kembali ke kampus. Damar terlihat seperti pria yang penuh percaya diri, namun ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Alya merasa tidak nyaman.
Alya bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Damar menatap Alya dengan pandangan yang tajam, seolah menilai dari segala sisi. “Jadi ini dia, ya? Alya?” tanyanya, suaranya terdengar dingin.
Alya mengangguk pelan. “Iya, saya Alya.”
Reyhan, yang duduk di sampingnya, tampak tidak tenang. “Damar, lo nggak perlu ngelakuin ini. Gue udah coba untuk berubah, kan?”
Damar tertawa pelan, namun nada suaranya sangat menusuk. “Lo pikir lo bisa lari dari masa lalu lo, Reyhan? Lo nggak bisa begitu saja pindah ke dunia yang baru dan lupa siapa diri lo sebenarnya. Lo pikir gue bakal diam aja ngeliat lo bahagia?”
Alya merasakan ketegangan yang semakin meningkat. “Kenapa lo benci banget sama Reyhan? Apa salah dia?”
Damar menatap Alya dengan tajam. “Lo nggak tahu apa-apa tentang dia, Alya. Lo pikir dia orang yang baik, tapi lo nggak tahu siapa dia yang sebenarnya. Lo nggak tahu seberapa banyak dia udah ninggalin temen-temennya dulu, termasuk gue.”
Alya terdiam, merasa ada sebuah dinding besar yang terbentuk antara dirinya dan Reyhan. Damar berbicara seolah dia tahu segalanya tentang masa lalu Reyhan yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Reyhan menatap Damar dengan tatapan kesal. “Gue nggak minta maaf untuk itu, Damar. Gue udah coba untuk jadi orang yang lebih baik, dan itu yang harus lo hargai. Lo nggak bisa terus-terusan menarik gue ke masa lalu yang udah gue tinggalkan.”
Damar menggelengkan kepala, seolah tidak bisa menerima kenyataan. “Gue nggak peduli apa yang lo lakuin sekarang. Gue cuma mau lo tahu, kalau lo nggak bakal bisa selamanya lari dari kesalahan lo.”
Suasana di meja itu semakin tegang. Alya bisa merasakan ketakutan dan kecemasan Reyhan, yang terlihat semakin rapuh di hadapan Damar. Dia ingin mendekati Reyhan, tapi dia tahu, ini adalah sesuatu yang harus Reyhan hadapi sendiri.
---
Malam itu, setelah pertemuan yang penuh ketegangan, Reyhan menghubungi Alya. “Alya, gue nggak tahu apa yang bakal terjadi, tapi gue nggak akan biarin Damar atau siapapun mengganggu hubungan kita. Gue janji itu.”
Alya merasa bingung dan cemas. “Gue percaya sama lo, Rey, tapi ini udah terlalu berat buat gue. Lo harus tahu kalau gue nggak mau jadi bagian dari masalah lo.”
Reyhan mendengus pelan. “Gue ngerti, Alya. Gue nggak mau lo ngerasa terbebani sama masalah gue. Tapi lo harus percaya, gue nggak akan pergi. Gue nggak akan ninggalin lo, dan gue nggak akan biarin siapapun menghalangi hubungan kita.”
Alya terdiam, berpikir keras. Masalah yang mereka hadapi semakin besar, dan meskipun dia ingin mendukung Reyhan, dia merasa cemas akan dampaknya terhadap hubungan mereka. Apakah dia bisa terus mendampingi Reyhan? Apakah mereka bisa melalui ujian besar ini bersama?
Hari-hari setelah pertemuan dengan Damar terasa semakin berat bagi Alya dan Reyhan. Ketegangan yang muncul akibat masa lalu Reyhan belum juga mereda. Damar tidak berhenti mengganggu, terus mencari cara untuk menyeret Reyhan kembali ke masa lalu yang kelam, sementara Alya merasa semakin terjebak dalam dilema antara mendukung Reyhan atau menjaga jarak untuk melindungi dirinya.
Alya menghabiskan banyak waktu untuk merenung, mencoba menemukan jalan keluar dari kebingungannya. Dia tahu, jika hubungan mereka terus dikelilingi oleh bayang-bayang masa lalu Reyhan, hubungan itu mungkin tidak akan bertahan lama. Namun, dia juga tidak bisa melupakan betapa besar perjuangan Reyhan untuk berubah dan memperbaiki kesalahannya.
Suatu sore, setelah beberapa hari tidak bertemu, Alya mengajak Reyhan untuk berbicara di tempat yang tenang. Mereka duduk di taman kampus, dengan udara sore yang sejuk.
“Alya, gue nggak tahu harus gimana lagi. Gue nggak mau lo jadi bagian dari masalah gue, tapi gue nggak bisa nyelesaikan ini sendirian,” kata Reyhan dengan nada putus asa.
Alya menatapnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Rey, gue nggak tahu kalau gue bisa terus bertahan di sini kalau lo nggak bisa buat keputusan yang tegas. Lo harus pilih, Rey. Lo mau terus dengan masa lalu lo, atau lo mau move on dan mulai hidup baru, tanpa terikat dengan apapun yang nggak sehat?”
Reyhan terdiam, menyadari betapa seriusnya perasaan Alya. “Lo nggak ngerti, Alya. Damar itu temen gue, dan gue nggak bisa begitu aja ninggalin dia begitu saja. Dia punya banyak pengaruh di sekitar kampus ini, dan gue takut kalau gue nggak bisa menangani masalah ini dengan baik, semuanya bakal berantakan.”
Alya meraih tangan Reyhan, menatapnya dengan penuh ketulusan. “Gue ngerti, Rey. Tapi lo juga harus ingat, gue ada di sini buat lo. Gue nggak akan lari, tapi lo juga harus ingat, kita nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Kalau lo terus-terusan kayak gini, lo nggak akan pernah bisa maju.”
Reyhan menatap Alya, matanya penuh rasa bersalah. “Gue nggak mau kehilangan lo, Alya. Tapi gue juga nggak mau kehilangan temen-temen gue. Gue merasa terjebak antara dua pilihan yang nggak enak.”
Alya menarik napas panjang, merasa bahwa mereka berada di titik yang sangat sulit. “Lo nggak bisa terus hidup dengan beban kayak gitu, Rey. Lo harus bisa buat pilihan yang terbaik buat diri lo sendiri. Gue percaya lo bisa melakuinnya, tapi lo harus berani untuk melepaskan apa yang bikin lo terus terjebak.”
Tiba-tiba, Alya mendapatkan ide. Dia merasa jika Reyhan bisa berbicara langsung dengan Damar, mungkin dia bisa mengakhiri masalah ini. Mereka harus berani menghadapi kenyataan, apapun risikonya.
“Rey, lo harus bicara sama Damar. Kalau lo nggak bisa lakukan itu, masalah ini nggak akan pernah selesai. Lo harus berdiri di kaki lo sendiri, tanpa ketakutan apa pun. Gue percaya, lo bisa lakukan itu,” kata Alya dengan penuh keyakinan.
Reyhan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Alya. “Tapi gue nggak tahu kalau Damar bakal mau dengerin gue. Gue takut dia akan makin marah dan makin berusaha ngancurin hidup gue.”
Alya memegang bahunya dengan lembut. “Lo nggak akan tahu sebelum lo coba, Rey. Ini saatnya lo hadapi masa lalu lo dan tunjukkan kalau lo bisa lebih baik dari dulu. Gue akan ada di samping lo, tapi lo harus memulai langkah itu dulu.”
Reyhan menatap Alya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, dia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin ini memang langkah yang harus dia ambil—berbicara dengan Damar, dan menyelesaikan masalah yang selama ini mengganggunya.
---
Keputusan Reyhan untuk bertemu dengan Damar bukanlah hal yang mudah. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe di luar kampus, tempat yang cukup tenang untuk berbicara tanpa gangguan. Damar datang dengan ekspresi datar, seperti biasa.
“Ada apa, Rey?” tanyanya, nada suaranya masih terdengar dingin.
“Damar, gue nggak bisa terus hidup seperti ini. Lo dan gue harus bisa berbicara secara jujur tentang masa lalu kita, dan lo harus ngerti kalau gue nggak bisa terus ngikutin apa yang lo mau,” kata Reyhan dengan suara tegas.
Damar mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut. “Jadi, lo mau ngecewain gue, Rey? Lo pikir lo bisa hidup tanpa temen-temen lama lo?”
Reyhan mengangguk. “Gue nggak akan ngecewain lo, Damar. Tapi gue nggak bisa lagi terus-terusan ngikutin keputusan yang salah. Gue udah berusaha berubah, dan gue nggak akan mundur lagi. Gue nggak bisa lari dari masa lalu, tapi gue nggak akan biarkan masa lalu gue merusak masa depan gue.”
Damar terdiam, melihat kesungguhan di mata Reyhan. “Gue nggak nyangka lo bisa ngomong kayak gitu, Rey. Tapi gue ngerti. Lo udah berubah. Mungkin gue juga harus mulai nerima itu.”
Ada keheningan sesaat, sebelum Damar akhirnya menghela napas. “Gue minta maaf kalau gue terlalu keras sama lo selama ini. Gue cuma nggak siap ngeliat lo jauh dari gue.”
Reyhan mengangguk, merasa lega. “Gue paham, Damar. Gue nggak berharap semuanya langsung berubah, tapi gue cuma mau lo tahu, gue nggak mau terus bawa beban ini. Gue mau lo juga bisa maju, seperti gue.”
Setelah pembicaraan itu, suasana di antara mereka sedikit lebih ringan. Mungkin hubungan mereka tidak akan pernah sama seperti dulu, tetapi setidaknya, mereka bisa berdamai dengan masa lalu dan mulai melangkah ke depan.
---
Kembali ke Alya, Reyhan merasa seperti beban berat yang selama ini dia pikul akhirnya mulai terangkat. Dia merasa lega, tetapi juga cemas tentang bagaimana reaksi Alya terhadap keputusan yang telah dia buat. Saat mereka bertemu malam itu, Reyhan menatap Alya dengan senyum yang tulus.
“Alya, gue udah bicara sama Damar. Gue nggak tahu apakah dia bakal sepenuhnya ngerti, tapi setidaknya, gue udah ambil langkah untuk merubah semuanya,” kata Reyhan dengan suara lega.
Alya tersenyum, merasa senang dengan keberanian Reyhan. “Gue bangga sama lo, Rey. Gue tahu lo bisa melakukannya.”
Reyhan memegang tangan Alya, penuh harapan. “Terima kasih udah ada buat gue, Alya. Gue nggak akan bisa jalanin ini tanpa lo.”
Malam itu, mereka berdua duduk bersama, merasa sedikit lebih tenang. Mungkin jalan keluar ini tidak sempurna, tapi mereka sudah melalui banyak ujian bersama. Dan untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa masa depan mereka bisa jadi lebih cerah.
---
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁