Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Panggilan Tengah Malam
Adara terjaga di tengah malam karena dering telepon yang memenuhi kamarnya dengan suara memekakkan. Matanya yang masih berat perlahan terbuka, mencoba mencari tahu dari mana asal bunyi itu. Setelah beberapa saat kesadarannya terkumpul, ia menyadari bahwa suara tersebut berasal dari telepon kantor yang biasa dibawanya ke rumah sebagai persiapan jika sewaktu-waktu mendapat panggilan darurat dari kantor.
Perlahan, ia meraih telepon tersebut dan melihat nama yang tertera di layar: Arga Pratama.
Jantung Adara berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menyangka bahwa di jam ini, sang CEO yang dingin dan serius itu akan menghubunginya. Pikirannya segera dipenuhi berbagai kemungkinan. Mungkinkah ada masalah besar di perusahaan? Atau mungkin ada kejadian yang tak terduga dan membutuhkan bantuannya?
"Hallo, Pak Arga," jawab Adara, berusaha menyembunyikan suara mengantuknya.
"Adara, maaf mengganggu waktu istirahatmu," terdengar suara Arga yang lebih lembut dari biasanya. Ada nada yang tidak biasa di dalam suaranya, seperti sedikit bergetar.
“Tidak apa-apa, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Adara sopan, meskipun dalam hatinya penasaran.
“Aku... hanya ingin berbicara sebentar. Apakah kamu ada waktu untuk mendengarkan?”
Adara tertegun. Ini bukan panggilan biasa dari seorang bos yang menginginkan laporan kerja atau pertemuan mendadak. Nada suaranya terasa jauh lebih pribadi, dan Adara merasa ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi. Biasanya, Arga selalu terdengar tegas dan profesional, bahkan terkadang sedikit kaku. Namun, malam ini suaranya terdengar rapuh dan terbuka.
“Ya, tentu saja, Pak. Saya ada di sini untuk mendengarkan.” Adara berusaha memberikan respons yang tenang, meskipun ia sendiri masih diliputi rasa penasaran.
Arga menarik napas panjang di ujung telepon. Sejenak hanya terdengar keheningan di antara mereka, sebelum ia akhirnya berkata, “Adara, pernahkah kamu merasa... kehilangan arah dalam hidupmu? Atau merasakan bahwa apa pun yang kamu lakukan seolah tidak cukup untuk mengisi kekosongan?”
Pertanyaan itu membuat Adara terdiam. Ia tidak menyangka Arga akan mengajukan pertanyaan seperti itu, apalagi kepadanya. Sebagai seseorang yang baru saja bergabung dengan perusahaannya, Adara masih merasa segan dan belum sepenuhnya mengenal pribadi Arga di luar perannya sebagai CEO. Namun, mendengar pertanyaan tersebut, Adara bisa merasakan adanya rasa putus asa di balik ketenangan Arga.
“Ya, saya rasa saya pernah merasakannya, Pak,” jawab Adara perlahan, berusaha memahami arah pembicaraan Arga. “Saya pernah merasa seperti itu, terutama saat saya baru lulus kuliah dan belum tahu apa yang sebenarnya ingin saya capai. Rasanya seperti berjalan di tempat yang gelap, tidak tahu harus melangkah ke mana.”
Arga terdiam mendengar jawaban Adara. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan, “Itulah yang kurasakan sekarang, Adara. Aku merasa hidup ini kosong, meskipun dari luar semuanya tampak sempurna. Aku memiliki segalanya: pekerjaan yang mapan, jabatan tinggi, rumah yang megah, dan harta berlimpah. Tapi entah kenapa, semua itu tidak membuatku bahagia.”
Adara terhenyak. Mendengar pengakuan dari seorang pria seperti Arga, yang selalu terlihat kuat dan tidak pernah menunjukkan kelemahan, membuatnya merasa simpati yang mendalam. Ia menyadari bahwa meskipun Arga memiliki segalanya, namun kebahagiaan sejati tetap sulit didapat.
“Saya mengerti, Pak. Terkadang kita terlalu fokus mengejar kesuksesan hingga melupakan diri sendiri dan apa yang sebenarnya kita inginkan,” jawab Adara, berusaha memberikan pemahaman.
“Adara, menurutmu, apa sebenarnya arti kebahagiaan itu?” tanya Arga dengan suara yang lelah.
Pertanyaan itu membuat Adara merenung sejenak. “Saya rasa kebahagiaan adalah ketika kita merasa tenang dengan apa yang kita miliki dan tidak selalu menginginkan lebih. Kebahagiaan mungkin sederhana, Pak, namun kita sering kali terlalu sibuk mencari sesuatu yang lebih besar, hingga melupakan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa memberi rasa damai.”
Arga terdiam lama mendengar jawaban Adara. Suara napasnya yang terdengar berat di ujung telepon menandakan betapa dalamnya ia merenungkan kata-kata tersebut.
“Kadang-kadang, aku berharap bisa memulai hidup dari awal, Adara. Hidup tanpa beban atau ekspektasi dari orang lain. Menjadi seseorang yang bebas, seperti... seperti dirimu,” Arga melanjutkan dengan suara rendah.
Adara tersenyum pahit mendengar kata-kata tersebut. Ia tahu, kebebasan yang dimaksud Arga adalah kebebasan untuk menjalani hidup tanpa tekanan dan harapan besar. Namun, ia juga tahu bahwa kebebasan seperti itu bukanlah hal yang mudah didapatkan.
“Pak, hidup kita mungkin berbeda, tapi saya percaya setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menemukan kebahagiaan. Terkadang, kebahagiaan itu tidak datang dari hal-hal besar, tetapi dari hal-hal kecil yang membuat kita merasa hidup. Mungkin, Bapak hanya perlu meluangkan waktu sejenak untuk menemukan apa yang benar-benar berharga bagi Bapak.”
Pembicaraan tersebut berlangsung hingga tengah malam. Adara terus mendengarkan cerita Arga yang selama ini terpendam. Dari kisahnya, Adara memahami bahwa Arga merasa terjebak dalam rutinitas tanpa akhir, dikelilingi orang-orang yang hanya melihatnya sebagai sosok yang sempurna, padahal di balik semua itu ia hanya seorang pria yang kesepian dan merindukan kebahagiaan yang tulus.
Hingga akhirnya, Arga mengucapkan, “Terima kasih, Adara. Aku tidak pernah merasa selega ini. Mungkin terdengar aneh, tapi berbicara denganmu membuatku merasa lebih tenang.”
“Tidak apa-apa, Pak. Saya senang bisa membantu, walau hanya dengan mendengarkan.”
Setelah panggilan berakhir, Adara duduk termenung. Ia tidak menyangka bahwa seorang pria seperti Arga menyimpan begitu banyak luka di dalam dirinya. Selama ini, ia hanya melihat sosok Arga sebagai bos yang tegas dan kaku. Namun, malam itu membuka matanya bahwa Arga hanyalah manusia biasa yang juga bisa merasa lelah, terluka, dan kesepian.
Adara merasakan perasaan hangat dalam hatinya. Ia tidak tahu pasti apa arti dari perasaan itu, namun ia tahu bahwa dirinya mulai peduli pada Arga. Entah bagaimana, ia berharap bisa membantu Arga menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Malam itu, Adara tidur dengan hati yang gelisah. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah Arga dan suara lembutnya yang penuh dengan kerentanan. Tanpa disadari, hatinya perlahan terbuka untuk sosok pria yang selama ini dianggapnya sebagai seseorang yang tak terjangkau.