Aillard Cielo Van Timothee adalah seorang Grand Duke yang sangat dikagumi. Dia sangat banyak memenangkan perang yang tak terhitung jumlahnya hingga semua rakyat memujanya. Namun hal yang tak disangka-sangka, dia tiba-tiba ditemukan tewas di kamarnya.
Clarisse Edith Van Leonore adalah seorang putri dari kerajaan Leonore. Keberadaannya bagaikan sebuah noda dalam keluarganya hingga ia di kucilkan dan di aniaya. Sampai suatu hari ia di paksa bunuh diri dan membuat nyawanya melayang seketika. Tiba-tiba saja ia terbangun kembali ke dua tahun yang lalu dan ia bertekad untuk mengubah takdirnya dan memutuskan untuk menyelamatkannya.
"Apakah kamu tidak punya alternatif lain untuk mati?"
"Aku disini bukan untuk mencari mati." jawab Clarisse tenang.
"Lalu untuk apa kamu kesini, menyodorkan dirimu sendiri ke dalam kamp musuh?" Aillard mengangkat alisnya sambil memandang Clarisse dengan sinis.
"Aku disini berniat membuat kesepakatan denganmu. Mari kita menikah!"
➡️ Dilarang memplagiat ❌❌
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KimHana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 9 - TAWARAN KAISAR
Gelap.
Dia merasakan kegelapan hitam pekat menelannya setelah ia memuntahkan cairan berwarna merah tua itu.
Sekujur tubuhnya kesakitan tetapi sekuat tenaga ia menahannya supaya tidak ada orang yang menyadari ada yang salah dengan dirinya. Racun itu menggerogoti tulangnya hingga membuat ia lemas tak berdaya. Apakah ini akhir hidupnya? Kalimat itulah yang sering muncul di benaknya ketika ia jatuh pingsan lagi. Entah ini sudah ke berapa kalinya, dia mulai merasakan titik jenuh.
Kapan ini berakhir?
Dia mulai merasa lelah dengan semuanya. Seumur hidup dia selalu hidup dalam kesakitan, tidak pernah merasakan kebahagiaan. Hatinya terasa sudah mati hingga ia menganggap semua orang adalah batu.
Orang-orang selalu menganggapnya sebagai Grand Duke yang hebat yang sontak membuat ia ingin tertawa terbahak-bahak ketika mendengar panggilan itu di sematkan pada dirinya.
Munafik.
Dia melindungi negeri ini dengan darah dan keringatnya tetapi takdir seakan-akan mengolok-oloknya dengan rasa sakit yang menyiksa ini. Mereka seakan menertawakannya karena berjuang sendirian di dunia yang sangat egois ini. Bisakah dia mengeluh pada mereka? Bisakah dia bilang tolong hentikan semuanya! Dia juga orang yang berdarah dan berair mata. Tidak bisakah mereka memahami perasaannya?
Kaisar brengsek itu! Ia ingin sekali mencincangnya sampai mati, kalau bukan karena dia bagaimana hidupnya bisa semenyedihkan ini.
Ia benar-benar muak dengan semuanya, tetapi ia juga tidak ingin mengakhiri hidupnya untuk meninggalkan negeri ini. Mungkin karena sahabatnya, karena orang-orangnya, karena prajuritnya. Merekalah yang membuat ia bertahan sejauh ini.
...----------------...
Perlahan jari-jari itu bergerak dengan sendirinya, lalu lambat laun netra berwarna hitam pekat itu juga mulai terbuka. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu melihat pemandangan familiar yang sudah ia tempati selama ini.
"Yang mulia sudah sadar." Aillard menolehkan kepalanya dan melihat Richard yang sedang duduk di dekat jendela. Ada sepoci teh di depannya dan ada juga buku yang berada di tangan kananya. Sepertinya pemuda berumur dua puluh delapan tahun itu sedang duduk bersantai di kamarnya sementara ia berbaring kesakitan di ranjangnya saat ini.
Perlahan ia menghampiri Aillard lalu memeriksa denyut nadinya. "Kondisi Yang mulia sudah stabil." Richard mendongakkan kepalanya menatap wajah sahabatnya yang saat ini masih pucat pasi, melihat itu membuat ia menganggukkan kepalanya puas. Ini masih lumayan ketika di bandingkan saat ia di bawa ke kamarnya seminggu yang lalu.
"Berapa lama saya pingsan?" Aillard mengernyitkan dahinya ketika merasakan semua anggota tubuhnya terasa kaku. Ini seperti dia mengalami pingsan berminggu-minggu.
"Seminggu." jawab Richard sambil mengecek luka yang berada di lengan Aillard.
"Seminggu?" ulang Aillard tanpa sadar. Pantas saja badannya terasa remuk redam seperti menjadi nenek delapan puluh tahun.
"Luka yang berada di lengan Yang mulia ternyata beracun, karena itu jugalah yang membuat racun di tubuh Yang mulia kembali bergejolak."
Aillard menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Richard. Ia sudah mengira kalau ada yang aneh dengan pembunuh itu. Ternyata tebakannya benar kalau mereka memang sengaja ingin melukainya supaya racunnya kambuh. Ck, siapa lagi pelakunya kalau bukan nenek sihir itu, karena hanya dia yang mengetahui bahwa tubuhnya tidak sehat.
"Yang mulia, saya khawatir tubuh anda tidak akan bertahan sampai musim panas tahun depan. Kali ini frekuensi kambuhnya lebih sering daripada yang sebelumnya. Saya benar-benar memohon kepada Anda supaya menjaga tubuh anda dengan lebih teliti."
"Hmm." jawab Aillard sembarangan. "Saya ingin tehmu." ujarnya sambil mengarahkan kepalanya ke meja yang tadi di tempati Richard.
"Yang muliaaaaa.." teriak Richard tanpa sadar.
Tidak bisakah laki-laki ini lebih serius. Kondisinya sangat memburuk sekarang, kenapa dia masih sangat santai? Ia bahkan sangat khawatir sampai rambutnya terasa mau rontok.
"Apa?" tanya Aillard dingin.
"Tidak jadi." jawab Richard sambil menghela nafas pasrah. "Jika anda benar-benar mati, saya khawatir Kadipaten ini tidak akan bertahan. Wanita tua itu tidak mempunyai anak laki-laki dan beliau juga tidak mungkin mewarisi kadipaten di usianya yang sudah sangat tua. Lalu bagaimana dengan nasib prajurit anda yang sekarang berada di camp militer?"
Aillard terdiam lalu setelah itu terdengar helaan nafas dari bibirnya. "Saya akan mencari teratai ungu itu besok." ujarnya setelah beberapa saat.
"Tidak harus besok. Anda harus menjaga kondisi anda benar-benar membaik sebelum melakukan perjalanan jauh. Saya akan meresepkan obat supaya tubuh anda menjadi lebih baik."
"......." Aillard menganggukkan kepalanya menanggapi perkataan Richard.
Setelah beberapa saat, Aillard berkata lagi, "Tuangkan tehnya untukku!"
Huft, baiklah. Richard ingin membantah perintah Aillard tetapi ketika melihat wajah dingin itu membuat ia mengurungkan niatnya kembali. Perlahan ia menuangkan tehnya lalu menyerahkannya kepada Aillard.
"Ssrrupuuutt..." Aillard menyeruput tehnya sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela.
"Bagaimana perasaan Yang mulia, apakah terasa lebih baik?" Richard bertanya dengan prihatin sambil melihat Aillard yang meminum tehnya.
"Hmm." Aillard menganggukkan kepalanya menjawab perkataan Richard.
"Jika badan Yang mulia terasa tidak enak, silahkan cepat datang ke saya."
"..........." Aillard menganggukkan kepalanya lagi menanggapi perkataan Richard.
Manusia batu ini!
Tidak bisakah jawabannya selain mengangguk dan hmm. Apakah dia menjelma menjadi burung Beo? Mungkin burung Beo pun lebih baik darinya.
"Kau pasti mengomeliku lagi di kepalamu?" ujar Aillard sambil menolehkan kepalanya memandang Richard dengan sinis.
"Tidak." bantah Richard sambil tersenyum manis. Ia berusaha sealami mungkin supaya manusia batu ini tidak curiga dengan perasaan bersalahnya.
Aillard memalingkan wajahnya dan berkata dengan jijik, "Berhentilah tersenyum! Aku bahkan berhalusinasi kalau sekarang aku melihat monyet tersenyum di depanku."
"Apaaa?" teriak Richard tanpa sadar. Apakah dia mengatakannya monyet sekarang? Richard sekuat tenaga menahan amarahnya untuk tidak menghantam wajah lelaki ini. Sabar Richard! Ingat kalau dia adalah pasien dan ia sebagai dokternya harus mengerti ketika pasiennya bertingkah tidak masuk akal.
Setelah melafalkan kalimat itu, Richard pun perlahan tenang kembali. Ia memandang Aillard yang sekarang sedang berbaring lalu tersenyum profesional.
"Yang mulia, apakah anda sudah memikirkan tawaran Kaisar?"
"Tawaran apa?"
Richard berdeham, lalu memberikan kode kepada Aillard.
"Apa yang kamu lakukan?" Aillard mengernyitkan dahinya dan memandang sahabat sekaligus yang menjadi dokternya selama ini dengan bingung. Selain memiliki senyum yang jelek, dia ternyata juga mempunyai masalah mata? Dia harus memberinya cuti besok supaya dia memeriksakan tubuhnya ke dokter. Mungkin saja ada dokter yang bisa memperbaiki senyum jeleknya.
Karena terlalu fokus merawat kondisinya selama ini, sahabatnya ini bahkan tidak punya waktu memeriksakan kondisi kesehatannya sendiri. Aillard mendongakkan kepalanya dan memandang Richard dengan kasihan. Ini benar-benar tragis, padahal ia masih muda.
Tentu saja orang yang bersangkutan tidak tau pikiran Aillard saat ini. Tetapi jika ia tau, mungkin pemuda berumur dua puluh delapan tahun itu akan berteriak memprotes kalau dia baik-baik saja. Matanya mana yang melihat matanya sakit? Bahkan semut sejauh seribu kilometer pun dia bisa melihatnya.
Sayangnya Aillard tidak mengerti kode dari kedipan mata Richard yang membuat dia menghela nafas frustasi. Tepat ketika dia akan mengatakannya, ia di interupsi oleh kedatangan Teon yang sangat heboh.