"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Rumah Hana
Hana menarik napas panjang, mengusap sisa-sisa air hujan dari dahinya. Mereka baru saja tiba di depan rumahnya setelah perjalanan yang dipenuhi keheningan dan percikan tawa kecil.
Ryan merasa canggung, emosinya yang baru saja meledak di hadapan Hana membuatnya malu. Dia menunduk, merasakan aliran air dari rambutnya yang masih basah.
"Kenapa kau cengeng sekali, sih?" Hana memecah keheningan dengan nada bercanda. Meski ada nada keprihatinan di matanya, dia mencoba meringankan suasana.
Ryan hanya menggumam pelan, "Aku... aku tidak cengeng," meskipun dalam hatinya ia tahu, alasan itu lemah. Kepalanya semakin menunduk, menutupi wajah yang kini sedikit memerah.
Hana tertawa kecil. "Aku bahkan belum mengenalmu lebih dari sehari, tapi kau sudah menangis di depanku. Berani juga."
Ryan merasa sedikit tersinggung, tapi sadar bahwa ucapan Hana mengandung kebenaran. Ia mendadak kembali merasakan perasaan rendah diri, tapi tak bisa memungkiri bahwa bersama Hana, ada sedikit rasa lega.
"Mari masuk. Kau pasti kedinginan," ujar Hana sambil membuka pintu, melangkah masuk ke rumahnya.
Tanpa banyak bicara, Ryan mengikuti. Udara hangat di dalam rumah langsung menyambut mereka, mengusir hawa dingin yang masih menggantung di luar. Wangi lavender dan kayu menyebar, membuat ruangan terasa menenangkan. Ryan berdiri kaku di dekat pintu, merasa asing. Rumah Hana begitu berbeda dari kehidupannya yang penuh kekacauan.
'Kenapa aku di sini?' batinnya. "Apa yang dia inginkan dariku?"
Hana melepas jaketnya, meletakkannya di gantungan. "Duduklah dulu, aku akan ambil handuk," ucapnya sebelum menghilang ke ruangan lain.
Ryan memandang sekeliling ruangan. Dindingnya dihiasi beberapa lukisan yang tampak tenang dan damai. Tanaman hijau tersebar di beberapa sudut, menambah kesan hidup dan nyaman. 'Tempat ini... terasa seperti dunia lain,' pikirnya sambil mengamati. Rumah ini terlalu sempurna untuk seseorang seperti aku.
Sebelum pikirannya lebih jauh, Hana muncul lagi dengan dua handuk di tangan. "Ini, pakai ini. Jangan sampai sakit," katanya sambil menyodorkan handuk ke arah Ryan.
"Terima kasih," jawab Ryan pelan, menerima handuk dengan canggung. Ia mulai mengeringkan rambut dan pakaiannya.
Hana mengamati Ryan sekilas. 'Dia selalu tampak tegang,' pikirnya. "Mau mandi? Pakaianmu basah semua."
"Mandi?" Ryan terkejut, ekspresinya menegang lagi. 'Di rumahnya?'
Melihat reaksi Ryan, Hana tersenyum. "Tenang saja, aku bisa pinjamkan baju ayahku. Dia sedang bekerja dan tidak akan pulang sampai pagi."
Pernyataan Hana membuat Ryan sedikit bingung dan lebih gugup. 'Berdua saja?' pikirnya sejenak, namun ia segera menepis pikiran itu. "Aku... tidak ingin merepotkan."
"Sudah kubilang, tak apa. Lagipula, kau sudah menemaniku jalan di bawah hujan," kata Hana sambil mengedipkan mata dengan nada bercanda.
Ryan tak lagi punya alasan untuk menolak. Dengan berat hati, ia mengangguk. "Baiklah, terima kasih."
Hana tersenyum puas. "Kamar mandinya di sana," ia menunjuk ke arah kamar mandi. "Aku akan siapkan pakaian di depan pintu nanti."
Ryan berjalan menuju kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Setelah pintu tertutup, dia menatap bayangannya di cermin. 'Kenapa semua ini terasa begitu aneh? Kenapa dia begitu baik padaku?'
Setelah selesai mandi, Ryan mengenakan pakaian yang Hana siapkan. Pakaian yang sedikit kebesaran, tapi setidaknya lebih kering dan nyaman. Dia berjalan kembali ke ruang tamu, merasa sedikit lebih baik, namun tetap saja canggung.
Hana sudah duduk di sofa, mendengarkan musik dengan earphone. Saat melihat Ryan datang, ia melepas salah satu earphone-nya dan tersenyum. "Kau terlihat lebih segar sekarang."
"Terima kasih," jawab Ryan sambil duduk di ujung sofa, berusaha menjaga jarak. Hana berdiri dan berbalik menuju kamar mandi, tanpa banyak bicara lagi.
Ryan mengalihkan pandangannya. Saat Hana kembali, dia memakai baju kaos putih yang simpel dan celana pendek. Rambut basahnya terurai, aroma sabun lembut memenuhi udara. Ryan tak bisa menghindari tatapan sekilas yang membuatnya merasa sedikit gugup. Ada sesuatu dalam kesederhanaan Hana yang membuatnya terlihat begitu menawan.
"Orang tuaku pulang besok pagi," kata Hana tiba-tiba, seolah berbicara biasa saja. "Jadi, aku sendirian malam ini."
Ryan terkejut, meskipun dia tidak menunjukkan banyak ekspresi. "Oh," gumamnya. Pikirannya mulai berputar lagi, penuh kekhawatiran. 'Haruskah aku tetap di sini? Apa yang akan dipikirkan orang lain?'
Hana, seolah bisa membaca pikirannya, hanya tersenyum. "Tenang saja. Aku tidak bermaksud apa-apa. Jika kau ingin pulang, aku bisa mengantarmu ke halte bus."
Ryan menghela napas lega. "Maaf, aku hanya tidak terbiasa."
"Tak apa," Hana tertawa kecil. "Kau memang kelihatan tipe yang mudah gugup."
Mereka saling tersenyum, meski Ryan masih merasa ada yang mengganjal. 'Semua ini terasa seperti mimpi,' pikirnya. 'Aku pantas mendapatkannya?'
Hana duduk dengan nyaman di sofa, memandang Ryan yang duduk tak jauh darinya. Keheningan memenuhi ruangan, tapi bukan keheningan yang canggung. Hujan di luar sudah mulai mereda, menyisakan suara rintik yang teratur. Hana memecah keheningan.
"Chopin memang salah satu favoritku. Karya-karyanya selalu membuatku merasa tenang, tapi sekaligus ada kesedihan yang tersimpan di dalamnya," ujar Hana sambil menatap langit-langit, seakan memikirkan komposisi piano yang sedang berputar di kepalanya.
Ryan, yang masih merasa kaku, hanya mengangguk. "Iya, aku bisa merasakan itu. Karya-karya Chopin memang memiliki kedalaman emosional yang... sulit dijelaskan."
Hana tersenyum kecil. "Nocturnes, misalnya. Ada sesuatu di dalamnya yang seperti membawamu ke dunia lain. Dunia yang sepi, tapi indah."
Ryan mendengar nama itu dan langsung terpikir sesuatu. "Ya, tapi jika dibandingkan dengan Schumann, menurutku..." Ia terhenti, sadar bahwa tanpa sengaja, ia mulai membandingkan dua musisi itu.
Hana menoleh, tertarik. "Schumann? Kenapa?"
Ryan terdiam sejenak, tak menyangka dirinya mulai masuk terlalu dalam ke percakapan itu. "Ah, maksudku... Schumann punya gaya yang lebih emosional, lebih bergejolak dibanding Chopin. Mereka berbeda, tapi... entah, rasanya aku selalu tertarik dengan kontras di antara mereka."
Hana mengangguk pelan, matanya menyiratkan ketertarikan yang mendalam pada apa yang Ryan katakan. "Aku bisa melihat itu. Schumann lebih... dinamis. Karya-karyanya seperti rollercoaster emosi."
Ryan kembali merasa canggung. 'Kenapa aku tiba-tiba bicara banyak?' pikirnya. Ia menggigit bibir, mencoba menghentikan dirinya agar tak berbicara lebih jauh.
"Kenapa diam?" tanya Hana, mencoba membuat Ryan merasa lebih nyaman. "Kau tidak perlu menahan diri. Aku suka mendengar pendapatmu."
Ryan menunduk, sedikit tersenyum. "Aku hanya tidak terbiasa bicara soal hal-hal seperti ini dengan orang lain."
Hana menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Berbicara adalah cara terbaik untuk melepaskan beban."
Ryan tersenyum tipis, tapi hatinya penuh kebingungan. "Aku... tidak yakin."
Mereka kembali terdiam. Hana membiarkan percakapan itu berhenti sejenak, tidak memaksanya. Rintik hujan di luar menambah kesan hening yang nyaman, namun Ryan merasa ada sesuatu yang mendesak di dalam dirinya. Sesuatu yang ia ingin lepaskan, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Ryan berbisik pelan, hampir tidak terdengar. "Ada masa lalu... yang ingin kulupakan."
Hana tidak langsung merespons. Ia menunggu, memberinya ruang untuk melanjutkan, tapi Ryan sudah terlanjur menutup diri lagi. Tatapannya jatuh ke lantai, dan suasana yang tadi mulai mencair kini terasa lebih dingin lagi.
"Maaf... aku tidak seharusnya membicarakan itu," gumam Ryan, menarik dirinya kembali ke dalam cangkang yang familiar.
Hana tidak mendesak. Ia tahu ada sesuatu yang berat di dalam diri Ryan, tapi ia memilih untuk menunggu hingga Ryan sendiri siap berbicara. "Kapan pun kau ingin bicara, aku di sini," ujarnya lembut.
Ryan mengangguk tanpa menatapnya. 'Kenapa aku membuka mulut? Seharusnya aku diam saja,' pikirnya. 'Aku terlalu banyak bicara.'
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂