Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Belas - Aku Hanya Ingin Ditemani Istriku
Amara merasa fresh kembali, semua berkat pijatan Bi Asih tadi. Sekujur tubuhnya seperti habis diservis di salon spa ternama. Amara kembali menuruni anak tangga. Ia langsung ke dapur, dan masakan yang tadi ia masak sudah matang, sedang disiapkan di piring saji oleh Bi Asih.
“Itu lebihannya bawa bibi, buat makan sama lainnya, aku sengaja bikin banyak, biar bibi gak usah masak untuk makan malam bersama lainnya,” ucap Amara.
“Iya, Bu. Nanti bibi bawa ke belakang.”
“Ya sudah, aku tata ini dulu, Bi. Paling Bapak sebentar lagi pulang. Oh ya, Bi, terima kasih servisnya, ya? Badanku enteng, Bi. Kepalaku juga enteng banget. Ih rasanya seperti baru diservis di salon dan spa ternama. Cucok bibi ini jadi terapis spa,” ucap Amara.
“Ah ibu ini mujinya ketinggian, Bu,” ucap Bi Asih malu-malu.
“Lho emang benar. Pokoknya satu minggu sekali, bibi harus pijat aku!” pinta Amara.
“Siap, Nyonya ....”
“Bibi manggilnya, ah!”
“Iya, lupa, Bu?” ucapnya dengan tertawa.
Bi Asih senang sekali jika majikannya selalu senyum dan bahagia seperti ini, ya walaupun bahagia dan tersenyumnya hanya dengan Bi Asih dan asisten lainnya.
Amara menata masakannya di atas meja. Masakan spesial, request suamianya. Tongseng kambing favorit suaminya itu. Tidak mengapa Amara sesekali memasak untuk suaminya, apalagi sampai suaminya meminta dimasakin? Amara jadi semangat memasaknya tadi, ditambah penat dan lelah dibadannya sudah hilang karena pijatan Bi Asih.
Tepat pukul setengah tujuh malam, suara mobil Alvaro terdengar. Amara langsung berjalan ke luar rumah, menyambut kedatangan suaminya di teras. Tidak tahu kenapa ia semangat sekali menyambut suaminya pulang, padahal ia masih kesal dengan suaminya. Mungkin karena sudah hampir sebulan ia tidak pernah menyambut suaminya pulang.
Alvaro melihat istrinya berdiri di teras menyambutnya dengan senyuman manis. Amara terlihat begitu fresh sekali saat ini, dengan rambut setengah basah dan tergerai, membuat Alvaro semangat mendekati Amara. Ia berlari kecil menghampiri Amara. Amara langsung mencium tangan Alvaro, Amara dibuat terkejut oleh Alvaro, karena tiba-tiba Alvaro mencium kening, pipi, dan bibir Amara dengan kilas. Ada rasa bahagia di hati Amara, sudah masak dengan capek, diberi hadiah ciuman paket lengkap oleh suaminya.
“Aku sudah masak yang kamu minta sama Bi Asih tadi pagi. Mas mau langsung makan, atau mandi dulu? Kalau mandi dulu, aku siapkan air hangat,” ucap Amara.
“Aku sudah sangat lapar mendengar kamu masak tongseng kambing. Aku mau langsung makan, ayo temani aku makan,” ajak Alvaro.
Baru saja mereka akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam, terdengar suara mobil masuk ke pekarangan rumah mereka, dengan membunyikan klakson. Mereka bersamaan menoleh ke arah mobil tersebut.
“Tuh calon istrimu datang!” ucap Amara dengan penuh penekanan dan terdengar jelas di telinga Alvaro.
“Mas ....” Cindi memanggil Alvaro dengan begitu manja dan mesra. Amara yang mendengar dan melihat gaya Cindi jadi ingin muntah. Cindi tidak datang sendiri, dia bersama anak kecil perempuan, berusia kurang lebih lima tahun, yang wajahnya begitu mirip dengannya.
“Om Varo .... aku kangen!” Gadis kecil itu berlari lalu berhambur ke pelukan Alvaro. Alvaro langsung menggendongnya, dan menciumi pipi gadis kecil itu. “Om juga kangen,” ucap Alvaro.
Amara yang melihatnya langsung memundurkan langkahnya perlahan, hatinya terasa sakit, dadanya begitu sesak melihat mereka seperti keluarga yang harmonis, baru bertemu setelah sekian lama. Amara memutar tubuhnya, memilih untuk masuk ke dalam rumah, ia tidak mau lama-lama melihat hal semacam itu, yang bisa membuat hatinya semakin terluka.
Amara berjalan cepat lalu masuk ke dalam dapur. Ia langsung mengambil gelas, dan mengisinya dengan air putih. Amara langsung meneguk air putihnya itu sampai tandas, berharap rasa sesak di dadanya sedikit reda karena dialiri sejuknya air putih. Namun, tetap saja, pikiran negatifnya satu-persatu bermunculan di kepalanya. Amara menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran negatifnya itu.
“Bu?”
“Iya, Bi?”
“Ibu baik-baik saja?” tanya Bi Asih.
“Saya baik-baik saja, Bi. Bi saya ke atas, ya? Kalau bapak tanya saya ke kamar, mau siapkan air hangat untuk mandi bapak, dan sekalian istirahat,” ucapnya.
“Ibu gak makan dulu?” tanya Bi Asih.
“Nanti saja, Bi. Aku mau ke kamar dulu, barangkali bapak sama tamunya itu mau makan, tolong siapkan ya, Bi?”
“Baik, Bu.”
Bi Asih menatap Amara dengan perasaan sedih. Bi Asih tahu bagaimana pernikahan majikannya itu. Begitu senyap, dingin, dan menegangkan. Apalagi Amara yang selalu berjuang sendiri, untuk menghadapi keras dan dinginnya suaminya itu. Bahkan Amara sering disudutkan oleh ibu mertua dan kakak iparnya itu, karena Amara tak kunjung hamil, mereka selalu bilang Amara itu mandul.
Entah sampai kapan Amara akan bertahan dalam kondisi pernikahan yang seperti ini. Bi Asih sendiri sudah tidak sanggup dan tidak tega jika melihat Amara yang begitu. Namun, apa pun keputusan Amara, Bi Asih selalu mendukungnya.
Padahal tadi Bi Asih sudah senang, melihat Amara begitu bahagia menyambut suaminya pulang, pun dengan suaminya yang langsung memeluk dan memberikan kecupan mesra. Baru tadi Asih melihat mereka seromantis itu. Tapi, ada-ada saja ujian mereka.
“Baru saja mereka romantis, Mak Lampir sama Tuyulnya datang!” gerutu Bi Asih.
Sudah cukup lama Alvaro di depan menemui Cindi dan Alea. Akhirnya terdengar suara mobil pergi meninggalkan rumah. Pasti mereka sudah pulang, Bi Asih melihat Alvaro masuk ke dalam, dan langsung menemuinya.
“Bi, Amara di mana?” tanya Alvaro.
“Tadi katanya mau siapkan air buat mandi bapak, lalu habis itu mau istirahat,” jawab Bi Asih.
“Bisa minta tolong panggilkan Amara, Bi? Suruh dia turun, kalau tidak mau, aku yang akan menarik dia ke sini!” ucap Alvaro.
“Baik, Pak!”
Dengan cepat Bi Asih memanggil Amara di kamarnya, untuk menemai Alvaro makan malam.
Amara malas-malasan turun dari tangga. Ia masih kesal dengan suaminya itu. Ternyata Alvaro sendirian di ruang makan, tidak ada perempuan dan anak kecil itu, entah ke mana perginya mereka. Sudah pulang atau masih di rumahnya. Amara tidak tahu, dan tidak mau tahu, yang penting dia menuruti apa yang suaminya mau.
Amara menarik kursinya, duduk dengan terpaksa di sebelah Alvaro lalu mengambilkan nasi untuk Alvaro, beserta lauknya. Amara sudah hilang selera makannya gara-gara kedatangan perempuan tadi.Dia hanya melihat Alvaro makan dengan begitu lahapnya, sampai dia tambah lagi.
“Buka mulutmu!” perintah Alvaro.
“Apa sih!” tukas Amara.
“Kamu belum makan, aku suapi! Kamu ini tambah kurus setelah bekerja, Ara! Ayo buka mulutnya! Jangan menolak!” tegas Alvaro.
“Aku masih biasa saja badannya, mungkin perasaan mas saja?” ucap Amara.
“Ara ... ayo buka mulutnya!” perintah Alvaro lagi dengan tegas.
“Mnch!” Amara mencebikkan bibirnya, dia malas sekali, tapi Alvaro tetap memaksanya untuk membuka mulut, akhirnya Alvaro menyuapi Amara, mau tidak mau Amara harus mau.
“Kamu ini jarang sarapan, jarang makan malam bareng sama aku, harusnya sempatkan dong sesekali begini makan bareng?” protes Alvaro.
“Kenapa tidak ditemani calon istrimu dan anakmu? Tadi mereka kan ke sini?” ucap Amara.
“Aku hanya ingin ditemani istriku, bukan perempuan lain. Dan istriku itu kamu, Amara Khairunisa,” ucap Alvaro lugas.
Amara terdiam, jantungnya berdebar-debar mendengar ucapan Alvaro barusan. Namun hatinya sungguh miris, karena lebih tepatnya dia adalah calon mantan istri, bukan istrinya.