Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dimensi Kalidron
[Ding!]
[Karena Tuan Rumah gagal menyelesaikan misi harian, Tuan Rumah akan diberikan hukuman.]
[Memindahkan jiwa Tuan Rumah ke Dimensi Kalidron....]
Kalimat terakhir itu menggema di pikiran Kaivorn saat tubuhnya tersedot ke dalam kekosongan.
Sensasi melayang yang tidak nyaman menyelubungi dirinya, dan dunia di sekelilingnya memudar menjadi gelap total.
Udara di sekitar tiba-tiba menjadi dingin, lebih dingin dari es, merayap ke kulitnya, menembus tulangnya, dan membuat napasnya tertahan di tenggorokan.
Kaivorn tak bisa berbuat apa-apa—tidak bisa bergerak, tidak bisa berpikir jernih, hanya ada kehampaan yang menggenggamnya erat.
Sejenak, kesunyian mutlak menguasai segalanya.
Detik demi detik berlalu dalam kekosongan yang seperti abadi.
Tapi kemudian, seketika, dia merasakan gravitasi menelannya kembali dengan kasar.
Kaivorn tersentak bangun, tubuhnya terhempas ke tanah kasar yang terasa hangus.
Udara yang ia hirup tajam seperti pisau yang menusuk paru-parunya.
Dia terbatuk, merasakan debu tebal masuk ke saluran napasnya.
Saat Kaivorn mendongak, pemandangan di depannya menghantam kesadarannya dengan brutal.
Langit di atas berwarna merah pekat, penuh dengan awan gelap yang tampak mendidih, seolah-olah alam semesta sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Di mana-mana, tanah bergetar, mengeluarkan retakan besar yang memuntahkan lava panas.
Udara dipenuhi dengan raungan yang begitu mengerikan, seperti suara jiwa-jiwa yang disiksa selamanya.
“Aku di mana...?” Gumam kaivorn.
Kaivorn tidak butuh waktu lama untuk merasakan bahwa ini bukan dunia biasa.
“Ah, tentu saja,” dia menghela napas, matanya mulai menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. “Tempat yang cocok bagi pecundang sepertiku.”
Dia bangkit perlahan, merasa tulang-tulangnya seakan baru saja dilipat dan dilempar ke dinding.
Tatapannya menyapu pemandangan yang sekarang ada di hadapannya.
“Sistem?” Kaivorn bertanya, menjaga suaranya tetap tenang. “Ini neraka versi mana? Yang ada obrolan ringan atau langsung bertarung dengan iblis?”
[Tuan Rumah telah dipindahkan ke Dimensi Kalidron. Ini adalah hukuman karena gagal menyelesaikan misi harian. Tuan Rumah harus bertahan hidup selama satu jam. Jika gagal, jiwa Tuan Rumah akan dihancurkan sepenuhnya.]
"Satu jam di sini, atau mati... Oke, tidak ada tekanan sama sekali."
Kaivorn memutar bola matanya, menatap ke langit yang hampir terasa seperti berkedip-kedip.
Detak jantungnya sedikit naik saat dia mulai menyadari dengan cepat betapa parah situasinya.
Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, tanah di bawahnya berguncang.
Bukan hanya gempa biasa—ini adalah getaran yang disebabkan oleh kekuatan yang jauh melampaui apa pun yang pernah ia lihat sebelumnya.
Kaivorn segera terdiam, tatapannya terkunci ke depan.
Dua sosok muncul di kejauhan, berdiri saling berhadapan.
Salah satu dari mereka mengenakan jubah ungu panjang yang dipenuhi simbol-simbol kuno yang berkilauan di bawah cahaya merah langit.
Di tangannya ada sebuah tongkat yang tampak lebih hidup daripada benda mati, memancarkan aura mistis yang membuat udara sekeliling bergetar.
"Archmage?" itulah yang terpikirkan oleh Kaivorn.
Di hadapannya, seorang pria besar dengan pedang raksasa menghunus, bersiap melancarkan serangan.
Otot-otot tubuhnya terlihat seperti baja, dan tatapannya penuh dengan kekejaman seperti saat Kaivorn melihat ayahnya.
"Dan juga Swordsmaster..??!" batin Kaivorn
Keduanya berdiri hanya beberapa meter dari Kaivorn, tapi kehadiran mereka begitu mendominasi hingga dia merasa seperti semut di antara dua raksasa yang siap saling menghancurkan.
Energi yang memancar dari keduanya begitu kuat hingga udara seolah pecah, bergetar dalam ritme yang tidak bisa dimengerti oleh logika manusia.
Seketika, pertarungan dimulai.
Ledakan pertama datang dari tongkat si penyihir agung.
Bola api sebesar meteor terlempar ke arah Swordmaster dengan kecepatan yang mustahil.
Kaivorn tersentak mundur, terlempar oleh kekuatan dampak tersebut meski jaraknya jauh dari pusat ledakan.
Tubuhnya menghantam tanah, rasa sakit langsung menjalar di seluruh tubuhnya.
Dia berusaha berdiri, tapi tanah di bawahnya bergetar hebat.
Swordmaster menebas udara dengan pedang raksasanya, menciptakan gelombang energi yang melesat cepat, menghancurkan bola api tersebut seketika.
Dampaknya menghancurkan area sekeliling, melemparkan pecahan tanah, lava, dan batu ke segala arah.
Satu serpihan kecil mengenai lengan Kaivorn, membakar kulitnya dengan cepat.
Dia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang begitu mendalam.
“Ini gila... pertempuran mereka terlalu hebat,” pikir Kaivorn, berjuang untuk bangkit kembali.
Dengan setiap detik yang berlalu, keadaan semakin buruk.
Pertarungan antara dua makhluk legendaris itu menciptakan kehancuran yang meluas, memecah bumi, mengubah udara menjadi gelombang panas yang mematikan.
Dia hanya terkena efek sisa dari serangan mereka, namun itu sudah cukup untuk membuat tubuhnya hampir hancur.
"Aku harus keluar dari sini." Otaknya berputar cepat, menganalisis segala hal di sekelilingnya, mencari celah—bahkan yang sekecil apa pun—untuk melarikan diri.
Namun, kenyataan segera menyergapnya. Tidak ada tempat berlindung di sini. Semuanya adalah neraka yang terbuka.
Kaivorn mencoba bergerak ke belakang, menggunakan bebatuan besar yang masih utuh sebagai perlindungan.
Meski otaknya terus memberi perhitungan bahwa peluang selamatnya sangat kecil, itu cukup untuk membuatnya terus berjuang.
Jika dia bisa bertahan lebih lama—jika dia bisa terus bersembunyi—mungkin ada harapan.
“Kecepatan pertempuran mereka... itu tidak masuk akal,” pikirnya.
Dia memperhatikan bagaimana Swordmaster melompat beberapa ratus meter hanya dalam kurang dari sepersekian detik untuk menghindari serangan berikutnya dari penyihir agung.
Dengan kekuatan seperti ini, bahkan sekadar berada di dekat mereka sudah cukup untuk membunuhnya.
Kaivorn menganalisis dengan cepat, pikirannya memecah data seperti mesin. "Jarak antara aku dan mereka kira-kira 200 meter, kekuatan ledakan yang dihasilkan masih cukup untuk membunuh jika aku tetap diam. Harus tetap bergerak."
Dia menguatkan diri, menekan tubuhnya ke tanah saat ledakan sihir berikutnya meledakkan sebagian besar wilayah di depan.
Suhu panas yang membakar meledak di sekelilingnya, dan sebuah serpihan batu besar menghantam bahunya, menghancurkan tulang hingga dia merasakan suara retakan yang begitu mengerikan.
“Aaarrgghh!!” teriaknya tertahan.
Sakit.
Sakit yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Napasnya terengah-engah, dunia di sekelilingnya mulai berputar.
"Terus berpikir. Terus bergerak. Jangan mati di sini," desisnya pada dirinya sendiri.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti seribu tahun.
Tubuhnya sudah berada di ambang kehancuran, tapi otaknya tetap tajam, tetap bekerja di luar batas kemampuannya.
Ledakan lainnya mengguncang tanah, menciptakan lubang besar tepat di sebelah Kaivorn.
Tubuhnya terlempar kembali oleh gelombang kejut, dan darah segar mengalir dari sisi kepalanya.
Napasnya semakin berat, dan kesadarannya mulai pudar.
Tubuhnya tak bisa lagi menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan.
“Apakah ini... akhirnya?” pikirnya, pandangannya mulai kabur.
Wajahnya menghantam tanah dengan kasar, tubuhnya sekarat.
Tapi jauh di dalam dirinya, ada satu suara yang berbisik.
[Sisa waktu: 00:12:37]
Kaivorn tersentak, rasa dingin mulai menggantikan rasa sakit yang mendera.
Matanya menatap langit merah, pikirannya berjuang melawan tubuhnya yang hampir hancur.
Suara ledakan di kejauhan terdengar samar, seperti suara dari dunia lain.
Namun, dia tahu, setiap detik masih menentukan apakah dia akan hidup atau mati.
"Waktu tersisa, kekuatan fisik yang tinggal sedikit, dan dua monster itu..." Pikirnya dengan lemah. "Aku tidak akan bertahan."
Namun, meski tubuhnya hampir mati, otaknya tetap bekerja seperti biasa, menghitung dengan presisi yang menakutkan.
Analisis lanjutan dari pertempuran di sekelilingnya terus berjalan tanpa henti.
Dia melihat aliran energi dari tiap gerakan mereka, menghitung dampaknya terhadap struktur dunia ini.
Tiba-tiba, seberkas cahaya menghantam tanah hanya beberapa meter dari tempatnya tergeletak.
Sebuah ledakan energi memotong udara, membelah tanah, dan menciptakan retakan yang hampir menghancurkan tubuhnya.
Suara retakan tulang di lengannya membuat Kaivorn ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.
"Sialan... sisa kekuatan mereka bisa menghancurkan seluruh pasukan, dan aku hanya merasakan serpihan kecil dari itu."
Rasa sakit menusuknya seperti ribuan pisau, tapi dia menahan diri untuk tidak kehilangan kesadaran.
Dia hanya perlu bertahan sedikit lagi.
Sementara dunia di sekitarnya terus berputar dalam kekacauan, Kaivorn memfokuskan perhatiannya ke arah penyihir agung dan swordmaster yang masih bertarung dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Di tengah kilatan energi dan debu yang beterbangan, ada satu celah kecil yang muncul di antara pertarungan mereka.
"Ini kesempatan..." pikir Kaivorn. Ia tahu kalau ia tidak bisa melawan—bahkan melarikan diri pun nyaris mustahil.
Namun, dengan otaknya yang terus bekerja tanpa henti, dia telah menemukan pola dalam pergerakan mereka.
Dengan usaha terakhir, Kaivorn menggerakkan tubuhnya, mencoba merangkak ke arah celah yang ia lihat.
Setiap sentimeter terasa seperti neraka, setiap detak jantung membawa rasa sakit yang lebih besar, tetapi ia tak bisa berhenti.
Pikiran terus menjerit, memaksa tubuhnya untuk bergerak meski otot-ototnya hampir putus.
"Harus sampai di sana... harus bertahan..." napasnya mulai tersendat-sendat, detak jantungnya nyaris tak terdengar.
Kaivorn tahu waktunya sudah sangat sedikit. Ledakan lain menghantam tak jauh darinya, menggetarkan tanah dan membuatnya terlempar sekali lagi.
Tubuhnya menghantam keras tanah panas, pandangannya mulai menggelap.
Darah mengalir di wajahnya, menutupi penglihatan. Namun, di antara semua itu, jam yang tersisa masih terus berdetak di kepalanya.
[Sisa waktu: 00:01:05]
"Satu menit lagi." Kaivorn tertawa dalam hati—tawa pahit yang dipenuhi keputusasaan.
Di detik-detik terakhirnya, otaknya masih menganalisis, berpikir, mencari jalan keluar.
Dia tahu dia telah mencapai batas, tubuhnya terlalu rusak, tak ada lagi kekuatan yang tersisa.
Dia menutup matanya.
[Sisa waktu: 00:00:00]
Saat Kaivorn membuka matanya lagi, dia berada di tempat yang berbeda.
Udara terasa lebih ringan, lebih dingin, dan jauh dari kehancuran dimensi Kalidron.
Kaivorn bangkit dari pingsannya dan terduduk, Jiwanya telah kembali ke tubuhnya di dunia nyata.
Dia terengah-engah, seolah-olah baru saja keluar dari lubang maut yang paling dalam.
Tubuhnya terasa berat, namun rasa sakit dari sebelumnya sudah lenyap.
Kaivorn terdiam, memproses apa yang baru saja terjadi. "Satu jam..." gumamnya, "Aku selamat."
"Dimensi Kalidron bukan tempat yang bisa di anggap remeh." gumam Kaivorn, perasaan takut menghantuinya.
"Sistem, kau benar-benar kejam," gumamnya pelan, ekspresinya terlihat jelas menunjukkan kekesalan.