Kamila gadis yatim piatu mencintai Adzando sahabatnya dalam diam, hingga suatu malam keduanya terlibat dalam sebuah insiden.
Adzando seorang artis muda berbakat.
Tampan, kaya, dan populer. Itulah kata-kata yang tepat disematkan untuknya.
"Apapun yang kamu dengar dan kamu lihat, tolong percayalah padaku. Aku pasti akan bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan. Kumohon bersabarlah."
Karena skandal yang menimpanya, Adzando harus kehilangan karier yang ia bangun dengan susah payah, juga cintanya yang pergi meninggalkannya.
"Maafkan aku, Do. Aku harus pergi. Kamu terlalu tinggi untuk aku gapai."
"Mila... Kamu di mana? Aku tidak akan berhenti mencarimu, aku pasti akan menemukanmu!"
Kerinduan yang sangat mendalam di antara keduanya, membuat mereka berharap bahwa suatu hari nanti bisa bertemu kembali dan bersatu.
Bagaimana perjalanan cinta mereka?
Mari baca kisahnya hanya di sini ↙️
"Merindu Jodoh"
Kisah ini hanya kehaluan author semata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 06
...*...
Mendengar penuturan dari Dokter Alissa, membuat tubuh Zando langsung terasa lemas seperti tak bertulang. Hampir saja dia limbung, tak kuat menopang beban tubuhnya. Untung Nino dengan sigap menangkapnya, kalau tidak bisa dipastikan tubuh Zando akan terhempas ke lantai. Dan pastinya akan lebih menyakitkan.
Zando terdiam dengan pandangan kosong, kemudian pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dokter Alissa menatap bingung, dan benaknya bertanya-tanya apakah gerangan yang terjadi pada keponakannya. Hingga suara Nino mengalihkan atensinya.
"Maaf, Dokter. Telah mengganggu waktunya. Maaf, saya tidak bisa menceritakan pada Anda, sebab saya harus segera mengejar Zando. Permisi!"
Nino segera berlalu, meninggalkan Dokter Alissa, yang hanya bisa menatap kepergian manager Zando itu, dengan pikiran dipenuhi tanda tanya.
Sementara Zando sendiri berhenti di lorong sepi, menyandarkan punggungnya pada tembok dengan mata terpejam, namun airmata mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Lantas tubuh Zando merosot ke bawah, lalu menundukkan kepala dengan bertumpu pada kedua lututnya. Zando benar-benar merasakan kesedihan yang teramat sangat. Rasa bersalah menguasai hati dan pikirannya. Ia menangis tanpa suara, dan hanya terdengar isakannya yang sangat menyayat. Bahkan pundaknya berguncang hebat.
Nino menemukannya, lalu memberikan usapan lembut pada bahu Zando. Dia pun ikut merasakan kesedihan. Mungkin secara tidak langsung dia turut andil dengan perpisahan Zando dan Kamila. Nino menghembuskan nafas kasar, tidak menyangka akan menjadi seperti ini.
"Mila ... Mil ... hahhh ... Kenapa kamu tega padaku, Mila. Aku tahu aku salah. Tapi kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku... Hahhh...haahhh...haaahhhh...."
"Do, ayo kita pulang. Tidak enak nanti dilihat orang. Jangan sampai penggemarmu melihatmu seperti ini."
Nino menyodorkan saputangannya, dan diambil oleh Zando untuk membersihkan mukanya. Setelahnya Nino memberikan masker pada Zando untuk menutupi wajah sembabnya. Lalu keduanya meninggalkan rumah sakit.
"Aku ingin pulang ke tempat Kamila saja, aku ingin tidur di sana," ucap Zando.
"Oke." Nino menjawab seraya menggerakkan mobilnya meninggalkan parkiran rumah sakit.
Setiba di apartemen Kamila, Zando segera menuju kamar mandi. Ia merasa lelah hati dan pikiran. Selesai bersih-bersih ia segera memakai pakaian santai lalu tidur di ranjang yang biasa ditempati Kamila.
Sedangkan Nino, tidur di sofa ruang tamu. Kelelahan membuat kedua pemuda itu terlelap dengan cepat.
.
.
.
Keesokan harinya.
Kamila bangun tidur sebelum adzan subuh berkumandang. Dia segera mandi, lalu mengemas kembali barang-barangnya agar tidak ada yang ketinggalan.
Dia juga mengganti nomor ponselnya dan menyimpan nomor lamanya. Kemudian dia segera sholat begitu adzan subuh selesai berkumandang.
Dokter Aruni melakukan hal yang sama, sebab dokter junior itu sudah berjanji akan mengantar Kamila ke terminal.
"Dok, tidak sarapan dulu? Di sini sudah ada yang jualan sarapan." Dokter Aruni menawarkan.
"Terimakasih, tapi nanti saja kalau sudah dapat tiket. Kalau sekarang saya belum kepingin, Dok."
"Baiklah."
Kedua gadis itu, segera keluar dari apartemen Dokter Aruni, setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Sesampai di basement keduanya langsung masuk ke dalam mobil, dan Dokter Aruni melajukan mobilnya menuju terminal.
Setengah jam perjalanan, mereka tiba di terminal. Kamila memakai masker untuk menutupi sebagian wajahnya. Kemudian turun dari mobil sambil menyeret kopernya, mendatangi loket agen penjualan tiket.
Setelah mendapatkan tiket, ia mengajak Dokter Aruni untuk mencari sarapan. Mereka makan dengan lahap, tak peduli dengan pembeli lain yang rata-rata laki-laki.
Pukul setengah enam pagi, armada bus yang akan ditumpangi Kamila datang. Ia segera beranjak dan berpamitan dengan rekannya tersebut.
"Dokter Aruni, terimakasih atas kebaikan Anda, yang membolehkan saya menumpang di apartemennya. Bahkan meluangkan waktunya untuk mengantar saya."
"Dokter Kamila, ngomong apa sih. Saya bahkan tidak membantu apa-apa."
"Terimakasih, ya. Saya pamit. Semoga kelak kita bisa bertemu di lain kesempatan. Dan semoga suatu saat nanti, saya bisa membalas kebaikan Dokter Aruni."
Kedua gadis cantik itu saling berpelukan. Tak sadar mereka menitikkan airmata. Kemudian Kamila naik ke dalam bus, dan duduk di kursinya, setelah menaruh koper di bagasi.
Kamila melambaikan tangan pada Dokter Aruni, begitu bus yang ia tumpangi mulai bergerak meninggalkan terminal.
"Selamat tinggal ibukota yang penuh kenangan." Kamila bergumam sendiri.
"Neng, mau pulang ke mana?" tanya seorang ibu yang duduk di kursi sebelah Kamila.
"Ke kota M, Bu." jawab Kamila lirih.
"Oh, sama. Ibu juga."
Selanjutnya kedua wanita beda generasi itu mengobrol tentang banyak hal, sampai akhirnya mereka mengantuk dan tertidur.
.
.
.
Pagi hari ketika matahari mulai beranjak naik, dan sebagian orang mulai beraktivitas, namun tidak dengan Zando. Dia sepertinya masih tenggelam dalam mimpi. Hingga terdengar ponselnya berdering.
Drttt drttt drttt
Akan tetapi, dia tetap bergeming dan mengabaikannya. Hingga berkali-kali ponselnya berdering, ia tetap enggan untuk membuka mata, apalagi mengangkat panggilan tersebut. Zando benar-benar ingin tidur sepanjang hari, tidak mau terganggu oleh apapun. Bahkan perutnya dari tadi berbunyi pun tak dihiraukannya.
Rupanya kepergian Kamila, telah membawa separuh hatinya juga pergi. Zando begitu larut oleh rasa penyesalannya yang mendalam pada Kamila.
Brakkk
Nino membuka pintu kamar dengan kasar, lalu berjalan tergopoh-gopoh ke arah Zando yang masih meringkuk memeluk Kamila. (Dalam mimpi kali ye).
"Zando,.... gawat, Do! Buruan bangun!" Nino mengguncang tubuh Zando, menyuruhnya untuk segera bangun.
"Apaan sih, No? Aku masih ngantuk?" Zando bicara masih dengan mata terpejam.
"Bangun, Do! Coba kamu lihat ini!" Nino menyodorkan ponselnya ke arah Zando yang masih terpejam.
"Zando...!" seru Nino dan sukses membangunkan temannya itu, lalu menerima ponsel yang disodorkan oleh Nino.
Mata Zando yang tadinya sepet langsung terbuka lebar. Ia bahkan berkali-kali mengucek mata, memperjelas penglihatannya, guna melihat gambar dan tulisan yang tertera di layar ponsel Nino.
"Zando dan Shahnaz melangsungkan pernikahan diam-diam, karena diduga Shahnaz telah berbadan dua."
Caption tersebut disertai foto keduanya tengah melangsungkan pernikahan. Bahkan ketika mereka ke ruang tamu, dan menyalakan televisi, lagi-lagi acara gosip infotainment menayangkan berita tentang Zando dan Shahnaz. Foto-foto mereka terpampang nyata di layar kaca.
"Cobaan apalagi ini, ya Allah." Zando meraup wajahnya frustasi.
Drrttt drrttt drrttt
"Mama..." gumam Zando lirih.
Ia langsung menggeser tombol hijau, mengangkat panggilan.
"Hallo, assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam. Cepat Abang datang ke rumah kakak, papa tunggu!" sambungan terputus.
Bukan suara Mama Zeya yang menyahut, melainkan suara tegas Papa Daniel.
"Ada apa?"
"Papa dan Mama datang, sekarang menungguku di rumah kakak. Entah apa yang akan terjadi padaku setelah ini."
Zando lalu berjalan gontai menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri. Ia pun hanya mandi seperlunya dan langsung keluar lagi, lalu berpakaian.
"Tunggu, Do. Aku ikut!"
Akhirnya Nino pun mandi bebek, karena tidak mau sahabatnya itu menunggu. Kemudian mereka berangkat ke rumah Adzana sang kakak.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam lamanya, Zando dan Nino sampai di kediaman kakaknya.
"Assalamualaikum," sapa Zando dan Nino.
"Waalaikumsalam."
Di ruangan itu telah berkumpul keluarganya. Zando lantas mencium punggung tangan papa mamanya, diikuti oleh Nino.
"Papa tidak mau berbasa-basi. Tolong Abang jelaskan pada papa dan mama, pemberitaan yang ada di media itu benar atau tidak!" tekan Papa Daniel
"Semua itu tidak benar, Pa. Bahkan kami tidak ada hubungan apa-apa. Sebenarnya berita itu hanya rekayasa dari pihak agensi, untuk mendongkrak popularitas, karena kami sedang promo mini album baru."
"Lalu kenapa kalian menikah diam-diam, dan gadis itu tengah berbadan dua?" tanya Mama Zeya
"Itu juga tidak benar, Ma! Bahkan abang tidak tahu itu berita dari mana. Yang sebenarnya abang akan menikahi Kamila, karena ... karena ... abang tidak sengaja telah menodainya."
"Apa ....!!!"
Tiba-tiba Papa Daniel berdiri dan langsung menarik baju Zando, lalu melayangkan tinjunya pada anak lelaki kebanggaannya itu.
Bugggg
.
.
.
.
.
pembaca ku bilang orang sabar sawahnya lebar 😂
turu mu kemiringen
mn yg bener
...
buat ketawa ngakakk