Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUKU HITAM ATAU SANTRI KHUSUS
Punggung kecil itu bergetar karena berusaha untuk tidak menangis, menunduk dalam ditengah derasnya hujan. Tidak peduli seluruh tubuhnya basah kuyup, dia sudah tidak bisa menahannya sampai suara tangisan itu bersautan dengan derasnya hujan.
“A-aku t-tidak mendorongnya.” Lirihnya.
Dia berjalan dengan pelan melewati halaman masjid untuk sampai ke asrama putri, pondok terlihat sepi sebab ini memang sudah jam tidur para santri. Kabar yang menimpanya masih belum tersebar, dan mungkin esok pagi dia pasti mendapatkan omongan pedas lagi.
Rasa sesak pada dadanya semakin sakit tak kalah bayangan wajah kiyai Aldan menatapnya dengan tajam serta intonasi suara tinggi untuk pertama kalinya dia dapatkan dari sang kiyai, mengingat itu Adira kembali menghentikan langkahnya dan memukul dadanya berulang kali.
“Sa-sakit banget ya Allah, s-sesak.” Ucapnya.
Air matanya terbawah oleh air hujan yang membuat tubuhnya semakin menggigil hebat karena sudah sejak dua puluh menit dia berada dibawah derasnya hujan.
“KAU SUDAH GILA HA! BAGAIMANA JIKA KAU JATUH SAKIT ADIRA!”
Adira merasakan air hujan tidak mengenai tubuhnya lagi, dia lalu mendongak dan benar saja sebuah payung melindunginya dari derasnya air hujan.
“Kenapa tidak langsung kembali keasrama? Kamu malah hujan-hujan disini.” Ujar Agra sedikit keras karena suara gemercik hujan begitu deras.
Adira berbalik dan benar saja ada ustadz Agra yang terlihat menahan emosi serta payung yang dipegangnya. “U-stadz Agra, ustadz kenapa bisa…,”
“Ckkk, saya yang harusnya bertanya. Kenapa kamu masih disini?” Tanyanya masih dengan tatapan tajamnya.
“Pengen ajah ustadz.” Jawabnya dengan lirih lalu menunduk. Air matanya kembali keluar lagi.
Agra kian merasa emosi, dia tidak suka anak didepannya ini kembali menangis. “Berhenti menangis, saya antar kamu kembali ke asrama.”
“Ti-tidak hiks usah ustadz, a-ku hiks hiks aku bisa sendiri k-kok hiks… hiks, hiks.” Adira tidak tahan untuk tidak mengeluarkan suaranya. Masa bodo jika ustadz Agra mengatainya cengeng.
Angra mengela napas panjang. “Jangan membantah, ayok kamu bisa masuk angina jika terus berada diluar.”
Adira menatap ustadz Agra dengan mata yang merah dan sesekali menahan ingusnya yang hendak kaluar. “Hiks srotttt… tidak us-sah hiks ustadz…,”
“Saya antar atau saya hukum kamu lagi.” Suara berat Agra membuat Adira menggeleng cepat.
“Yaudah.” Adira pasrah.
Srotttt…,
Adira tanpa tahu malunya menarik kembali ingusnya didepan sang ustadz Agra, sedangkan Agra bukannya merasa jijik dengan kelakuan Adira dia malah geli sendiri.
Walaupun Agra tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena Adira tidak begitu menjelaskannya secara rinci tadi, namun Agra merasa ini bukan salah sepenuhnya Adira. Dia akan mencari tahu nanti.
xxx
Setelah diantar ustadz Agra tadi, santriwati yang hanya memiliki tinggi 150 cm itu perlahan membuka pintu kamarnya. Wajahnya sudah pucat dan tubuhnya menggigil hebat.
“A-assalamu’alaikum.” Ucapnya saat pintu kayu berwarna coklat tua itu terbuka lebar.
“ADIRA.”
“Ya Allah Adira, ayok masuk. Kok bisa kamu basah kuyup begini sih!” Almaira menarik Adira masuk dan membawanya ke tempat dimana mereka sering berganti pakaian.
“Na, minta tolong ambilin handuknya.” Kata Ayyara kepada Aruna. Aruna tanpa menjawab mengambil handuk Adira dan meberikannya kepada Adira.
“Kamu ganti baju dulu, aku keluar.” Ujar Almaira. Meninggalkan Adira yang masih diam ditempatnya.
Didalam kamar itu hanya ada keheningan, mereka duduk dilantai yang terasa dingin akibat hujan yang masih deras.
“Aku mau kebawah dulu buat teh hangat buat Adira, kalian mau juga?” Tawar Almaira. Memakai mukenah bunga-bunganya berwarna hitam itu.
“Boleh deh, atau mau ditemani?” Tanya Aruna. Bersiap ikut Almaira. “Ayok.” Aruna bahkan sudah lebih dulu berjalan keluar dari kamar.
“Lah kalau mau ikut ya tidak usah tannya.” Lirih Almaira segera menyusul Aruna.
Ayyara bangkit saat melihat Adira telah berganti pakaian, dia segera mungkin menuju tempat tidur Adira untuk mengambilkan selimut milik Adira.
“Ini pake biar hangat.” Ayyara membantu memakaikan selimut itu pada tubuh temannya. “Aku minta maaf, harusnya kami juga ikut dipanggil dan menghadap ke kiyai. Tapi malah…,”
“Kenapa minta maaf sih! Aku tidak apa-apa Ay, lagian aku juga belum dikasih hukuman sama kiyai.” Jawab Adira memberikan senyum terbaiknya. “Dah jelek kamu pasang muka begitu, hahah.”
Puk
“Masih bisa bercanda kamu? Terus tadi kiyai marah? Atau kiyai Aldan…,” Ayyara tidak melanjutkan ucapannya akibat Adira menutup mulutnya dengan telapak tangan yang dingin itu.
“Banyak tanya kamu, eh Aruna sama Almaira kemana?” Tanya Adira setelah sadar tidak mendapati kedua temannya itu.
“Kebawah ambil teh hangat buat kamu.” Jawab Ayyara. “Besok kita sama-sama menghadap kiyai, ini bukan salah kamu. Jelas-jelas si Gia yang mau celakain kamu tapi malahan dia yang kena karmanya.”
Adira mengangguk. “Aku tahu, aku juga liat. Tapi aku juga harusnya cepat tangkap tangan dia dan mungkin ajah dia tidak akan jatuh dari tangga.”
“Tidak usah menyesal Dir, tuh orang emang benar sudah dapat kamarnya. Lagian jadi orang, gila urusan banget.”
“Hahah, mungkin hidupnya tidak berwarna kalau tidak campuri urusan orang lain.”
“Ckkk, manusia kek dia memang pantas…,”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Almaira datang dengan dua gelas teh hangat ditangannya, disusul Aruna yang juga membawa dua gelas teh hangat.
“Ini minum dulu, biar badan kamu hangat, biar tidak masuk angin juga.” Kata Almaira menyerahkan segelas teh itu kepada Adira.
“Uhhh makasih banyak.” Ucap Adira sungguh-sungguh. Dia bersyukur dikelilingi teman seperti mereka.
Mereka duduk melingkar dengan segelas teh hangat ditangan masing-masing, diluar sana hujan masih saja deras dan malam kian semakin sunyi dan dingin namun keempat santriwati itu masih terjaga tanpa berniat meninggalkan tempatnya.
“Jadi besok kita semua menghadap ke kiyai, kita jelasin dari awal sampai kejadian itu. Masalah mereka percaya atau tidak itu urusan mereka, yang terpenting kita udah jujur.” Tutur Ayyara kepada ketiganya.
“Benar, masa bodoh kalau mereka semua tidak percaya.” Ujar Almaira.
xxx
Pagi harinya, suasana pondok terlihat berbedah pada pagi ini. Dari ujung ke ujung pondok begitu sibuk dan bising dengan berita Gia si anak donatur pondok pesantren masuk rumah sakit malam tadi akibat terjatuh dari tangga, dan berita Adira yang mendorong Gia juga tersebar begitu cepat.
Di Ndalem, kediaman sang kiyai Aldan sudah ada Adira dkk yang duduk didepan parah guru besar dan tidak lupa juga ada Agra dkk, jangan lupakan ayah dari Gia turut hadir tidak terimah dengan anaknya yang masuk rumah sakit.
“Putri saya sampai harus mendapatkan jahitan dilengannya akibat ulah mu.” Ujar Antoni. Ayah Gia menatap tajam kearah Adira.
“Maaf pak, s-saya benar-benar tidak mendorong Gia.” Bela Adira. Sedari tadi hanya mampu menunduk dalam. Suasananya benar-benar membuatnya merasa sesak.
Antoni menghembuskan napasnya dengan kasar. “Masih tidak mau mengaku kamu ha?” Desis Antoni. “Saya tidak mau tahu, kau harus bertanggung jawab atau panggil kedua orang tua mu datang kesini.” Lanjutnya. Keringat kecil mulai menghiasi jidat Adira.
“Kami memang sempat berdebat dengan Gia, namun yang Adira mendorong Gia itu tidaklah benar kiyai. Malah sebaliknya Gia yang dengan sengaja ingin membuat Adira tersandung sampai dimana Gia sendirilah yang terjatuh karena ulahnya sendiri, bahkan kedua teman Gia juga ada disana dan melihatnya.” Jelas Ayyara menatap semua orang yang ada di sana.
Kiyai Aldan juga tidak percaya jika Adira yang dengan sengaja berniat seperti itu kepada Gia, senakal-nakalnya mereka, mereka tidak lah seperti itu. Kiyai Aldan percaya dengan mereka, namun disisi lain tidak ada bukti yang mengatakan jika Gia lah yang dengan sengaja ingin mencelakai Adira.
“Apa kau yakin nak?” Tanya kiyai Aldan menatap Ayyara lalu Adira. “Yang Ayyara katakan itu benar?” Tanyanya kepada Adira.
Adira tentu menjawab dengan anggukan, lalu menatap kiyai Aldan. “Na’am kiyai.” Jawabnya. Membuat kiyai Aldan menghela napas lega.
“Saya tidak mau tahu, jika dia tidak ingin meminta maaf kepada anak saya. Maka berikan hukuman yang berat kepadanya atau panggil kedua orang tuanya datang kepada saya.” Antoni menatap kiyai Aldan dengan wajah memerah.
semangat 💪👍