Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Kejutan Tak Terduga
Pagi yang Tak Terduga
Pagi itu, Arga duduk termenung di balkon, mencoba merangkai kembali semua kejadian yang telah ia lalui bersama Dira. Rasa lega bahwa mereka berhasil menyelamatkan Dira dari Raka bercampur dengan kecemasan. Meskipun Raka kini dalam tahanan polisi, Arga merasa bahwa masih ada sesuatu yang mengganjal.
Di tengah lamunannya, ponselnya bergetar. Nama Dira muncul di layar, dan senyum tipis muncul di wajahnya.
Dira: “Arga, kamu bisa datang ke rumah? Aku ingin bicara... ada hal penting.”
Nada suara Dira terdengar berat, berbeda dari biasanya, membuat Arga semakin cemas. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung menyetujui dan bersiap pergi.
---
Di Rumah Dira – Sebuah Pengakuan Mengejutkan
Saat Arga tiba di rumah Dira, suasana tampak tegang. Dira duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, sementara Ibunya berdiri di sudut ruangan dengan raut wajah penuh kecemasan. Melihat Arga, Dira langsung bangkit dan mengajaknya berbicara di luar.
Arga: “Dira, ada apa? Kamu terlihat cemas.”
Dira: (menarik napas dalam) “Arga... ada sesuatu yang perlu kamu ketahui. Sebenarnya... alasan Raka begitu terobsesi pada kita... itu semua bukan semata soal perasaan yang dia pendam.”
Arga terdiam, kaget. Ia mengerutkan alis, menatap Dira dengan tatapan penuh tanya.
Arga: “Apa maksudmu, Dira? Aku pikir Raka hanya cemburu padaku karena kau memilihku.”
Dira: (menggigit bibir, suaranya bergetar) “Sebenarnya, Arga... Raka bukan hanya menyimpan rasa cemburu. Ada hal yang lebih besar yang membuatnya membenci kita. Sesuatu yang selama ini aku sembunyikan darimu.”
---
Pengakuan Dira – Sebuah Masa Lalu Kelam
Dira kemudian menceritakan kisah yang tak pernah Arga bayangkan. Saat mereka masih SMA, Dira dan Raka pernah terlibat dalam insiden kecelakaan. Malam itu, dalam keadaan mabuk, Raka tanpa sengaja menabrak seorang pejalan kaki. Karena panik, mereka memutuskan untuk kabur, meninggalkan korban tanpa pertolongan. Korban tersebut akhirnya meninggal dunia, dan Raka yang merasa bersalah mulai terjebak dalam perasaan dendam dan kebencian pada dirinya sendiri, yang ia lampiaskan kepada Dira dan Arga.
Arga: (terkejut) “Dira… kenapa kamu tidak pernah cerita soal ini?”
Dira: (menunduk, air mata menggenang di matanya) “Aku terlalu takut, Arga. Aku pikir kalau aku bisa melupakan kejadian itu, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata rasa bersalah itu menghantui Raka hingga membuatnya seperti ini.”
Arga mencoba mencerna kenyataan yang baru saja ia dengar. Semua tindak tanduk Raka selama ini mungkin adalah manifestasi dari trauma dan rasa bersalah yang dipendamnya.
Arga: “Jadi selama ini... dendam Raka pada kita bukan hanya soal cinta, tapi juga karena rasa bersalahnya?”
Dira: “Iya, Arga. Dia merasa bahwa aku dan kamu adalah penghalang bagi dirinya untuk bisa melupakan kejadian itu. Di pikirannya, kita semua bersalah, dan dia ingin kita merasakan hal yang sama.”
---
Ketegangan di Tengah Pengakuan
Arga merasakan beban berat di dadanya. Ia baru saja mengetahui sisi gelap dari sahabatnya yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Tapi kini, semua sudah terjadi. Raka kini berada di balik jeruji, namun rasa bersalah dan kesalahpahaman ini seakan-akan masih membayangi mereka.
Namun, tiba-tiba, bunyi pintu yang terbuka membuat Arga dan Dira terperanjat. Mereka berbalik, dan sosok yang tak disangka-sangka muncul di hadapan mereka—Bima.
Bima: “Aku tahu kalian pasti ingin bertemu denganku setelah mengetahui semuanya.”
Arga: (kaget) “Bima? Kamu dari mana? Mengapa kamu di sini?”
Bima berjalan perlahan mendekati mereka, dengan senyuman sinis di wajahnya.
Bima: “Kalian pikir semua ini kebetulan? Semua yang terjadi antara kalian dan Raka, dan dendam yang ia simpan, adalah bagian dari rencana yang sudah aku susun dengan sangat rapi.”
---
Pengungkapan Rencana Bima
Dengan penuh kejutan, Bima mulai menceritakan bagaimana ia yang selama ini menghasut Raka dan memanfaatkan rasa bersalahnya untuk menghancurkan Arga. Rasa iri dan kebencian yang selama ini ia pendam pada Arga ternyata jauh lebih dalam daripada yang bisa mereka bayangkan.
Bima: “Arga, aku muak melihatmu selalu menjadi pahlawan. Kau selalu di atas, mendapatkan semua yang kau inginkan, termasuk perhatian Dira. Aku hanya membutuhkan Raka untuk melakukan pekerjaanku, dan ternyata sangat mudah memanipulasinya.”
Arga: (mengepal tangannya) “Bima, apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
Bima: “Aku ingin kau hancur, Arga. Aku ingin kau merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Dan sekarang, kau tahu semua ini. Apa kau merasa bersalah, Arga?”
Dira memandang Bima dengan tatapan ketakutan. Di saat yang bersamaan, Arga mencoba untuk tetap tenang meskipun amarah menguasai dirinya.
Dira: (marah) “Bima, kamu sudah cukup menyakiti kami. Semua kebencianmu ini hanya akan menghancurkan dirimu sendiri!”
Bima: (tertawa kecil) “Mungkin, Dira. Tapi aku sudah terlalu jauh. Aku tak akan berhenti sampai kalian benar-benar hancur.”
---
Akhir yang Menggantung
Di tengah percakapan yang semakin tegang, Bima dengan santai berjalan mundur, menghilang di antara bayang-bayang pepohonan di sekitar rumah. Ia meninggalkan Arga dan Dira dalam kebingungan dan ketakutan, menyadari bahwa sosok yang selama ini mereka percayai ternyata menyimpan kebencian yang begitu dalam.
Arga: (berbisik ke Dira) “Kita harus mencari cara untuk menghentikan Bima. Dia tidak akan berhenti sebelum kita benar-benar jatuh.”
Dira: (menggenggam tangan Arga) “Aku akan bersamamu, Arga. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama.”
---
Suasana Baru yang Mencekam
Dira memandang keluar jendela kamarnya, pikirannya dipenuhi bayangan kejadian dengan Raka dan Bima. Pikirannya bercampur aduk—antara rasa lega bahwa rahasia besar tentang Raka terungkap dan ketakutan atas niat jahat Bima. Seolah-olah semua kepercayaan yang ia bangun selama ini hancur berkeping-keping.
Ketukan pelan di pintu mengalihkan pikirannya.
Arga: (masuk perlahan) "Dira, aku di sini. Kamu baik-baik saja?"
Dira menoleh, menatap Arga yang berdiri di sana dengan wajah penuh kekhawatiran. Namun, ada rasa tenang yang seketika hadir setiap kali Arga di dekatnya.
Dira: "Aku tidak tahu, Arga. Semuanya terlalu cepat... dan terlalu banyak yang terjadi. Kita bahkan belum selesai menghadapi Raka, dan sekarang Bima..."
Arga: (mendekat dan menggenggam tangannya) "Kita akan melalui ini bersama. Aku janji."
Kata-kata Arga membuat Dira sedikit tenang, namun ketakutan masih tersisa di hatinya.
---
Kedatangan yang Tak Terduga
Malam itu, Arga dan Dira memutuskan untuk tetap bersama. Keduanya tahu bahwa kehadiran Bima masih mengancam, dan mereka tidak ingin lengah. Namun, tiba-tiba suara pintu diketuk keras, seolah-olah seseorang sedang mencoba masuk dengan paksa.
Dira: (terperanjat) "Siapa itu? Tidak mungkin..."
Arga: (menatap Dira) "Aku akan cek. Tetap di sini."
Saat Arga membuka pintu, yang berdiri di sana bukanlah seseorang yang ia harapkan. Bima, dengan senyum sinis dan penuh percaya diri, berdiri di ambang pintu. Matanya menyiratkan rasa puas dan penuh kebencian.
Bima: "Arga, Dira... senang sekali melihat kalian bersama. Seperti burung yang terperangkap dalam sangkar, ya?"
Arga: (menahan amarahnya) "Bima, apa maumu? Kamu sudah cukup membuat kekacauan dalam hidup kami."
Bima: (tertawa kecil) "Kekacauan? Belum, Arga. Kekacauan sebenarnya belum dimulai. Aku baru saja memulai."
Dira merasakan tangannya bergetar. Ia menyadari bahwa Bima lebih dari sekadar marah; ia membawa niat jahat yang lebih dalam.
Dira: (dengan suara bergetar) "Bima, berhentilah. Kebencian ini tidak akan membawa kamu ke mana-mana."
Bima: (menatap Dira tajam) "Justru kamu yang tidak tahu apa-apa, Dira. Kalian berdua hidup di dalam kebahagiaan sementara aku tenggelam dalam bayangan kalian."
---
Pengungkapan yang Mengejutkan
Bima melangkah masuk, membuat Arga dan Dira terpojok di sudut ruangan. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia sudah merencanakan hal ini sejak lama.
Bima: "Kalian tahu kenapa aku sangat membenci kalian? Karena kalian adalah cermin dari semua yang tidak bisa aku miliki—kepercayaan, persahabatan, dan... cinta."
Arga: (menatap Bima tajam) "Apa yang kamu inginkan dari kami, Bima?"
Bima: "Aku ingin kalian merasakan bagaimana rasanya hidup dalam bayangan seseorang. Selalu menjadi yang kedua, tidak pernah cukup baik. Aku ingin kalian menderita seperti aku."
Dira: (mengambil napas dalam) "Bima, kita bisa selesaikan ini tanpa kebencian. Jangan biarkan masa lalu mengendalikan hidupmu."
Bima: (tertawa sinis) "Masa lalu adalah satu-satunya yang aku miliki, Dira. Dan aku akan memastikan kalian merasa seperti yang aku rasakan."
---
Puncak Ketegangan
Tiba-tiba, Bima mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya dan melemparkannya ke meja. Arga dan Dira terkejut melihat isinya—foto-foto lama yang menunjukkan mereka berdua bersama-sama di berbagai tempat yang Bima tidak seharusnya tahu.
Bima: "Aku telah mengamati kalian sejak lama. Setiap langkah kalian, setiap gerak-gerik. Kalian pikir kalian bisa hidup bahagia tanpa konsekuensi?"
Arga: (dengan nada dingin) "Bima, apa sebenarnya tujuanmu dengan semua ini? Foto-foto ini hanya masa lalu."
Bima: "Foto-foto ini adalah bukti dari bagaimana kalian berdua begitu sempurna. Aku ingin menghancurkan kepura-puraan itu, menghancurkan semua yang kalian bangun."
Dira merasa dirinya semakin terpojok. Ketegangan dalam ruangan membuatnya hampir kehabisan napas. Namun, ia menatap Arga, mencari keberanian.
Dira: (dengan suara yang mulai stabil) "Bima, tidak peduli apa yang kamu lakukan, kami akan tetap bersama."
---
Sebuah Ancaman Terakhir
Bima tersenyum licik, seolah menikmati kekacauan yang ia ciptakan. Ia mendekat ke Arga dan Dira, menatap mereka bergantian.
Bima: "Ingat ini, Arga dan Dira. Setiap kali kalian merasa aman, setiap kali kalian merasa bahagia... aku akan ada di sana, mengintai di setiap sudut. Kebahagiaan kalian adalah kemarahanku."
Arga dan Dira merasa jantung mereka berdegup kencang. Kata-kata Bima bukan sekadar ancaman; itu adalah janji bahwa ia tidak akan berhenti sampai dendamnya terpuaskan.
Bima: (berbisik) "Ini baru permulaan."
---
Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga
Ketika Bima pergi, Arga dan Dira merasa kelelahan, seolah-olah mereka baru saja melewati sebuah badai. Namun, sebelum mereka sempat mengumpulkan diri, ponsel Dira berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Pesan: "Jika kamu pikir semua sudah selesai, kamu salah. Aku punya lebih banyak rahasia kalian yang akan terungkap."
Dira menatap Arga dengan ketakutan di matanya. Keduanya tahu bahwa ini bukanlah akhir. Teror psikologis yang Bima mulai masih akan terus menghantui mereka. Mereka harus mencari cara untuk menghentikan Bima sekali dan untuk selamanya, namun tidak tahu bagaimana.
---
Bab ini berakhir dengan ketegangan yang memuncak, meninggalkan pembaca dengan berbagai pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya dan bagaimana Arga serta Dira akan menghadapi ancaman dari Bima.