Elina Raffaela Escobar, seorang gadis cantik dari keluarga broken home, terpaksa menanggung beban hidup yang berat. Setelah merasakan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, ia menemukan dirinya terjebak dalam kekacauan emosi.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga, Elina bertemu dengan Adrian Volkov Salvatrucha, seorang CEO tampan dan misterius yang hidup di dunia gelap mafia.
Saat cinta mereka tumbuh, Elina terseret dalam intrik dan rahasia yang mengancam keselamatannya. Kehidupan mereka semakin rumit dengan kedatangan tunangan Adrian, yang menambah ketegangan dalam hubungan mereka.
Dengan berbagai konflik yang muncul, Elina harus memilih antara cinta dan keselamatan, sambil berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Di tengah semua ketegangan ini, siapa sebenarnya Adrian, dan apakah Elina mampu bertahan dalam cinta yang penuh risiko, atau justru terjebak dalam permainan berbahaya yang lebih besar dari dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lmeilan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pagi hari itu terasa berbeda dari biasanya. Matahari masih bersinar dengan terik, namun suasana hatinya suram. Elina baru saja tiba di kampus, mengenakan pakaian sederhana: kemeja putih yang sudah usang dan celana jeans hitam yang warnanya mulai memudar. Meskipun ia mencoba untuk tersenyum, namun semua orang bisa melihat beban berat yang sedang ia tanggung.
"Lin, kamu baik-baik saja?" tanya sahabatnya, Arni, saat mereka bertemu di depan ruang kelas.
Elina hanya mengangguk sambil memaksakan senyum. "Ya, aku baik-baik saja, Arni. Hanya sedikit lelah."
Arni menatap Elina dengan khawatir. "Kamu yakin? Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita padaku, Lin."
Elina menghela napas panjang. Ia tahu Arni tulus ingin membantunya, tapi masalah yang ia hadapi terlalu rumit untuk dibagikan. "Terima kasih, Arni. Aku menghargai perhatianmu. Tapi aku bisa mengatasinya."
Arni hanya bisa mengangguk, meski rasa khawatirnya tak hilang. Mereka lalu berjalan bersama menuju ruang kuliah, berusaha untuk tidak membahas hal-hal yang membuat suasana hati Elina semakin buruk.
Hari itu, Elina tidak bisa fokus pada kuliahnya. Pikirannya terus melayang-layang, memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan uang dengan cepat. Tidak ada yang masuk akal. Tawaran pekerjaan di bar dari Desi adalah satu-satunya pilihan nyata yang ia miliki saat ini.
Jam kuliah berlalu dengan lambat, dan akhirnya bel tanda berakhirnya perkuliahan berbunyi. Elina segera bergegas keluar dari ruang kelas, menuju ke tempat parkir. Ia sudah memutuskan untuk langsung ke bar yang telah Desi rekomendasikan, demi memastikan bahwa ia bisa mulai bekerja secepat mungkin.
Saat Elina tiba di bar tersebut, suasana masih sepi. Lampu-lampu remang mulai dinyalakan, dan hanya ada beberapa pekerja yang sedang menyiapkan tempat sebelum buka. Desi sudah menunggunya di dalam, duduk di salah satu meja dekat panggung.
“Elina, sini!” panggil Desi sambil melambaikan tangan.
Elina berjalan dengan ragu menghampiri meja tempat Desi duduk. “Des, apa aku benar-benar bisa melakukannya?” tanyanya dengan suara pelan.
Desi tersenyum, mencoba menenangkan Elina. “Kamu bisa, Lin. Aku tahu ini bukan hal mudah buat kamu. Tapi kamu adalah orang yang kuat. Kamu bisa melewati ini.”
Elina hanya bisa mengangguk. Ia tahu, ia tidak punya pilihan lain. Apapun yang terjadi, ia harus melakukan ini demi neneknya.
Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh besar dan berkacamata datang menghampiri mereka. Wajahnya serius, namun ada senyuman ramah di bibirnya.
“Ini Elina ya?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Elina mengangguk dan berjabat tangan dengan pria itu. “I-iya, Pak. Saya Elina.”
“Panggil saja Pak Aryo. Saya manajer bar ini. Desi sudah cerita banyak tentang kamu. Jangan khawatir, kita di sini seperti keluarga. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bilang ya.”
Elina tersenyum lemah. “Terima kasih, Pak.”
“Baiklah, ayo ikut saya. Saya akan tunjukkan tempat kerja kamu.”
Mereka berjalan ke bagian belakang bar, menuju ruang ganti yang disediakan untuk para pekerja. Pak Aryo menunjukkan lemari kecil tempat Elina bisa menyimpan barang-barangnya, serta seragam kerja berupa kemeja hitam dan rok pendek yang cukup sopan.
“Kamu akan bekerja sebagai pelayan. Tugasnya cukup sederhana, melayani tamu yang datang dan memastikan mereka merasa nyaman. Jangan khawatir, kalau kamu butuh bantuan, Desi atau yang lain akan selalu ada untukmu.”
Elina mengangguk. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Pak Aryo tersenyum dan menepuk bahunya. “Bagus. Kalau begitu, kamu bisa mulai besok malam. Istirahat yang cukup, dan jangan khawatir. Kamu akan baik-baik saja.”
Setelah semuanya selesai, Elina dan Desi berjalan keluar dari bar. Malam sudah semakin larut, namun Elina merasa sedikit lega. Setidaknya, ia sudah memiliki pekerjaan, meskipun itu bukanlah pekerjaan yang ia impikan.
“Terima kasih, Desi,” ucap Elina saat mereka berpisah di parkiran. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada kamu.”
Desi hanya tersenyum. “Tidak perlu berterima kasih, Lin. Kita ini sahabat. Apapun yang terjadi, kita akan saling membantu.”
Elina mengangguk pelan. “Sampai jumpa besok, Des.”
Setelah itu, Elina menaiki motornya dan memacu kendaraannya pulang. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, namun perasaan hangat dari dukungan Desi dan Pak Aryo membuatnya merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, dia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.
Namun, perasaan lega itu tak bertahan lama. Saat Elina tiba di rumah sakit dan memasuki kamar rawat neneknya, ia mendapati situasi yang membuat hatinya mencelos.
Nenek Amber terlihat sangat lemah. Matanya terpejam, napasnya terengah-engah. Di samping tempat tidur, seorang dokter sedang berbicara dengan perawat, mengamati monitor yang menunjukkan tanda-tanda vital neneknya.
“Nenek…!” Elina berlari menghampiri tempat tidur, menggenggam tangan neneknya yang dingin.
Dokter menoleh dan menatap Elina dengan serius. “Anda cucu dari Ibu Amber?”
Elina mengangguk. “Ada apa lagi dengan nenek saya, Dok?”
Dokter itu menarik napas panjang. “Kondisi nenekmu semakin menurun. Kami akan melakukan yang terbaik, tapi kami harus segera melakukan operasi jika ingin menyelamatkan nyawanya. Saya tahu ini tidak mudah, tapi saya harus jujur. Kesempatan untuk sembuh akan semakin kecil jika kita tidak segera melakukan tindakan.”
Kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Elina tertegun, dadanya terasa sesak. “T-tapi, Dok… biaya operasinya…”
Dokter itu menatapnya dengan belas kasih. “Saya mengerti. Tapi nyawa nenekmu dipertaruhkan di sini. Saya sarankan kamu segera mencari jalan keluarnya, secepat mungkin.”
Elina hanya bisa mengangguk, meski hatinya berteriak dalam kepanikan. Ia tahu waktunya tidak banyak. Jika ia tidak segera mendapatkan uang, ia bisa kehilangan neneknya untuk selamanya.
Malam itu, Elina duduk di sudut kamar rawat neneknya. Matanya yang sembab menatap layar ponselnya. Tangannya gemetar saat ia membuka aplikasi perbankan dan melihat saldo rekeningnya. Hanya ada beberapa ratus ribu di sana, jauh dari cukup untuk membayar biaya operasi yang mencapai puluhan juta.
Elina memejamkan mata, menahan tangis yang mulai membanjiri dadanya. Pikirannya kalut, tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sudah memutuskan untuk bekerja di bar, tapi itu tak akan cukup. Bahkan jika ia bekerja siang dan malam, ia masih butuh waktu lama untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.
Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Desi muncul di layar. Elina segera menjawab panggilan itu.
“Lin, kamu baik-baik saja?” Suara Desi terdengar khawatir di ujung sana.
Elina berusaha menahan isakannya. “Tidak, Des… aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Operasi nenek harus segera dilakukan, tapi aku tidak punya uang.”
Desi terdiam sejenak sebelum menjawab. “Lin, aku tahu ini akan terdengar gila, tapi ada seseorang yang mungkin bisa membantumu.”
Elina mengerutkan kening. “Maksudmu siapa?”
“Namanya Adrian Volkov. Kau pasti tau kan Elina siapa dia, Dia ternyata adalah pemilik bar tempat aku bekerja. Dia sangat kaya, dan mungkin… jika kamu meminta bantuan padanya…”
Nama itu membuat Elina tersentak. Adrian Volkov. Pria dingin dan angkuh. Laki laki itu, CEO penguasa Perusahaan terbesar di negara A yang dikenal sangat dingin dan dia yang menempati kamar 101. Mengapa Desi tiba-tiba menyebut nama itu?
“Des, apa kamu gila? Aku bahkan tidak mengenalnya. Mengapa dia mau membantuku?”
Desi menghela napas panjang. “Aku tahu ini terdengar mustahil, tapi Tuqn Adrian bukan orang jahat. Dia mungkin terlihat dingin dan angkuh, tapi dia punya hati. Kalau kamu bisa meyakinkannya, mu-mungkin dia akan membantumu.”
Elina menggeleng, meski Desi tidak bisa melihatnya. “Aku tidak mengerti maksudmu, Des… a-aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.”
“Lin, aku tahu kamu putus asa sekarang. Tapi setidaknya coba dulu. Temui dia besok malam di Bar. Dia akan datang Aku akan mengatur pertemuan untukmu. Jangan menyerah dulu, oke?”
Setelah beberapa saat hening, Elina akhirnya mengangguk. “Baiklah, Des. Aku akan mencobanya.”
Malam itu, Elina tak bisa tidur. Ia hanya bisa duduk di samping tempat tidur neneknya, memikirkan apa yang harus ia lakukan.
POV Desi
Saat ia berjalan bersiap akan pulang. Tiba tiba suara seseorang mengagetkannya.
"aku akan membantu temanmu" suara bariton mengangetkan Desi. Ia menoleh ke belakang
"a-anda siapa Tuan" tanya Desi Gugup
"Adrian Volkov Salvatrucha" Jawab Adrian singkat
Desi seolah terbelalak tak percaya mendengar nama itu, dialah pria yang membuat kekacauan, CEO yang menempati kamar 101, CEO yang tak pernah orang lain ketahui seperti apa bentuk wajahnya, bahkan saat Desi dan Elina membersihkan kamarnya, Desi tak pernah sekalipun melihat seperti apa wajahnya, hanya Elina yang tau dan sekarang berdiri dihadapannya dengan sosok tinggi tegap, sangat tampan dan jangan lupa tatapan tajam dan raut wajah dinginnya. Ia tak percaya bisa melihatnya secara langsung
"mem-membantu? Maksud Tuan?" tanya Desi gugup
Daniel berjalan kedepan memberikan sebuah amplop.
"ba-bagaimana bisa?" tanya Desi dengan perasaan gugup dan bingung
"kamu tidak perlu tau, yang terpenting kau ingin membantu temanmu bukan?" ucap Daniel yang berdiri di belakang Adrian
"mm, a-apa yang harus saya lakukan" ucap Desi yang mulai tenang.
"ikuti saja" perintah Daniel.
"ba-baik Tuan" ucap Desi mengiyakan walaupun ada keraguan yang ia rasakan.
Bar Tripad
Esok harinya, Elina terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia mempersiapkan dirinya untuk kuliah, mencoba mengalihkan pikiran dari kecemasan tentang pekerjaan barunya. Namun, bayangan tentang neneknya, kebutuhan biaya operasi yang mendesak, dan pria misterius bernama Adrian terus menghantui benaknya. Setelah selesai bersiap, Elina berangkat ke kampus dengan tekad baru. Ia tahu, hidupnya akan berubah setelah malam ini, tapi ia siap menghadapi semuanya.