Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan Belas
“M—Mas?”
“Kenapa kamu memiliki hubungan dengan banyak laki-laki?”
“H—hubungan dengan banyak laki-laki yang bagaimana? Memangnya tadi apa yang Mas lihat? Yakin sudah lihat isinya? Yakin, Mas sudah lihat balasanku ke mereka?”
“Yang naksir aku memang banyak, Mas. Namun dari semuanya, hanya mas Haris yang aku respons. Itu saja, aku meresponnya biasa saja!”
“Jadi kamu lebih memilih Haris ketimbang aku? Bagimu, Haris lebih baik dari aku? Dan kamu akan meninggalkanku demi dia?”
“Aku enggak pernah bilang gitu, Mas!”
“Kalau kamu maunya begitu, aku siap ceraikan kamu biar kamu puas dengan Haris!”
“M–Mas, ... kontrol emosi Mas. Mas enggak boleh ngomong gitu! Ngapain Mas suruh-suruh aku dengan mas Haris kalau aku maunya sama Mas! Aku tetap maunya sama Mas, apa pun yang terjadi! Mau Mas mengusirku, Mau Mas memukuliku hingga semua tulangku remuk! Aku maunya hanya sama Mas!”
Kenyataan Dita yang sudah sampai menangis meraung-raung, membuat Langit bingung. “Kenapa Dita menangis? Apa yang terjadi?”
Langit tidak merasa telah melukai istrinya, walau itu baru dari kata-kata. Tadi, semua kata-kata yang ia berikan kepada Dita, hanya bagian dari emosinya, dan ia tak bisa mengontrolnya.
“Dit ...? Kamu kenapa?” lirih Langit yang sudah menghampiri Dita. Ia meraih kedua sisi wajah Dita menggunakan kedua tangannya. Di pinggir tempat tidur, Dita masih tersedu-sedu dan tak kunjung menatapnya karena Dita terus menunduk.
Niat hati menjalani pernikahan untuk menyembuhkan luka di hatinya yang selalu menganga akibat hinaan demi hinaan yang ia dapatkan dari sang ibu. Nyatanya, pernikahan yang ia jalani justru tak kalah toxic. Cinta dan benci mengungkung hubungannya dan Langit. Pria yang telah menikahinya itu masih kesulitan mengontrol emosi. Cerai dan KDRT selalu menjadi kata-kata pamungkas di setiap Langit emosi kepadanya.
“Mas jangan marah-marah terus. Aku hanya sayang Mas. Andai Mas beneran menceraikan aku, ... aku sudah enggak mau menikah lagi!” ucap Dita sambil menyeka air matanya menggunakan jemari tangannya, walau Langit tengah melakukannya juga.
“Ngapain aku menceraikan kamu, sementara aku enggak bisa hidup tanpa kamu? Enggak, ... aku enggak akan pernah melakukannya. Hanya maut yang bisa memisahkan kita. Itu pun setelah kita sangat tua, setelah kita melepas buyut-buyut kita berumah tangga!”
Sangat manis. Belaian, kecupan, serta impian Langit untuk hubungan mereka benar-benar manis. Namun, apakah benar yang akan terjadi sesuai rencana? Bagaimana jika Dita ikut mengalami gangguan mental juga karena selain Langit terus kasar, ibunya juga tak kalah kejam?
“Aku bisa! Aku harus kuat karena ini ujian rumah tangga kami!” batin Dita menyemangati dirinya sendiri.
“Ayo kita tidur. Mulai sekarang kita enggak perlu hape lagi. Aku simpan, Mas enggak usah cari. Mas butuh apa, Mas mau apa, andai aku sampai ketiduran, bangunin saja!” tegas Dita yang kemudian buru-buru memungut ponselnya yang remuk maupun ponsel Langit yang hanya terkapar di lantai.
Setelah Dita menyimpan ponsel mereka di laci pakaian, kemudian kembali kepadanya, Langit membantunya duduk. Alih-alih ikut duduk di sebelahnya, Langit justru bersimpuh kemudian mengabsen kedua kaki Dita dengan bibirnya. Selama Langit melakukannya, bibirnya juga terus merapal kata maaf.
“Mas, ... bisa, ya? Hanya Mas yang bisa menolong Mas! Mas harus bahagia! Mas jangan emosi-emosi lagi. Sumpah demi apa pun, aku enggak akan meninggalkan Mas. Mas suamiku, dan aku akan selalu bersama Mas! Mas harus bahagia!” ucap Dita sesaat setelah ia membingkai wajah Langit menggunakan kedua tangannya.
Langit menatap patuh kepada Dita. Ia juga jujur tetap kesulitan tidur, meski ia sudah melakukannya.
“Beri aku obatnya lagi!” mohon Langit.
Dita langsung buru-buru menggeleng. “Enggak boleh! Dokter bilang, obatnya harus sesuai jadwal apa pun yang terjadi!” Dita juga menegaskan, Langit akan mendapatkan dokter tambahan. Dokter tersebut bukan orang lain, melainkan diri Langit sendiri.
“Mas, kabarnya, laki-laki akan bisa tidur dengan sangat nyaman setelah berhubungan dan berhasil pelepasan sempurna. Mas mau coba?” tanya Dita.
Segala cara akan Dita coba, asal masih masuk akal. Demi bisa membuat suaminya sembuh. Agar mereka juga menjadi pasangan layaknya pasangan normal pada kenyataan. Agar mereka bisa menjadi pasangan seperti orang tua Langit.
“Sebenarnya aku juga pengin, beneran pengin bukan buat tujuan lain. Lagian, kita juga udah pernah, dan pas itu, aku tetap enggak tidur.” Langit jujur sambil tetap bersimpuh di hadapan Dita. Selain itu, ia juga menatap Dita yang masih menahan kedua sisi wajahnya, penuh keteduhan.
“Kenapa Mas enggak bilang? Andai pun aku sudah tidur, Mas bisa mulai dulu. Nanti aku pasti bisa mengimbangi! Sementara yang waktu itu, bisa jadi efek ... kita melakukannya kurang lama. Jadi, andai sudah, ayo lanjut minimal dua kali!” yakin Dita yang sebenarnya sudah sangat ngantuk.
Langit sama sekali tetap tidak merasa mengantuk, sedangkan Dita sudah berulang kali menguap. Tubuh Dita meriang parah, tapi Dita tetap berusaha.
Dua ronde di atas ranjang, tetap tak membuat Langit mengantuk. Hingga Dita memutuskan untuk mengajak Langit berendam.
“Sudah kamu tidur saja. Jalan saja kamu sudah enggak kuat,” ucap Langit merengkuh tubuh Dita dan hendak memboyongnya pergi dari bak rendam yang istrinya itu isi dengan air hangat.
“Aku enggak akan biarin Mas enggak tidur sendirian. Mas masuk dulu, nanti aku nyusul!” ucap Dita yang masuk ke ruang sebelah karena kebelet pipis.
Ketika Dita kembali kepada Langit yang memang menunggunya. Suaminya itu dengan sangat mudah membuatnya masuk ke dalam bak kemudian memangkunya, padahal Langit dalam keadaan duduk.
Langit mendekap Dita penuh sayang. Takut istrinya yang juga tak memakai kain apa pun untuk menutupi tubuh layaknya dirinya, kedinginan.
“Cukup ingat ini! Wajib ingat terus! Awas saja kalau aku sampai kalah dari Agnia! Aku bersumpah akan membuat Mas tergila-gila kepadaku, kemudian membuat Mas menyesal!” tegas Dita lirih, tapi marah-marah kepada Langit. Termasuk tatapannya kali ini juga dipenuhi kemarahan kepada sang suami.
“Bibirmu kalau ngomong!” manis Langit yang jadi tersipu mengawasi wajah sang istri. Sedari mereka melakukan hubungan suami istri di ranjang, pipi Dita tak hentinya bersemu.
Tak lama setelah bibir Langit menempel sekaligus menghisap leher kanannya, Dita yang sudah makin mengantuk memutuskan untuk melakukan sesi tanya jawab.
“Mas, dari semua bagian di tubuh apalagi wajah aku. Mas paling suka yang mana?” Dita sampai menoleh hanya agar bisa menatap wajah Langit yang ada di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, Langit pun berkata, “Hidung!” Namun, jawabannya itu langsung membuat sang istri memberinya tampang ngambek.
“Kok hidung?”
“Iya ....”
“Lah, ... Mas bilang, hidungku pesek?”
“Justru karena hidung kamu pesek, aku suka. Hidung pesek kan enggak boros oksigen. Bayangin andai kamu juga mancung kayak aku. Kita selalu berebut oksigen, kan?”
“Oh, ... jadi menurut Mas. Orang berhidung pesek ibarat pahlawan tanpa tanda jasa, ya?”
Untuk pertama kalinya, Dita menyaksikan suaminya tertawa lepas selepas-lepasnya dan itu dalam waktu yang sangat lama. Tawa yang terus berlanjut dan juga menular kepada mereka.
“Fix, kami beneran sudah gila. Hanya kami yang sudah mau subuh, masih kebingungan gimana caranya agar kami bisa ngantuk. Hebatnya, meski rasanya sudah enggak karuan, kami masih bisa tertawa. Jadi ada saja yang jadi bahan candaan!” batin Dita.