Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 09
...***...
Ketika Kaal Vairav mengatakan bahwa lelaki itu tidak tahu bagaimana sebuah hubungan resmi berjalan, Melody rasa itu bukan sebuah bualan semata karena kenyataanya seperti itu, Kaal tidak pernah berkomitmen dengan siapapun sebelumnya, ia hanya menjalani hidupnya dengan bebas, saat lelaki itu memutuskan berkomitmen dengannya maka inilah yang terjadi seperti sekarang ini... yang Kaal lakukan hanyalah membuang waktu ke klubnya untuk tinggal di apartemen—menonton televisi, kaki berbaring memanjang ke meja, dan kepala terkulai di lengan sofa. Tidak ada upaya lebih untuk membangun hubungan yang sebelumnya dimaksud.
Untuk itu, Melody Senja bertindak sedikit lebih aktif, ia berinisiatif mendekati lelaki itu dengan mengambil tempat untuk duduk di sebelah Kaal, membuat lelaki tampan itu berjengit terkejut seraya tatapan mencoba menerka.
Membalas tatapan tersebut, Melody tersenyum simpul. Ia bersiap melancarkan salah satu trik yang selalu berhasil melunakkan suasana yang kaku.
Menghadirkan nostalgia.
"Kaal ingatkah kau ketika kita masih kecil," Melody memusatkan penglihatan ke Kaal
"Kau biasa memberikanku coklat bar tanpa aku tau apa alasanmu, kau ingat?"
Geming, Kaal tidak memberikan reaksi.
"Hingga entah berapa lama, aku selalu berusaha memecahkan teka-teki itu setiap kali kau datang dan menyodorkan coklat bar yang banyak kepadaku. Aku pikir—"
Melody tergelak, mata menerawang memutar adegan lama, "Kau hanya ingin menghabiskan uang sakumu."
Suasana tenang berputar, terhisap pada poros hingga surut tidak bersisa.
Ruangan itu tidak hampa, namun entah mengapa ada senyawa yang perlahan mencekik ketika Melody melanjutkan
"Tetapi ketika aku tidak sengaja melihat Savin merengek untuk dibelikan coklat yang sama, sedangkan uang sakumu telah habis, kemudian kau datang padaku dan meminta coklat milikku dengan janji bertubi bahwa kau akan membelikanku dua kotak sekaligus untuk esok hari, dari situ aku baru mengerti alasanmu."
Melody merapatkan bibir, menatap Kaal yang mencakar-cakar punggung tangannya sendiri—sebuah pertanda bahwa lelaki itu sedang berusaha meredam sesuatu.
"Itu," sambung Melody
"adalah cara kau mengungkapkan rasa sayang."
Kaal tertegun di tempat duduknya. Melody tahu lelaki itu berusaha membuat suaranya terdengar mengancam. Akan tetapi apa yang Melody dengar hanya lirih
"Kaal aku tidak tahu kenapa aku menceritakan ini—"
"Karena kesan semacam itu masih tertinggal," potong Melody.
"Karena kesan semacam itu masih mampu membuatku mengingat mengenai betapa pedulinya Kaal kecil yang selalu menghampiriku dengan sebatang coklat setiap kali aku tidak sengaja melihat kemasannya di supermarket. Dan, karena kesan semacam itu membuatku yakin," Melody menyentuh jari telunjuk Kaal dengan telunjuknya
"Bahwa kau, entah seberapa dangkal itu, pernah menyayangiku."
Kata pernah dalam susunan kalimat tertentu, benar-benar memuakkan. Melody berharap ia dapat menghapusnya.
Oleh karena itu, ia menarik keluar seluruh keberaniannya untuk menyuarakan pertanyaan selanjutnya.
"Atau masihkah? Rasa itu... meski hanya...."
Kaal menarik tangannya terlalu terburu-buru, lelaki itu bersiap untuk meninggalkan sofa namun Melody menahannya dengan sigap.
"Sedikit saja, Kaal." Ucapnya putus asa, tubuh bergeser sebelum ia meletakkan kepala di dada lelaki yang masih membisu
"Masihkah?"
Debar di balik rusuk Kaal terdengar bergemuruh dan Melody menanti Kaal angkat bicara.
Namun alih-alih sebuah suara, ia justru merasakan tangan dingin merengkuh kedua pipinya.
Pandangan mereka bersambut.
Melody terlihat menelan ludah seraya meraba perubahan situasi yang baru saja terjadi.
Lelaki tampan di hadapannya mendadak mencondongkan tubuh, wajah yang setengah miring mendekat ragu.
Kemudian, bibir mereka bersentuhan.
Dan Kaal segera memagut. Lidahnya menelusup, menjilati kelembutan yang berada di antara geligi mereka. Tangan lelaki itu lalu mendorong bahu Melody hingga kini gadis itu terbaring.
Melody terperangkap dalam himpitan kaki yang mengurung tubuh mungilnya.
Masih di sela ciuman yang belum usai, ia menangkap Kaal berbisik. Mengungkapkan sesuatu paling tidak rasional yang tidak pernah ia duga akan keluar dari mulut lelaki itu.
"Mungkin itu masih ada, atau mungkin saja tidak. Aku adalah pembohong yang handal dan kau boleh menebaknya"
Melody Senja memastikan bahwa ia telah membuat suatu kesalahan buruk; membiarkan hatinya jatuh kepada Kaal Vairav. Tetapi ternyata hal itu tidak membuat Melody jera untuk membuat kesalahan yang lebih besar.
Memaksakan benaknya untuk percaya bahwa perasaan Kaal padanya belum seutuhnya sirna.
...***...
Pengharapan kecil ibarat lentera pada jalan gelap gulita yang nyalanya menenangkan dan memberikan sebuah harapan baru, seolah kita bisa menemukan tujuan jika kita benar-benar berusaha menggapainya
Lewat satu pengharapan yang Melody dapatkan dari Kaal kemarin, ia meningkatkan presistensi.
Sambil memeluk bantal ke dada, Melody membuka pintu ruang tidur Kaal tanpa permisi. Membuat lelaki itu sedikit terlonjak hingga ke ujung ranjang.
Lalu tanpa permintaan maaf, ia berujar tegas—hampir seperti memerintah
"Kaal, aku ingin tidur denganmu, bolehkah?"
Kelopak mata Kaal beberapa kali berkedip, lalu menggangguk kaku, tarikan napas lelaki itu sekilas terdengar tidak stabil.
Sejujurnya, Melody benci Kaal yang seperti ini. Kepercayaan diri lelaki itu seolah memiliki tuas tersendiri yang harus diaktifkan secara manual.
Terkadang, Melody dapat menangkap aura Kaal Vairav yang sendiri dan kesepian. Namun pada lain hari lelaki itu berubah menjadi manusia brengsek yang sanggup menciptakan kemelut besar yang bertahan begitu lama.
Tidak sabar menunggu tanggapan, gadis itu akhirnya mengambil inisiatif. Ia berderap cepat sebelum berbaring telentang di atas ranjang Kaal, menyisakan jarak cukup lebar di antara mereka.
Keduanya lantas sama-sama memandangi langit-langit ruangan yang redup tanpa pertukaran kata.
Hening membengkak, menginterverensi pikiran yang seharusnya kosong menjadi berkerumun asumsi-asumsi panjang tanpa klausa. Pertanyaan yang muncul mulai melenceng, dan Melody memutuskan untuk mengungkapkan salah satunya.
"Bagaimana rasanya?"
Masih menatap ke atas, Kaal menimpali
"Apa?"
"Tidak jatuh cinta,"
Melody membenahi bantal sebagai bentuk distraksi dari sakit ketika melanjutkan
"Entahlah, aku hanya tidur dengan beberapa orang tanpa cinta, aku sudah lama sekali tidak merasakan cinta."
Kali ini, Kaal menoleh. Tubuh sepenuhnya menghadap Melody dengan lengan terisisip di kepala. Lelaki itu terlihat mencari jawaban, namun apa yang dikemukakan justru adalah sebuah pengalih.
"Sejak kapan Melody?"
Melody menyahut dengan kata yang sama persis
"Apa?"
"Sejak kapan kau jatuh cinta padaku?"
Ada jeda tidak teraba yang tidak akan ditemukan pada pertanyaaan itu jika Melody tidak benar-benar memperhatikan—seakan Kaal takut ia terdengar terlalu percaya diri ketika mengatakannya.
Padahal, seberapapun Melody ingkar, fakta itu tidak akan berubah fiktif.
Kaal memang memilikinya—raga dan jiwa.
Mengangkat sudut bibir Melody akhirnya merespon, "Entahlah Kaal"
Itu, juga fakta.
Sebab cinta lebih sering datang diam-diam.
Seperti hembus angin yang membelai sela-sela jari tetapi terus kau abaikan. Kau tidak akan menyadarinya sampai ia berulah—memporak-porandakan apa yang ada di sekitarmu layaknya anak kecil yang bertingkah demi mendapat perhatian.
Maka tertawa sumbang Melody menyambung, "Aku juga tidak tahu sejak kapan."
Gadis cantik itu melempar pandangan ke arah Kaal kemudian bergeser lebih dekat dengan lelaki yang tidak bergerak hingga napas mereka berpadu, mengejar, dan kelopak mata turut berkedip pelan.
Tanpa ragu, Melody mencuri ciuman dari bibir Kaal.
Ia dapat merasakan tubuh Kaal sedikit menegang, namun sudah.
Hanya sebentar, sebelum segalanya berubah terlalu intim—lidah menari, gigi saling menarik bibir, lalu basah, hangat yang beranjak panas, dan semakin panas seiring dengan pagutan yang serampangan.
Tangan Kaal tiba-tiba menelusup masuk ke balik bajunya, mencengkeram pinggang gadis itu kuat untuk memusnahkan jarak yang ada diantara mereka.
Kepalan tangan Melody yang mengusutkan lengan baju Kaal menguat. Ia membalas ciuman lelaki yang seolah tengah menikmati bibirnya.
Selepas desah tidak sengaja lolos dari mulut Melody dan sesuatu dalam diri Kaal mendadak berubah.
Lelaki itu menyudahi ciuman mereka. Menjilat bibir kikuk dengan raut wajah penuh penyesalan.
Melody yakin ini adalah saat dimana Kaal berpikir untuk pergi.
Tetapi entah mengapa, setelah melihat matanya, lelaki itu justru memilih tinggal.
Mungkin ada sendu bernaung di sana. Mungkin Kaal hanya merasa iba padanya sehingga kedua lengannya mendekap tubuh gadis itu dengan kuat.
Namun saat Kaal mengecup keningnya dan berbisik...
"Tidurlah..."
Haru biru merebak di dada Melody, menyerbu tiap inci hingga ia kesulitan bernapas. Ia menguburkan kepalanya di pelukan Kaal, lalu tersenyum kecil.
Lentera harapan didadanya kian berkobar terang, pertanda sebuah harapan besar yang menjadi keberuntungan baginya, setidaknya untuk saat ini ia bisa merasakan Kaal nyaman berada didekatnya....
...TBC...