"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bimbang
Di rumah milik kakek Sudibyo. Meja makan yang sangat besar itu, kini hanya di tempati oleh Liana dan pria tua yang selalu tampak berwibawa itu. Mereka sedang menyantap sarapan buatan juru masak yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun di dalam istana milik kakek Sudibyo.
"Kenapa sedikit sekali makannya...? Tidak enak makanannya? Atau kamu sedang kurang enak badan?" tanya kakek Sudibyo, ketika Liana sudah menyelesaikan sarapannya yang hanya beberapa suap.
Liana menaruh sendok dan garpunya sebelum menjawab. Melihat hal itu, kakek Sudibyo pun tersenyum.
"Sudah cukup kok, kek." jawab Liana singkat.
"Hari ini ada kuliah?" tanya kakek lagi.
"Iya, kek. Ada dua mata kuliah hari ini." jawab Liana.
"Mau diantar atau teman-teman kamu itu yang menjemput ke sini?"
"Memangnya boleh mereka kemari?" Liana balik bertanya.
"Ya bolehlah..., bebas kalau mereka mau ke sini. Selama kamu belum menikah." kakek tersenyum hangat pada Liana.
"Me..., menikah...?!" sahut Liana yang jelas sangat terkejut.
"Iya. Kalau sudah menikah nanti, apapun itu yang akan dilakukan, seorang istri harus meminta izin pada suaminya." tutur kakek.
"Kenapa kakek tiba-tiba bahas menikah?" Liana mulai mengorek informasi.
"Hahahaaa, lupakan saja." kakek mengibas-ngibaskan tangannya sambil tertawa.
"Nggak nyaman sekali. Apa aku tanya saja ya soal baju-baju di kamar itu?"
"Kamu kenapa melamun?" tanya kakek.
"Anu, kek. Soal yang itu...." Liana tampak bimbang.
"Soal menikah?!" tebak kakek.
Liana memilih diam saat sang kakek menyahuti ucapannya. Meski sebenarnya bukan pertanyaan itu yang akan dia ajukan, tapi Liana merasa ucapan kakek itu masih ada keterkaitannya dengan kondisi ruang wardrobe di kamar yang dia tempati.
"Kamu tenang saja, bukan kakek kok yang akan jadi suami kamu. Kamu takut, yaa...?" kakek Sudibyo menggoda Liana.
"Tunggu, kek!!" sahut Liana. "Maksudnya aku dibawa kemari untuk menikah, begitukah?!" Liana menatap mata pria tua itu untuk menuntut penjelasan lebih detail.
"Memangnya ayahmu tidak memberitahumu?" bukannya menjawab pertanyaan dari Liana, si kakek justru melempar pertanyaan lain pada gadis itu.
Liana menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Bahkan aku tidak ada di samping ayah di saat terakhirnya..." ujar Liana dengan lirih.
"Maafkan, kakek, nak. Kakek tidak bermaksud mengingatkan kamu dengan momen itu." tentu saja kakek merasa tak enak hati.
Pagi itu kakek Sudibyo pun menjelaskan semuanya kepada Liana. Bahwa almarhum sang ayah tidak keberatan jika Liana menikah dengan cucu kakek Sudibyo. Karena pak Gani sangat yakin, jika di keluarga pak Sudibyo, putrinya akan terjamin segalanya. Mulai dari kebutuhan, keamanannya, hingga kasih sayang untuknya.
"Tentu saja, semua juga tergantung padamu, nak. Keputusan ada di tangan kamu." kata kakek mengakhiri ceritanya.
"Kalau memang keputusan ada di tanganku, kenapa di kamar itu sudah ada semua perlengkapan lelaki?" tanya Liana tanpa ada keraguan lagi.
"Haaahh...!" kakek menghembuskan nafasnya dengan pelan.
"Sebenarnya itu kamar yang biasa Haris tempati. Dan kakek pikir kamar itu cocok buat kamu." begitulah alasan si kakek.
"Kakek tidak bermaksud menjodohkanku dengan mas Haris kan?!" sahut Liana penuh rasa curiga.
"Memangnya kenapa dengan Haris? Bukankah dia sangat tampan, hem...?!" jawab kakek.
Balasan kakek Sudibyo tentu saja tidak memuaskan bagi Liana. Sehingga Liana makin yakin dengan pemikirannya. Bahwa dia akan dinikahkan dengan Haris.
Sejujurnya Liana pun tidak dapat mengatakan kalau Haris itu tidak tampan. Karena itu sungguh kebohongan yang nyata. Tapi tetap saja Liana tidak setuju jika dia harus menikah, dengan siapapun dia tidak akan mau. Karena dia belum siap untuk menjadi seorang istri.
"Aku rasa sebaiknya aku kembali ke rumah saja, kek. Aku merasa kurang nyaman di sini." begitu kata Liana.
"Kamu yakin? Itu sangat beresiko, nak. Bahaya untukmu. Perempuan itu bisa kembali kapan saja untuk balas dendam. Karena tidak mungkin dia balas sakit hatinya pada kakek, jadi kamu pasti yang akan jadi sasarannya." tutur kakek mengingatkan Liana.
"Kakek tenang saja, aku bisa jaga diri." balas Liana.
Kakek pun hanya bisa mendengus pasrah. Biar bagaimana juga, dia tidak dapat memaksa Liana. Karena kakek bisa melihat, bahwa Liana tidak menghendaki pernikahan itu.
"Baiklah, semua terserah padamu. Tapi kakek harus tetap mengirim orang ke sana untuk mengawasimu 24 jam. Ini menyangkut amanah yang ayahmu berikan pada kakek."
"Aku ke atas dulu, kek..."
Liana minta izin pergi, karena dia tidak ingin membahas lagi soal amanah ayahnya. Yang nantinya justru akan membuat hatinya bimbang dalam mengambil keputusan.
Ada gurat kekecewaan pada wajah keriput itu. Dia terus memandangi punggung Liana yang berlalu dari hadapannya, menuju ke kamarnya.
......................
"Kamu mau pulang?! Kenapa, Na...?!" tanya Nunik setelah mendengar keputusan Liana.
"Kakek itu mau menikahkan aku sama cucunya. Benar kan dugaanku, tidak mungkin ada orang asing setulus itu..." jawab Liana.
"Andai itu adalah permintaan om Gani, gimana? Kamu harusnya tanyakan dulu lebih jelas pada kakek itu...!" balas Nunik. "Jangan asal ambil keputusan, Liana...!!" imbuh Nunik.
"Kamu kok jadi seolah menyalahkan aku sih?!" protes Liana.
"Bukannya gitu, Na..." sahut Nunik.
"Kamu kan yang bilang semua masih berhubungan dengan amanah om Gani, ayah kamu. Mungkin kakek berpikir, dengan menikahkan kamu dengan cucunya, kakek bisa menjalankan amanah ayah kamu dengan baik. Apalagi kakek itu kan sudah tua. Mau menjaga kamu sampai kapan coba? Karena nggak mungkin juga kakek akan reinkarnasi dan menjadi jodohmu yang akan melindungimu sepanjang waktu hingga akhir hayat kamu. Kamu kira ini cerita fantasi...!" celoteh Nunik panjang lebar.
Liana memang sempat memikirkan hal yang sama dengan Nunik. Tapi egonya tetap kekeh menolak pernikahan itu, karena dia ingin fokus dengan kuliahnya. Dan lagi dia tidak terima orang asing mengatur masa depannya, apalagi yang berhubungan dengan pernikahan. Tapi setelah mendengar ucapan Nunik, Liana kembali dibuat bimbang. Hati dan otaknya kembali tidak singkron.
"Kalau seandainya yang dibilang Nunik itu benar, itu artinya aku sudah bersalah pada ayah dan kakek. Mereka berusaha melindungiku, tapi justru akunya yang menolak. Aduuuh..., jadi bingung aku harus bagaimana?"
"Kenapa melamun? Omonganku ada benarnya kan...?!" kata Nunik lagi dengan penuh percaya diri.
"Iya, iya..., si paling benar...!" sahut Liana.
"Jadi pikirkan lagi, jangan asal ambil keputusan. Apalagi dalam kondisi otak yang lagi hot-hotnya." ujarnya.
"Injeeeh..., bu Nunik...!!" balas Liana menggoda Nunik.
"Hahahaaa..., bisa saja kamu." kata Nunik. "Jadi gimana ini? Mau pulang ke rumah kakek kaya itu apa ke rumahmu? Kalau saranku jangan ke rumahmu dulu, aku rasa kakek itu ada benarnya. Ibu tirimu yang matre itu bisa saja sedang memata-mataimu saat ini."
"Dia yang tanya, dia sendiri yang jawab..." gerutu Liana setelah mendengar Nunik bicara.
"Damar, tuh!" tunjuk Nunik.
Dari kejauhan Damar terlihat melambaikan tangannya.
"Jadi pulang bareng?" tanya Damar.
Liana menatap Nunik, Nunik mengangguk seakan mengerti maksud tatapan Liana.
"Aku ada yang harus diselesaikan, Mar. Kalian berdua saja ya. Lagian jemputanku sudah menunggu di depan." balas Liana.
"Oh..." Damar tampak sedikit kecewa.
"Liana...!" Damar menarik tangan Liana.
Liana pun mengurungkan diri untuk melangkah pergi.
"Kamu baik-baik saja kan di sana?" tanya Damar yang sangat mengkhawatirkan Liana.
Liana melepas tangan Damar, lalu tersenyum manis. Sementara Damar menatap sedih tangannya yang baru saja dilepaskan Liana.
"Aku baik-baik saja, lihatlah. Jangan terlalu dipikirkan." jawab Liana. "Oh iya, kalau kalian mau main ke sana bilang dulu ya. Biar aku minta izin. Kakek sih mengizinkan ya, tapi tetap saja aku nggak mau lancang mengizinkan kalian begitu saja."
"Oke, siap!" Nunik mengacungkan ibu jarinya.
"Aku balik duluan, ya." pamit Liana.
Damar mengangguk saja, begitu juga dengan Nunik.
"Sudahlah..., dia baik-baik saja." ujar Nunik pada Damar.
"Yuk, cabut!" balas Damar dengan nada datar.
"Bagaimana ya si Damar, kalau sampai Liana benar-benar menikah. Sekarang saja sudah kek begitu reaksinya." batin Nunik sambil menatap Damar yang berjalan di depannya.
......................