Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Hidup dan Mati
Tembakan yang baru saja dilepaskan menggema dalam ruangan, menghantam udara yang seketika terasa tegang. Waktu seolah berhenti, dan seluruh tubuh Alia menjadi kaku. Matanya terpaku pada sosok Rio yang tergeletak tak bergerak di lantai, darah mulai merembes dari sisi tubuhnya yang tertembak. Alia tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi.
“Rio!” jerit Alia, mencoba melangkah mendekat, tetapi Rendra menarik lengannya dengan paksa, menyadari bahaya yang belum selesai.
“Kita harus pergi sekarang!” kata Rendra tegas, suaranya terdengar penuh kepanikan. “Polisi akan menangkap kita kalau kita nggak segera keluar dari sini!”
Tapi Alia tidak bisa berpaling dari Rio. Matanya berkaca-kaca, hatinya diliputi oleh rasa takut dan putus asa yang begitu besar. Dia merasa tak berdaya. Rio terbaring di depannya, tak ada tanda-tanda dia masih hidup, dan Alia merasa seolah napasnya ikut terhenti.
“Alia, ayo!” Rendra mendesak lebih keras, kali ini hampir berteriak. “Kita nggak punya waktu lagi! Kita harus keluar dari sini!”
Polisi lainnya bergerak mendekat, senjata-senjata mereka masih diarahkan ke segala arah. Alia tahu bahwa dia harus membuat keputusan cepat—tetapi meninggalkan Rio di belakang adalah sesuatu yang tak bisa dia terima. Bagaimana mungkin dia bisa pergi tanpa memastikan bahwa Rio baik-baik saja?
“Alia, kalau kamu nggak bergerak sekarang, kamu juga akan tertangkap,” Rendra kembali menariknya, lebih kuat kali ini. “Aku janji, kita akan cari cara untuk bantu Rio, tapi kita nggak bisa di sini!”
Alia menoleh ke arah Rendra, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi... Rio... dia...”
“Kita nggak bisa bantu Rio kalau kita tertangkap juga,” desak Rendra, suaranya lebih lembut namun tegas. “Percayalah, kita harus keluar dulu.”
Dengan berat hati, Alia akhirnya mengangguk, walau rasa sakit dan perasaan bersalah melingkupi seluruh dirinya. Dia mengikuti Rendra menuju pintu belakang gedung, meninggalkan Rio yang masih tergeletak di lantai, tak bergerak. Langkah-langkah mereka semakin cepat, sementara suara sirene dan langkah kaki polisi semakin dekat dari segala arah.
Aldo, yang sedari tadi berada di dekat jendela, segera bergabung dengan mereka, raut wajahnya menampilkan kepanikan yang sama. “Gue nemuin jalan keluar,” katanya buru-buru. “Tapi kita harus cepet sebelum polisi ngepung seluruh gedung ini.”
Tanpa banyak bicara, mereka bertiga melesat keluar dari pintu belakang, menyusuri lorong sempit yang gelap. Udara malam yang dingin menerpa wajah mereka, tetapi rasa takut membuat langkah mereka semakin cepat. Alia terus menoleh ke belakang, hatinya masih tertinggal bersama Rio. Dia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang sedang terjadi pada pemuda itu. Apakah dia masih hidup? Apakah dia akan selamat?
“Alia, fokus! Kita hampir sampai di tempat aman,” kata Rendra, melihat Alia yang mulai melambat karena kebingungannya.
Namun, Alia tidak bisa benar-benar tenang. Bayangan Rio yang jatuh masih menghantuinya, seolah setiap langkah yang diambilnya semakin membawanya menjauh dari orang yang paling dia ingin selamatkan. Tetapi apa yang bisa dia lakukan? Situasi ini sudah terlalu jauh lepas kendali.
Ketika mereka akhirnya keluar dari lorong itu, sebuah mobil hitam sudah menunggu di ujung jalan kecil tersebut. Aldo melompat ke kursi depan, sementara Rendra dan Alia masuk ke bagian belakang. “Ayo, cepat!” teriak Aldo ke arah sopir. Tanpa banyak tanya, sopir itu langsung menginjak gas, membawa mereka menjauh dari gedung dan polisi yang sudah mengepung tempat tersebut.
Di dalam mobil, Alia masih terdiam, tatapannya kosong. Dia masih merasakan berat di dadanya, perasaan bersalah yang menggerogoti. Rendra melihatnya dengan khawatir.
“Alia, kita akan kembali untuk Rio, tapi untuk saat ini, kita harus pastikan dulu kita aman,” kata Rendra mencoba menenangkannya. “Gue yakin Rio bisa bertahan. Dia kuat.”
Tapi kata-kata itu tidak banyak membantu. Alia tahu betapa seriusnya luka yang dialami Rio. Dia bisa merasakan keputusasaan menyelimutinya, seolah harapan untuk melihat Rio hidup kembali semakin tipis.
Di tempat lain, Rio terbaring di lantai dengan napas yang terputus-putus. Kesakitan merambat ke seluruh tubuhnya. Darah terus keluar dari lukanya, dan pandangannya mulai kabur. Dia tahu waktu sedang berlari melawannya, dan jika tidak ada yang datang membantunya, ini bisa menjadi akhir dari segalanya.
Rio mencoba menggerakkan tangannya, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Pandangannya mulai memudar, pikirannya berkelana di antara sadar dan tak sadar. Saat itu, di tengah kabut pikirannya, hanya ada satu sosok yang memenuhi pikirannya: Alia. Wajahnya, senyumnya, dan setiap kenangan yang mereka miliki bersama—semuanya muncul satu per satu di benaknya.
“Alia...” bisik Rio lemah, sebelum akhirnya segalanya berubah menjadi gelap.
Mobil yang membawa Alia, Rendra, dan Aldo terus melaju kencang, meninggalkan keramaian dan kejaran polisi di belakang. Di dalam, suasana tegang. Alia masih tenggelam dalam pikirannya, sementara Rendra dan Aldo saling bertukar pandangan khawatir.
“Kita harus cari tempat untuk bersembunyi sementara,” kata Aldo. “Polisi pasti masih nyari kita.”
Rendra mengangguk setuju. “Tapi kita juga harus cari tahu apa yang terjadi sama Rio. Gue nggak bisa tenang sampai kita tahu dia selamat atau nggak.”
Alia hanya mendengarkan dengan setengah hati. Pikirannya masih melayang pada Rio. Dia tahu, mereka tidak bisa kembali sekarang. Tetapi apakah itu berarti dia harus menyerah? Tidak, dia tidak akan membiarkan Rio sendirian.
Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak tak terawat. “Kita bisa istirahat di sini untuk sementara,” kata Aldo, sambil membuka pintu dan keluar.
Mereka semua masuk ke dalam rumah tersebut, suasana sepi menyambut mereka. Rendra segera mengambil posisi di dekat jendela, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Alia duduk di kursi, masih memikirkan Rio. Dia tidak bisa diam begitu saja. Ada sesuatu yang harus dia lakukan.
“Apa kita nggak bisa balik dan bantu Rio?” tanya Alia akhirnya, suaranya penuh rasa putus asa.
Rendra menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang penuh belas kasih. “Alia, kita nggak bisa ambil risiko sekarang. Polisi pasti masih berjaga-jaga di sana.”
“Tapi kita nggak tahu dia selamat atau nggak!” desak Alia, suaranya meninggi. “Aku nggak bisa biarin dia begitu aja!”
Rendra terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas. “Gue ngerti, Alia. Gue juga nggak mau ninggalin Rio. Tapi kita harus main aman sekarang. Kalau kita tertangkap, nggak akan ada yang bisa bantu dia.”
Perasaan tidak berdaya kembali menghantui Alia. Dia tahu Rendra benar, tapi hatinya terus menolak untuk diam. Dia harus menemukan cara untuk kembali dan menyelamatkan Rio—dengan atau tanpa bantuan mereka.
Namun sebelum dia bisa membuat keputusan, suara derap langkah kaki tiba-tiba terdengar di luar rumah. Aldo yang sedang duduk di sudut ruangan langsung bangkit berdiri dengan cepat.
“Siapa itu?” tanya Aldo, suaranya tegang.
Rendra mendekati jendela, mengintip ke luar. Wajahnya segera memucat. “Mereka menemukan kita...”
Alia merasa napasnya terhenti. Apakah ini akhirnya?
Langkah kaki di luar rumah semakin dekat, menandakan bahwa bahaya semakin nyata. Apakah mereka akan tertangkap? Ataukah ada cara bagi Alia untuk meloloskan diri dan kembali menyelamatkan Rio?