Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Keadaan semakin memanas meski pihak Narendra tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya menyimak, menatap Bastian dan keluarganya yang sedang marah besar atas surat wasiat dari kakek Pradipta. Bastian bahkan menuding Bagas kalau anak angkat papanya itulah yang mengatur semuanya.
“Hei, Bagas! Kamu pasti sudah merayu papa, ‘kan? Kamu pasti sudah guna-guna papa supaya dia nyerahin hartanya sama kalian semua! Dasar munafik!” teriak Bastian sambil menunjuk ke arah Bagas.
Napas pria paruh baya itu memburu menatap kakak angkatnya dengan marah. Harusnya dialah yang mendapatkan semua harta warisan papanya karena ia putra kandung satu satunya Pradipta. Namun, Bagas justru kecipratan warisan bahkan kebun teh yang ia pikir akan jatuh ke tangannya, kini justru jatuh ke tangan Narendra, putra sulung Bagas.
“Iya, kalian itu tidak tahu terima kasih, ya, sudah dipungut masih aja pengen menguasai harta peninggalan papa! Harusnya kalian mikir pake otak, Mas Bastian itu lebih berhak atas semua warisan papa, buka kalian!” Silvi berseru garang sambil menunjuk-nunjuk ke arah Bagas.
“Wasiat itu tidak sah karena mereka hanya anak angkat kakek, Pak! Hanya saya cucu dari kakek Pradipta! Jadi, seharusnya perkebunan itu jadi milik saya!”
Ketiga orang itu terus menerus berteriak di hadapan Pak Hasbi dan mengungkapkan ketidaksukaannya pada keluarga Narendra yang hanyalah keluarga angkat. Mereka sama sekali tidak ingin membagi harta warisan peninggalan Pradipta karena anak kandungnya hanyalah Bastian, sementara Bagas bukan.
“Tenang dulu, Tuan, Nyonya. Saya di sini hanya menyampaikan pesan dari almarhum Tuan Pradipta sebelum beliau wafat. Untuk pembagiannya telah tertulis jelas dan di surat wasiat itu, juga sudah dijelaskan bahwa salah satu dari ketiga cucu Tuan Pradipta akan menerima salah satu aset miliknya sebagai bentuk hadiah pernikahan. Baik Tuan Vino, Tuan Narendra, ataupun Tuan Galendra, nama kalian sama-sama tertulis di sini.” Pak Hasbi menjelaskan dengan rinci. Namun, Vino masih tetap tidak terima.
“Saya tetap tidak setuju, Pak. Sudah cukup Papa saya membantu orang miskin seperti mereka, bahkan sampai di akhir hayatnya. Jadi, saya selaku putra kandungnya meminta Pak Hasbi membatalkan semuanya!” teriak Bastian marah.
Bagas dan Dewi saling berpandangan. Apa yang mereka khawatirkan kini benar-benar terjadi hari ini.
“Pak Hasbi, saya rasa semua ini terlalu berlebihan, saya tidak akan menerima semua ini, Pak,” ujar Narendra membuat Vino mencebikkan bibirnya.
“Cih … belagu, sok nolak! Padahal dari dulu kamu selalu menjilat kakek agar semua yang kamu inginkan bisa terwujud. Kamu pikir aku nggak tahu, kalau kakek lah yang sudah menggelontorkan banyak uang untuk perusahaan kecilmu itu?” Vino mencibir Narendra.
“Aku tidak pernah melakukan hal itu, Vin. Pikiranmu terlalu picik kalau menganggap aku menjilat kakek. Ya, benar, aku akui kalau kakek memang membantu kami, tapi apa kamu tahu, bahwa selama lima tahun kami menempati bangunan itu, kami sudah mencicil lunas hutang kami pada kakek. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan semuanya pada Pak Hasbi karena beliaulah yang mengurus semuanya.” Dengan tenang Narendra menimpali tuduhan dari Vino hingga membuat pria itu tidak lagi bisa mengeluarkan kata-katanya.
Arumi yang tadinya merasa tegang melihat betapa mengerikannya kemarahan keluarga Vino, kini berubah menjadi terpesona setelah mendengar penjelasan tenang dari suaminya.
Wanita itu tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi hingga mereka sampai bersitegang sampai separah ini. Namun, Arumi menyadari satu hal, bahwa saudara tak sedarah mertuanya ini tidak menerima baik keluarga mertuanya dan justru selalu mencari gara-gara.
Arumi bersyukur tidak terlalu larut terjebak dengan Vino meskipun masih ada rasa khawatir mengingat Vino masih memiliki foto-foto dirinya yang tanpa busana malam itu.
“Yang dikatakan Tuan Narendra memang benar, Tuan, Nyonya … Pak Bagas beserta kedua putranya memang telah dibantu oleh Pak pradipta dalam membangun perusahaannya. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan secara cuma-cuma sebab setelah Tuan Pradipta membantu mereka, Pak Bagas selaku pemilik perusahaan itu selalu mencicil biaya yang sudah diberikan oleh Tuan Pradipta dan beberapa bulan yang lalu, Pak Bagas sudah melunasi semuanya. Ini bukti transaksinya, masih saya simpan,” jelas Pak Hasbi sembari menyerahkan rekening koran kepada Bastian.
Di sana tertera jumlah yang dibayar Bagas setiap bulannya tanpa ada yang menunggak sama sekali.
“Bagaimana bisa?” Vino bergumam pelan.
Vino mengira perusahaan yang saat ini diurus oleh Narendra dan Galendra adalah perusahaan pemberian sang kakek karena biaya pembangunannya berasal dari kakeknya, Itu pun ia tahu sang papanya yang mengatakan demikian.
Hal itu semakin membuat Vino membenci Narendra dan Galendra karena mereka berdua mendapatkan perusahaan secara cuma-cuma sementara dirinya tidak pernah mendapatkan apa-apa. Tanpa Vino sadari, jika sejak dulu dirinya selalu dimanja oleh kedua orang tuanya pun dengan kakeknya, apapun yang ia inginkan selalu dituruti tanpa memandang harga. Namun, hal itu seakan tidak terlihat di mata Vino.
“Lalu di mana sekarang uang itu?” tanya Bastian.
“Tabungan itu masih dibekukan dan akan cair ketika waktunya tiba,” ungkap Pak Hasbi sesuai perintah dari kakek Pradipta.
Pak Hasbi juga membacakan beberapa wasiat yang ditinggalkan kakek Pradipta yang memang belum pernah ia bacakan karena menunggu waktu yang sesuai dengan keinginan si pemilik wasiat yaitu ketika salah satu di antara cucunya menikah.
“Dahulu ketika Tuan Narendra menikah sebelum berusia tiga puluh tahun, surat wasiat itu masih belum bisa dipergunakan. Akan tetapi, berhubung saat ini usia Tuan Narendra sudah menjelang tiga puluh satu, surat wasiat itu bisa saya bacakan. Dan untuk selanjutnya, Tuan Pradipta juga memberikan amanat untuk disampaikan kepada Tuan Bastian bahwa perusahaan pusat akan diberikan secara resmi pada saat ulang tahun perusahaan pada keturunannya. Sementara perusahaan cabang yang berada di Jawa Timur akan dipimpin oleh Tuan Galendra.”
Perusahaan manufaktur yang berdiri lebih dari empat puluh lima tahun yang menjadi sumber kekayaan keluarga Pradipta kini akan berpindah tangan dari kepemilikan Pradipta menjadi Bastian. Hal itu tentu membuat Bastian sangat puas karena hal inilah yang ia nanti sedari lama.
Pak Hasbi tersenyum menatap Bastian yang sudah tidak lagi protes atas keputusan Pradipta. Hal itu memang sudah direncanakan oleh Pradipta agar baik pihak Bagas maupun pihak Bastian tidak ada perselisihan. Mereka bertiga kemudian mengobrol bersama Pak Hasbi untuk langkah selanjutnya.
Arumi meremas jari-jemarinya, keringat dingin mulai bermunculan. Ketegangan malam ini membuat kantung kemih Arumi menjadi penuh. Ia butuh ke kamar mandi untuk melegakan perutnya.
Narendra yang melihat perubahan sikap Arumi pun mendekatinya.
“Kenapa?” bisik Narendra.
“A-aku kebelet pengen ke kamar mandi. Bisakah aku memakai kamar mandi di sini?”
“Boleh,”
Arumi mengangguk, ia mulai mengatur ekspresi wajahnya menjadi lebih tenang.
“Tante, maaf … bisakah saya meminjam kamar kecilnya?” tanya Arumi pada Silvi.
Silvi yang masih kegirangan karena suaminya mendapatkan warisan yang sudah lama mereka tunggu pun dengan cepat mengangguk. “Kamu bisa memakai kamar mandi yang ada di samping dapur.” Silvi menunjuk ke arah dapur yang lumayan menjorok ke dalam.
“Terima kasih,” ucap Arumi kemudian segera beranjak dari duduknya.
Narendra dan Dewi menawarkan untuk mengantar Arumi ke belakang, tetapi Arumi menolak karena merasa malu jika harus ditemani. Alhasil mereka hanya menangguk kemudian membiarkan Arumi pergi sendirian.
Kepergian Arumi membuat Vino menyunggingkan sebelah bibirnya. Tanpa kata, pria itu juga turut beranjak dan mengikuti Arumi yang hendak ke belakang.