1. Gairah sang kakak ipar
2. Hot detective & Princess bar-bar
Cerita ini bukan buat bocil ya gaess😉
___________
"Ahhh ... Arghh ..."
"Ya di situ Garra, lebih cepat ... sshh ..."
BRAKK!
Mariam jatuh dari tempat tidur. Gadis itu membuka mata dan duduk dilantai. Ia mengucek-ucek matanya.
"Astaga Mariam, kenapa bermimpi mesum begitu sih?" kata Mariam pada dirinya sendiri. Ia berpikir sebentar lalu tertawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Setelah hampir satu jam di dalam kamar pasien, Mariam keluar. Garra, Aldo dan Lani setia menunggu diluar. Ada dua orang polisi yang berjaga di di depan pintu juga. Mariam menatap ketiganya bergantian lalu pandangannya berhenti di Garra.
"Bagaimana?" tanya pria itu.
"Anak itu cerita semuanya. Ini rekamannya." Mariam menyerahkan alat perekam berbentuk pulpen ke Garra.
"Dan ini sketsa penjahat yang coba aku gambar menurut keterangan anak itu. Ada dua orang." ia menyerahkan dua lembar kertas ditangannya juga. Mereka melihatnya.
"Kalian harus menangkap penjahatnya. Harus." kata Mariam dengan wajah kesal. Kasian sekali bocah di dalam yang harus kehilangan orangtuanya. Kalau mau merampok ya rampok saja, kenapa sampai dibunuh segala. Dasar sakit jiwa.
"Aldo, Lani, serahkan semua bukti ini pada Devon." perintah Garra. Aldo dan Lani mengangguk.
"Pergilah." ucap pria itu menyuruh mereka pergi.
"Kau tidak ikut dengan kami?" tanya Lani menatap Garra. Pria itu menggeleng.
"Aku akan mengantarnya. Setelah itu balik ke kantor." ucap Garra menunjuk Mariam dengan dagu. Lani memaksakan seulas senyum. Menutupi rasa tidak sukanya karena Garra dekat dengan perempuan lain.
"Kalau begitu kami akan tunggu bos dikantor." timpal Aldo sebelum pergi dari situ. Garra mengangguk.
"Aldo," panggil Mariam. Aldo berbalik.
"Jangan ugal-ugalan bawa mobilnya. Jangan di ajak kemana-mana juga. Ingat, kamu bawa cewek. Nanti diminta tanggung jawab lagi kalau dia kenapa-napa."
Haishh ... Tuh perempuan betul-betul ya. Hobi sekali cari masalah dengannya. Aldo menatapnya dongkol. Salah apa dia coba.
"Jangan hiraukan dia. Pergi saja." kata Garra. Aldo terpaksa pergi. Dasar cewek gila.
"Setelah ini kita kemana?" tanya Mariam kemudian, menaikkan wajah menatap Garra.
"Antar kau pulang." sahut pria itu. Raut wajah Mariam mengerucut.
"Gimana sih, kok langsung pulang? Aku udah berjasa besar loh hari ini. Traktir kek, ajak ngedate kemana gitu, atau apalah. Masa aku nggak dapat untung apa-apa! Sekurang-kurangnya di cium sama kamu, lebih pun nggak apa-apa!" celetuk gadis itu sebal. Suaranya cukup kencang hingga kedua polisi yang berjaga di situ menatap ke arah keduanya. Garra sampai malu dibuatnya.
"Pelan kan suaramu, tunggu di sini sebentar." pria itu menunduk dan berbisik pelan di telinga Mariam. Untung tidak ada orang lain yang lewat di depan situ.
Mariam bersedekap dada, melihat Garra yang masuk ke dalam kamar pasien bocah tadi. Beberapa menit kemudian pria itu keluar, bicara sebentar dengan kedua polisi yang berjaga di depan dan menghampiri Mariam lagi.
"Ayo." ia menarik pelan pergelangan tangan gadis itu. Mereka meninggalkan rumah sakit kemudian.
Sepanjang perjalanan wajah Mariam cemberut terus. Malah Garra tidak bicara-bicara lagi. Gimana nggak tambah sebal coba. Padahal dia kan mau berduaan lebih lama dengan laki-laki itu.
"Kita mau kemana?" gadis itu bertanya kemudian. Karena melihat mobil Garra tidak berjalan ke arah jalan rumahnya.
"Apartemenku."
Hening sebentar.
Mariam menatap Garra yang fokus menyetir. Pria itu fokus melihat jalan. Pastinya agar tidak terjadi kecelakaan atau menabrak apapun. Namun Garra tahu Mariam terus memandanginya. Ia bisa lihat pergerakan gadis itu dari sudut matanya. Laki-laki itu menyeringai. Pasti Mariam senang dia menyebut apartemen.
"Ke apartemen kamu? Buat apa ayo ... Ih Garra mulai nakal deh." Mariam mencolek pipi laki-laki itu.
"Aku sedang menyetir Mariam." tegur Garra.
"Oke bos. Tapi bilang dong, kenapa mau ke apartemen kamu. Aku bisa mati penasaran nih. Kan aku orangnya kepo." ucapnya. Ujung bibir Garra terangkat.
"Kau akan tahu nanti." katanya.
Beberapa saat kemudian, mobil milik Garra memasuki tempat parkiran sebuah gedung besar. Gedung apartemen Garra. Habis memarkir mobil mereka langsung naik ke lantai dua puluh sembilan. Tempat apartemen laki-laki itu berada.
Garra menghentikan langkah begitu mencapai pintu tempat tinggalnya. Ia menatap Mariam.
"Bukalah." ucap pria itu. Mariam bingung.
"Apanya? Baju aku? ih, Garra. Jangan di sini dong. Kan ini jalan umum, gimana kalau ada yang lihat?"
"Maksud aku pintu, bukan pakaian kamu bocah nakal," Garra mengetuk pelan kepala Mariam saking gemasnya.
"Oh, heheh ..." gadis itu terkikik.
"Tapi kok aku yang buka sih? Ini kan rumah kamu. Kamu yang tahu password-nya juga."
"Kamu juga tahu." balas Garra. Mariam meliriknya.
"Kau lupa pernah meminta apa padaku saat menginap di sini?" pria itu berkata lagi. Dahi Mariam berkerut samar, lalu berseru kemudian.
"Jangan bilang kamu benar-benar menggantinya dengan nomor ulang tahunku?!" Mariam menutup mulutnya kuat-kuat masih tidak percaya.
"Buka saja sendiri." ujar Garra. Tentu langsung di buka sama Mariam. Dan ...
Ceklek ...
Terbuka. Pintu itu terbuka. Mariam langsung melompat kegirangan.
"Yeah! Aku bisa ke sini kapanpun aku mau dong." serunya. Garra menggeleng-geleng. Tidak bisa apa dia anggun sedikit. Tapi kalau tidak begitu, bukan Mariam namanya.
Garra berjalan masuk ke dalam. Mariam mengikuti dari belakang, tak lupa menutup pintu depan. Dari belakang, ia menatapi punggung tegap Garra. Bahkan dari dilihat dari belakang saja laki-laki itu sangat tampan. Lalu Mariam mengingat kata-kata Garra beberapa hari yang lalu. Dan mengingat sesuatu yang ia lakukan terhadap pria itu yang awalnya di kira hanya mimpi. Ternyata kenyataan.
Mariam tersenyum. Sekarang waktu yang pas. Hari ini dia harus mendengar Garra setuju pacaran dengannya. Sudah bisa ia pastikan Garra memang menyukainya juga. Lalu tanpa aba-aba gadis itu menarik tangan Garra, membawanya ke dekat sofa dan mendorong pria itu hingga terduduk di sofa.
"Apa-apaan, Mari ... Ahh ..." Garra yang kaget, dibuat bukan makin kaget karena Mariam sudah duduk di pangkuannya. Pria itu menegang seketika. Sesuatu di balik celananya langsung bereaksi ketika bersentuhan dengan perut Mina. Oh ya ampun. Pria itu menahan napas, mencoba menahan diri.
"Turun Mariam." katanya.
"Nggak mau." Mariam menggeleng sambil tersenyum lebar. Ia mengalungkan tangannya di leher Garra. Jarak wajah mereka sangat dekat. Mariam tak ada malunya sama sekali. Garra sampai heran, bagaimana bisa dirinya yang seorang laki-laki besar, maskulin, dilihat begitu gentleman oleh orang-orang di luar sana malah kalah telak pada gadis kecil ini.
"Apa yang kamu ingin aku ingat, sudah kuingat." bisik Mariam ditelinga Garra. "Kamu nggak bisa menolak aku lagi bunny." ucapnya lagi.
Garra menatap Mariam. Melihat gadis itu dari jarak sedekat ini, dan posisi mereka yang begitu intens membuat hasratnya bangkit seketika. Biar bagaimanapun, ia juga hanyalah seorang laki-laki normal.
"Apa yang kau ingat?" pancingnya.
Alis Mariam terangkat. Lalu tertawa.
"Mau dengar dengan kata-kata atau langsung aku praktekkan saja? Lagipula kau sudah pernah merasakan tanganku di sana kan?" hening sesaat, lalu Garra tertawa kecil.
"Kau sangat nakal bocah." pria itu mengetuk gemas hidung Mariam.
"Tapi kau suka bukan?"
nemu novel ini
baca sambil ngakak dewe
wkwkwkkkkkakakaaaa
malem² lagi
byuhhhh