Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengalihan
...••••...
Senin sore ini Echa sudah bersiap-siap dengan pakaian rapi, sebuah kaus hitam panjang juga celana cargo membalut tubuhnya. Di punggungnya menenteng sebuah ransel berisi beberapa barang keperluannya.
Dan setelah memastikan semuanya siap, Echa langsung pergi menuju stasiun kereta yang akan membawanya ke suatu tempat.
Kedua telinga Echa sengaja wanita itu sumpal dengan airpods. Sesekali mulutnya ikut bersenandung dengan pelan.
Sengaja Echa memilih kelas bisnis agar tidak terlalu berdesakan dalam kereta mengingat waktu saat ini orang-orang sedang banyak-banyaknya.
Di samping Echa duduk seorang pria yang terlihat fokus dengan buku ditangannya.
Bukannya berlaku tidak sopan, tapi mata Echa sekilas melihat isi buku yang dibaca pria disampingnya ini berbahasa asing.
Karena perjalanan masih jauh, Echa memutuskan untuk menutup matanya sekaligus mengumpulkan tenaga untuk malam nanti. Tidak lupa juga Echa menutup matanya dengan kacamata hitam.
Tidak tahu berapa lama tertidur, ketika membuka matanya kereta masih melaju dengan kencangnya.
Melirik ke sampingnya, rupanya pria itu juga tertidur.
Echa yang sebelumnya terbangun karena ingin buang air kecil langsung berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
Kembali ke kursinya, bertepatan dengan kereta berhenti. Menilik jam yang melingkar ditangannya menunjukkan pukul setengah tujuh malam membuatnya bergegas berjalan menuju tempat yang akan ditujunya.
Tapi sebelumnya Echa mampir terlebih dahulu di rumah makan untuk mengisi perutnya yang berbunyi. Padahal di kereta tadi Echa sempat makan sedikit.
Tapi mungkin karena perutnya itu belum puas akhirnya Echa harus mengisinya lagi.
Setelah urusan perutnya selesai, Echa menunggu waktu yang tersisa sekaligus menunggu orang-orang yang akan naik gunung bersamanya.
Iya, malam ini Echa akan mendaki gunung bersama sebuah komunitas yang direkomendasikan oleh Lania. Untuk gadis itu sendiri kali ini tidak bisa ikut dikarenakan bertepatan dengan jadwal ujiannya.
Hampir satu jam menunggu, Echa kini sudah bersiap bersama lima belas orang lainnya.
Karena sudah terbiasa mendaki gunung seperti ini, Echa tidak mendapatkan kesulitan. Malah dia begitu menikmati perjalanannya meskipun dalam keadaan gelapnya malam.
Echa berjalan hampir paling akhir di mana di belakangnya ada dua pria yang merupakan orang yang bertanggung jawab atas pendakian kali ini.
"Hati-hati," Echa yang hampir terpeleset karena tidak sengaja menginjak permukaan licin ditahan oleh satu pria yang ada dibelakangnya.
"Makasih udah nolongin," setelah menormalkan kembali detak jantungnya yang tadi meningkat, Echa tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih.
"Kamu pertama kali naik gunung?" pria itu kembali mencoba mengajak Echa untuk berbicara, sekaligus penasaran dengan sosok wanita mungil yang begitu cantik tapi sayangnya terlihat pendiam itu.
"Oh, ngga."
"Maaf aku bantu," pria itu menahan kaki Echa ketika naik pada pijakan sebuah tebing yang cukup tinggi.
Echa pun tersenyum tipis ketika mendapati perhatian kecil seperti itu terhadapnya. Ya meskipun hal itu wajar dalam pendakian seperti ini.
Hanya saja sejak awal bertemu dengan orang-orang ini, Echa sudah menyadari jika pria disampingnya ini sejak kedatangannya selalu curi-curi pandang padanya.
Echa sadar akan hal itu.
"Kamu siapanya Melania?" rupanya pria itu belum menyerah untuk mengajak Echa berbicara.
"Aku tetangga nya."
"Kirain kamu kakaknya, soalnya Melania bilang kalau kakaknya yang akan ikut pendakian dan minta untuk dibimbing sama kita."
Echa tertawa pelan, "Kami memang sedekat itu."
Pria itu tertegun melihat tawa Echa yang pelan sekali tapi terlihat mempesona.
Rupanya wanita cantik itu bisa tersenyum juga.
Setelah itu, lanjut lagi percakapan percakapan antara keduanya.
Echa sendiri tidak merasa keberatan mengobrol dengan pria disampingnya yang baru dia ketahui bernama Javas. Echa malah suka karena Javas seolah tidak kehabisan topik untuk pembahasan keduanya.
Javas adalah pria yang humoris.
Hingga tidak terasa hampir empat jam perjalanan sampailah mereka di puncak gunung. Dan di waktu yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Sebenarnya sengaja mereka mendaki di waktu malam agar besoknya bisa menikmati pemandangan dimana matahari terbit.
Echa mendirikan tenda dibantu oleh Javas meskipun sebenarnya jika tidak dibantu pun Echa bisa melakukannya sendiri.
Tapi karena Javas terus memaksa untuk membantu maka Echa biarkan saja.
Setelah tenda yang hanya bisa diisi satu orang itu berdiri, Echa bergegas masuk kedalamnya dan merebahkan badannya dengan nyaman.
Cape juga rasanya. Tapi setidaknya meskipun lelah, setidaknya pikirannya tidak terlalu mumet.
Iya, salah satu alasan Echa nekat mendaki gunung karena isi kepalanya yang begitu mumet dan penuh.
Dan alasan lainnya tentu saja mengindari Pram yang semakin hari semakin menempel padanya layaknya ada sebuah magnet ditubuhnya.
Setelah malam dimana Pram menginap di apartemennya, pria itu semakin berani melakukan hal-hal yang lebih jauh. Meskipun tidak sampai hal yang paling intim.
Tidur seranjang pun hanya sebatas tidur tanpa melakukan hal aneh-aneh.
Ya memang apa yang harus diharapkan.
Echa tersadar ketika ada suara yang memanggil namanya dari luar padahal sedikit lagi dia akan terlelap.
Echa membuka tenda dan mendapati keberadaan Javas yang jongkok di depan tendanya.
"Pake ini," Javas menyerahkan sebuah lotion anti nyamuk pada Echa.
Melihat Echa yang tidak kunjung menerima sodorannya, Javas meraih tangan Echa pelan dan dia serahkan lotion itu.
"Disini banyak nyamuk, aku tahu kamu pasti ngga bawa ini kan?"
Javas sempat memperhatikan Echa yang beberapa kali menggaruk tangannya ketika mereka membangun tenda tadi. Ya, meskipun Javas sendiri harus mencari lotion dari temannya yang membawanya karena dia sendiri tidak memilikinya karena hilang entah kemana.
Echa menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Javas. Karena saking dadakannya dia mendaki gunung jadi tidak terlalu lengkap peralatan yang dia bawa.
"Terimakasih,"
"Sama-sama, kalau begitu aku kembali ke tenda, kalau butuh sesuatu panggil aja, selamat tidur dan nanti aku bangunkan untuk lihat matahari terbit," Javas yang tersenyum lebar membuat Echa ikut tersenyum.
"Iya Javas, sana aku mau tidur."
Setelah Javas menghilang, Echa kembali menutup tenda dan memakai lotion yang diberikan pria itu. Sedari tadi memang nyamuk tidak berhenti menggigiti kulitnya.
Dan lihat saja, di tangannya terdapat beberapa ruam merah gatal akibatnya.
Beberapa jam kemudian Echa kembali terbangun ketika mendengar suara Javas yang kembali menyerukan namanya diluar. Meskipun pelan, tapi tetap saja membuatnya terganggu.
Melihat jam yang melingkar ditangannya menunjukkan pukul lima lebih membuatnya mengerang.
Meskipun tidurnya belum cukup, tapi Echa tetap bangun dan menyahuti panggilan Javas. Echa memerlukan waktu bersiap untuknya keluar.
Tadinya Echa kira ketika keluar dari tenda Javas sudah pergi. Rupanya pria itu menunggunya didepan tenda.
"Ayo kita ke sana, aku udah cari spot yang bagus buat lihat matahari terbit."
Echa mengikuti langkah Javas didepannya dengan langkah perlahan seraya mengeratkan jaket yang dikenakannya ketika angin berhembus cukup kencang.
...••••...