Widia Ningsih, gadis berusia 21 tahun itu kerap kali mendapatkan hinaan. Lontaran caci maki dari uanya sendiri yang bernama Henti, juga sepupunya Dela . Ia geram setiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari mereka berdua . Apalagi jika sudah menyakiti hati orang tuanya. Widi pun bertekad kuat ingin bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya serta membeli mulut-mulut orang yang telah mencercanya selama ini. Widi, Ia tumbuh menjadi wanita karir yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda. Sehingga orang-orang yang sebelumnya menatapnya hanya sebelah mata pun akan merasa malu karena perlakuan kasar mereka selama ini.
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
Yuk ramaikan ....
Update setiap hari...
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Ngapain kamu ketawa, emangnya ada yang lucu?" sambung Dela yang sedang tidak tahan dengan kekesalannya.
"Yang jelas bukan aku yang bilang pada Pak Akmal untuk mecat kamu!" jawab Widi dengan santai dan ia balik menatap tajam ke arah Dela.
.
.
.
Keesokan harinya, saat Widi ingin berangkat kerja tiba-tiba Ibunya menghentikan aktivitas Widi.
"Mau ke mana kamu, Nak?" tanya Nia begitu Widi merapikan Pakaian dan memakai sepatu kerjanya.
"Ya mau ke mana lagi dengan pakaian serapi ini, Bu?" jawab Widi bingung dengan ucapan Ibunya.
"Jangan pergi ya, Nak. Hari ini kamu di rumah saja ya, Ibu mohon." Nia menatap dengan mata yang sendu.
"Memangnya kenapa, Bu? Kalau Widi nggak kerja, kita mau makan apa?" tanya Widi mendekati sembari mengusap lembut punggung Ibunya.
"Nggak apa-apa Nak, Ibu cuma ingin kamu istirahat saja di rumah," jawab Nia menutupi kegelisahan pada anaknya.
"Kan Ibu ada Bapak, kalau bosan di rumah Ibu sama Bapak jalan-jalan saja di sekitar komplek ini. Ya sudah Widi pamit kerja dulu ya, Bu dan Bapak hati-hati di rumah, assalamualaikum." Widi mencium punggung tangan Ibunya.
Nia seolah ingin mencegah langkah kepergian Widi. Namun, ia mengurungkan niatnya. Nia hanya bisa menatap dengan kegelisahan begitu Widi pamit kerja.
"Ya Allah, lindungilah anak hamba di manapun dia berada. Semoga kamu baik-baik saja Nak," gumam Nia.
Sementara itu, Widi yang baru keluar dari gang rumahnya pun memikirkan kembali ucapan Ibunya.
"Ada-ada saja Ibu, setiap hari pergi bekerja kenapa baru ini mencegah aku?" Widi menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
Widi merasa bahagia, ia berarti di mata Ibunya sehingga Ibu memintanya untuk lIbur kerja sehari. Biasanya hari lIbur Widi tetap di gunakan untuk bekerja di rumah.
Saat tiba di persimpangan jalan, Widi yang hendak ingin berbelok ke kiri. Tiba-tiba sebuah mobil melaju dari kanan dengan kecepatan tinggi, Widi yang sadar dengan mobil di arah kanannya, spontan membuat Widi ingin menekan rem motornya langsung.
Tin!
Tin!
Tin!
"Eh, ada apa ini? Kenapa tidak bisa di rem !" panik Widi. Mulai oleng mengendarai motornya.
Bugh!
Bedentum!
Sret!
Gubrak!
Masyarakat yang berada di lokasi kecelakaan pun mengerumuni korban lalu lintas dan langsung menghubungi pihak kewajiban.
Sementara itu, Nia yang tengah membereskan rumah pun tidak sengaja menyenggol sebuah vas bunga.
Klenteng!
"Astagfirullah hal'azim," ucap Nia dengan lirih sembari memegang dadanya.
Wendi yang sedang bekerja di teras pun langsung masuk ke dalam begitu mendengar barang jatuh.
"Astagfirullah, apa yang terjadi, Bu?" tanya Wendi terkejut melihat pecahan vas bunga.
Nia yang tengah membersihkan pecahan beling langsung menoleh ke arah suaminya.
"Nggak apa-apa, Ibu kurang hati-hati saja ," jawab Nia dengan santai, ia berusaha membuang pikiran buruknya.
"Ya sudah Ibu bersihkan saja, Bapak mau lanjutin pekerjaan tadi," ucap Wendi langsung berbalik badan.
"Iya Pak,"
Baru beberapa langkah, tiba-tiba saja telepon rumahnya berdering. Spontan Wendi langsung menyambutnya.
"Halo Assalamualaikum," ucap salam Wendi.
"Ya benar, saya Bapaknya Widi. Ada apa ya?" tanya Wendi bingung, bahkan dadanya pun sudah berdetak kencang.
"Apa!"
Nia mendengar ucapan kaget suaminya pun langsung gemetaran dan ia langsung bergegas mendekati Wendi. Wendi pun meletakan telepon dengan pelan, sembari memegang dadanya yang sesak.
.
.
.
Sesampainya di rumah sakit, Nia tidak berhenti menangis mengingat kejadian pada anaknya. Wendi tidak pernah lepas dari genggaman tangan istrinya, ia berusaha menenangkan istrinya agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.
Wendi terus mengedar pandangannya ke setiap pintu ruangan untuk mencocokkan ruangan anaknya, dari kejauhan sudah terlihat beberapa polisi yang menunggu kedatangan mereka. Wendi buru-buru menghampiri polisi sembari membopong istrinya yang tengah bersedih.
"Pak, Widi Pak!" isak Nia sembari memukul bidang dada suaminya.
"Iya Bu, itu ada polisi. Kita coba tanya dulu," jawab Wendi semakin mempererat pelukannya.
"Assalamualaikum," salam Wendi.
Polisi yang asik berbincang langsung menoleh ke arah Wendi. Dan menyapa dengan sopan.
"Wa'alaikumsalam, apa Ibu dan Bapak orang tua korban?" tanya polisi memastikan kembali.
"Iya betul, saya Ibunya Widi. Di mana ruangan anak saya Pak polisi?" tanya Nia cemas sembari memegang tangan polisi.
"Di sana, Ibu," polisi menunjukkan ke arah ruangan Widi yang tepat di belakang orang tuanya.
Nia mengikuti tunjukkan polisi, tanpa penjelasan lagi ia langsung berlari masuk ke dalam ruangan Widi. Betapa terkejutnya Nia melihat anaknya terbaring lemah di atas brangkar, dengan bantuan alat pernapasan. Begitu juga dengan Wendi. Ia tidak tega melihat anaknya terbaring di rumah sakit dengan banyak alat bantuan di tubuh sang putrinya.
"Ya Allah, anakku. Apa yang terjadi dengan kamu, Nak?" tanya Nia dengan terisak-isak.
^^^"Ya Allah sembuhkan lah anakku, angkatlah penyakit ini dari tubuhnya. Kalo boleh meminta, biar aku saja yang menggantinya. Aku tidak tega melihat anakku menderita seperti ini, harusnya dia berbahagia di luar sana."Batinnya.^^^
Wendi menyembunyikan tangisannya di depan istri dan anaknya, ia tidak sanggup mendekati brangkar anaknya. Sesungguhnya hati seorang ayah yang sakit melihat anak perempuannya mengalami hal yang tidak seharusnya terjadi, Widi sudah berjuang keras demi kebahagiaan orang tuanya.
Nia terus memegang tangan Widi dan menatapnya dengan kesedihan yang tak terbendung lagi, bibir Nia tidak berhenti berdzikir untuk kesembuhan anaknya. Tak lama polisi pun masuk ke dalam ruangan Widi. Serta memberikan bukti kejadian di lokasi, bahkan pemilik mobilnya juga sedang di rawat.
"Maaf Pak, boleh kita bicara sebentar?" tanya polisi dengan ramah, ia melaksanakan sesuai dengan peraturan kerjanya.
Wendi buru-buru menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya, lalu menoleh ke arah polisi dengan tegap.
"Boleh Pak, mau bicara apa?" tanya Wendi berusaha tegar dan menutupi kesedihannya.
"Sebaiknya kita bicara di luar saja, agar pasien tidak terganggu," jawab Pak polisi dengan lirih.
Wendi melihat ke arah anak dan istrinya.
" Baiklah, ayo kita keluar sekarang," jawab Wendi mengadahkan sebelah tangannya.
Pak polisi pun keluar dari ruangan Widi yang diikutin oleh Wendi. Begitu tiba di luar ruangan, Wendi menutup pelan pintu ruangan tersebut. Dan ia menatap dari balik pintu yang bervariasi kaca, agar bisa melihat keadaan keluarganya.
"Saya tahu bagaimana perasaan, Bapak? Semoga anak Bapak segera pulih dan sembuh ," ucap Pak polisi memberi semangat pada Wendi.
"Aamiin, terima kasih," jawab Wendi dengan lirih.
"Oh iya Pak, tim kami sudah memeriksa penyebab terjadinya kecelakaan di TKP. Kami menemukan bahwa kendaraan anak Bapak mengalami rem blong," ucap Pak polisi dengan santai dan tegas, ia memberikan beberapa lembar print bukti terjadinya kecelakaan pada Widi.
"Apa, rem blong?! Kok bisa," heran Wendi mendapat kabar dari polisi, padahal ia tahu anaknya sering membawa motor kesayangannya ke bengkel langganan.
Wendi melihat lembaran kertas yang di print oleh polisi, lembaran demi lembaran yang ia lihat. Betapa terkejutnya Wendi dengan kejadian itu, Ia merasa sesak dan ngilu melihat kendaraan Widi yang hancur, Wendi memegang dadanya yang merasa sesak.