Seorang kultivator Supreme bernama Han Zekki yang sedang menjelajah di dunia kultivasi, bertemu dengan beberapa npc sok kuat, ia berencana membuat sekte tak tertandingi sejagat raya.
Akan tetapi ia dihalangi oleh beberapa sekte besar yang sangat kuat, bisakah ia melewati berbagai rintangan tersebut? bagaimana kisahnya?
Ayo baca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M. Sevian Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Malam itu, di bawah langit yang mendung, suasana Sekte Nusantara terasa… aneh. Ada semacam keheningan yang mencekam, sesuatu yang tak biasa. Angin berhembus pelan, namun dinginnya menusuk sampai ke tulang. Zekki berdiri di pinggir halaman, mengamati ke sekeliling dengan tatapan waspada. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang… tidak enak. Entahlah, tapi rasanya ada sesuatu yang mendekat. Sesuatu yang mungkin tidak diharapkannya.
"Apa mungkin cuma perasaanku?" gumam Zekki, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi instingnya, yang sudah diasah melalui banyak pertempuran, terus berteriak bahwa ini bukan sekadar perasaan. Ini nyata.
Yuna berjalan menghampirinya dari belakang, seperti biasa dengan langkahnya yang tenang. Wajahnya tampak sedikit cemas, dan dia langsung menyentuh lengan Zekki, seolah mencari kepastian darinya. “Zekki… kamu ngerasain sesuatu juga, ya?”
Zekki menoleh, menatap Yuna dengan ekspresi serius. “Entahlah, Yun. Aku juga nggak yakin. Tapi… ada sesuatu. Aku merasa ada sesuatu yang salah.” Ia menatap ke arah hutan di kejauhan, seakan berharap bisa melihat apa yang bersembunyi di balik pepohonan itu.
Yuna menghela napas, matanya ikut mengarah ke tempat yang sama. “Aku juga merasakannya, Zekki. Rasanya… berat. Nggak seperti biasanya.”
Mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Zekki merasa bahwa percakapan ini tidak perlu dilanjutkan; mereka berdua tahu, tanpa perlu kata-kata lebih banyak, bahwa ada ancaman yang mengintai. Ancaman yang mungkin… lebih besar dari apa yang pernah mereka hadapi.
Keesokan harinya, Zekki mengumpulkan semua anggota Sekte Nusantara di aula utama. Fei Rong, Mei Lin, Li Shen, dan murid-murid lainnya duduk berbaris, tatapan mereka penuh tanda tanya dan kecemasan. Bahkan Fei Rong, yang biasanya selalu ceria dan penuh semangat, terlihat agak tegang kali ini.
Zekki berdiri di depan mereka, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “Aku tahu… mungkin kalian juga merasakan sesuatu yang aneh belakangan ini,” katanya, membuka pembicaraan dengan nada yang dalam. Ia mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, memilih kata-kata dengan hati-hati. “Kemungkinan besar, ini bukan sekadar perasaan. Aku rasa… ada ancaman nyata yang mendekat. Entah itu dari Sekte Langit Timur atau sekte-sekte lainnya… aku tidak tahu pasti.”
Fei Rong langsung mengangkat tangan, ekspresi wajahnya serius tapi penuh tekad. “Kalau mereka datang, kita akan lawan, kan, Tuan Zekki? Maksudku… kita nggak akan cuma diam aja, kan?”
Zekki menatap Fei Rong, lalu mengangguk pelan. “Tentu saja, Fei. Tapi kita juga harus cerdas. Mereka mungkin jauh lebih kuat, lebih banyak jumlahnya, dan… ya, kemungkinan mereka datang dengan persiapan matang. Kita harus tahu kapan bertahan, kapan menyerang. Aku nggak ingin kalian bertarung tanpa arah, tanpa rencana.”
Li Shen, yang duduk di sudut ruangan dengan tangan terlipat, mengangguk setuju. “Benar itu, Fei. Kita nggak bisa asal maju aja. Kalau mereka beneran datang dengan kekuatan penuh, kita harus punya strategi.”
Mei Lin, yang biasanya lebih pendiam, kali ini angkat suara. “Tapi… bagaimana kalau mereka menyerang ketika kita sedang tidak siap? Maksudku, aku… aku masih belum sekuat kalian. Bagaimana aku bisa membantu?”
Zekki berjalan mendekati Mei Lin, lalu menepuk pundaknya dengan lembut. “Dengar, Mei Lin… kekuatan bukan satu-satunya hal yang penting dalam bertarung. Kadang, keberanian dan kecerdikan justru yang bisa menyelamatkan kita. Kamu punya ketenangan yang luar biasa, dan itu… itu penting. Jadi, jangan meragukan dirimu sendiri.”
Mei Lin mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyiratkan keraguan. Tapi di dalam hatinya, ia merasa lebih tenang mendengar kata-kata Zekki. Dia tahu Zekki percaya padanya, dan itu cukup untuk memberinya kekuatan.
Setelah pertemuan itu, Zekki memutuskan untuk memperkuat sistem pertahanan Sekte Nusantara. Ia, Yuna, Li Shen, dan beberapa murid lain mulai mengatur strategi patroli. Mereka membuat jadwal bergantian untuk menjaga wilayah sekitar, memastikan tidak ada yang bisa mendekat tanpa sepengetahuan mereka.
Di malam hari, ketika giliran Fei Rong dan Mei Lin berjaga, mereka duduk di atas bukit kecil yang menghadap ke lembah, memandang ke arah hutan yang gelap di bawah. Bulan setengah penuh bersinar di langit, tapi cahayanya tak cukup untuk menerangi hutan lebat yang tampak seperti bayangan hitam pekat.
“Eh, Mei Lin…” Fei Rong memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar, entah karena dingin atau mungkin karena ketakutan yang berusaha ia sembunyikan. “Menurutmu… beneran bakal ada yang datang menyerang, nggak sih? Maksudku, rasanya… ya, serem juga. Ini bukan cuma latihan biasa, kan?”
Mei Lin menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Iya, Fei. Aku juga… aku juga takut, jujur aja. Tapi… aku rasa, kita nggak bisa lari. Kalau kita ada di sini, berarti kita juga harus siap menghadapi apa pun yang datang. Lagipula… kalau kita lari, kita lari ke mana?”
Fei Rong tertawa kecil, mencoba menenangkan diri. “Benar juga, ya. Kalau dipikir-pikir, sekte ini udah jadi rumah buat kita. Rasanya nggak mungkin ninggalin ini semua.”
Mereka berdua terdiam lagi, membiarkan angin malam berhembus pelan di sekitar mereka. Fei Rong mendekap lututnya, menatap hutan lebat di bawah. Dalam hatinya, dia merasa gugup, tapi juga bersemangat. Mungkin ini kesempatan untuk membuktikan dirinya. Untuk menunjukkan bahwa dia bukan sekadar murid yang ceroboh dan selalu butuh bantuan orang lain.
Dini hari berikutnya, ketika Fei Rong dan Mei Lin hampir selesai berjaga, tiba-tiba mereka mendengar suara samar dari arah hutan. Seperti suara ranting yang patah… atau mungkin langkah kaki yang hati-hati. Fei Rong langsung memasang telinga, jantungnya berdetak lebih cepat.
“Kamu denger itu, kan?” bisik Fei Rong, matanya melebar penuh ketegangan.
Mei Lin mengangguk, lalu menajamkan pendengarannya. “Iya… ada suara, Fei. Entah itu apa… tapi, kita harus waspada.”
Mereka berdua berdiri, mencoba melihat ke arah suara itu berasal. Namun, gelapnya hutan membuat mereka sulit untuk memastikan. Fei Rong menghela napas pelan, berusaha menenangkan diri. Tapi entah kenapa, ketegangan dalam dirinya makin terasa, dan perasaannya semakin tidak enak.
“Tunggu di sini, Mei Lin. Aku mau periksa,” bisik Fei Rong.
Mei Lin langsung menahan lengannya, wajahnya pucat. “Jangan, Fei! Jangan pergi sendiri! Kalau itu benar-benar musuh… kamu nggak bisa melawan mereka sendirian.”
Fei Rong menoleh dan tersenyum kecil, meski senyum itu terlihat agak dipaksakan. “Tenang aja, aku cuma mau lihat sedikit. Nggak akan terlalu jauh. Kalau ada apa-apa, aku bakal balik secepatnya.”
Dengan langkah pelan, Fei Rong bergerak ke arah suara itu, menyelinap di antara pepohonan. Sementara itu, Mei Lin hanya bisa berdiri diam, matanya tak lepas dari sosok Fei Rong yang perlahan menghilang dalam kegelapan. Hatinya dipenuhi kecemasan, tapi ia tidak ingin melarang Fei Rong. Mungkin, ini adalah caranya untuk membuktikan keberanian.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Mei Lin berdiri cemas, menggigiti bibirnya, sambil menatap ke arah Fei Rong menghilang. Tapi kemudian, ia mendengar sesuatu. Langkah kaki yang cepat—Fei Rong berlari kembali, wajahnya pucat dan penuh ketakutan.
“Mei Lin! Lari! Mereka datang! Ada… ada banyak orang, dan mereka semua membawa senjata!” teriak Fei Rong dengan suara tertahan, panik.
Tanpa banyak tanya, Mei Lin langsung berbalik dan ikut berlari, napasnya memburu. Mereka berdua berlari secepat mungkin kembali ke arah sekte. Di belakang mereka, terdengar suara langkah kaki berat—ada yang mengejar mereka. Benar-benar mengejar.
Sesampainya di gerbang sekte, Fei Rong dan Mei Lin langsung memberi isyarat kepada para penjaga lainnya. Alarm segera dibunyikan, dan dalam hitungan detik, seluruh anggota Sekte Nusantara berkumpul di halaman, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Zekki berdiri di depan, tatapannya tajam. Dia bisa melihat dari ekspresi Fei Rong dan Mei Lin bahwa ancaman kali ini nyata, lebih nyata daripada sebelumnya.
“Siapa mereka, Fei? Apa kamu bisa lihat siapa yang datang?” tanya Zekki cepat, suaranya terdengar dingin namun tegas.
Fei Rong menggeleng, napasnya masih tersengal-sengal. “Aku… aku nggak bisa lihat jelas, Tuan Zekki. Tapi… ada banyak. Mereka semua membawa senjata, dan… mereka terlihat terlatih.”
Zekki mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai membakar di dadanya. “Baik. Kalau begitu, kita tidak punya pilihan. Semua, bersiap untuk bertahan! Kita tidak akan membiarkan siapa pun menginjakkan kaki di sekte ini tanpa izin kita!”
Yuna menatap Zekki, sedikit cemas namun penuh kepercayaan. “Zekki, apa kau yakin kita bisa melawan mereka?”
Zekki menatap Yuna, lalu mengangguk. “Aku nggak tahu, Yun. Tapi yang jelas, kita nggak akan mundur tanpa perlawanan.”
Tak lama kemudian, sosok-sosok bayangan mulai terlihat di gerbang sekte. Mereka adalah para kultivator yang mengenakan jubah hitam dengan simbol awan petir berwarna biru—Sekte Langit Timur. Di depan mereka berdiri seorang pria bertubuh tinggi dengan sorot mata dingin yang menatap tajam ke arah Zekki.
Pria itu berbicara dengan suara lantang, penuh kesombongan. “Han Zekki, pemimpin Sekte Nusantara… kau terlalu sombong untuk sekte kecil seperti ini. Kami datang untuk menertibkan… dan kalau perlu, menghancurkan!”
Zekki berdiri tegap, menatap pria itu tanpa rasa takut. “Kalau kalian pikir bisa menghancurkan sekte ini dengan mudah, kalian salah besar. Sekte Nusantara mungkin kecil, tapi kami akan melawan dengan seluruh kekuatan kami!”
Pria itu tersenyum sinis, lalu memberi isyarat pada anak buahnya untuk maju. “Kalau begitu, kita lihat seberapa besar tekad kalian.”
Dan di bawah langit malam yang mendung, pertarungan pun dimulai. Fei Rong, Mei Lin, Li Shen, dan seluruh murid Sekte Nusantara berdiri bersama Zekki, bersiap untuk mempertahankan rumah mereka. Tidak ada yang tahu bagaimana akhir dari pertempuran ini, tapi satu hal yang pasti: mereka semua siap bertarung dengan seluruh keberanian yang mereka miliki.
apa gak da kontrol cerita atau pengawas
di protes berkali kal kok gak ditanggapi
bok ya kolom komentar ri hilangkan