Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Meresahkan
"Apasih?"
"Kamu bilang apa tadi?" tanya Faaz dari jarak beberapa meter di sampingnya.
"Tidak."
"Ada, Mas dengar kok barusan."
"Salah dengar mungkin, dari tadi aku diam," jawab Ganeeta mulai was-was, khawatir Faaz akan menghampirinya dalam waktu dekat.
"Masa sih? Jelas-jelas tadi Mas dengar suara kamu."
"Dibilangin bukan, Mas halusinasi kali."
Sejenak Faaz terdiam, dia terlihat berpikir keras sebelum kemudian benar-benar masuk dan menutup pintu kamar mandi.
Meninggalkan Ganeeta yang masih terus terdiam merutuki kebodohannya sendiri.
"Jaga mulutmu, Ganeeta ... kalau terus begini, bagaimana bisa mematahkan stigma buruk orang-orang itu tentangmu? Bisa-bisa Mas Faaz juga mengakui kalau kamu memang bi-rahi," ucap Ganeeta penuh penekanan seraya menatap pantulan wajahnya di cermin.
Hal ini perlu dia tekankan pada diri sendiri karena memang agak kesulitan dalam menjaga sikap, Ganeeta kerap melakukan dan mengatakan segala sesuatu tanpa pikir panjang.
Seperti ini contohnya, padahal di awal tekadnya untuk mematahkan anggapan Ervano dan sepupu yang lain sudah begitu kuat, tapi pada kenyataannya ternyata tidak semudah itu.
Karena itu, dia bermonolog dan berdebat dengan diri sendiri agar lebih berhati-hati meski sebenarnya tidak masalah. Sebagaimana yang diajarkan maminya, sedikit centil dan ag-resif kepada suami itu bukanlah sebuah dosa.
Sebaliknya, justru dianjurkan sebagai salah-satu penghangat hubungan dalam berumah tangga.
Akan tetapi, di beberapa momen tetap saja Ganeeta sadar bahwa dia melampaui batas dan berakhir malu sendiri.
"Net ...."
"Heuh?" Ganeeta menoleh, terlalu fokus dengan lamunannya Ganeeta justru tak sadar bahwa Faaz kini sudah selesai dengan ritual bersih-bersihnya.
Sudah tentu Ganeeta kembali panas dingin tatkala melihat pemandangan yang sejak satu minggu terakhir rutin dia konsumsi setiap harinya.
"Kenapa masih di situ? Makanannya keburu dingin, Sayang."
"I-iya, ini mau makan," jawab Ganeeta bergegas pindah tempat dan mengikuti perintah Faaz.
Sesekali Ganeeta menggelengkan kepala bahkan tak segan menepuk pipinya agar isi otaknya tidak semakin jadi seperti ini.
Namun, tidak peduli berapa kali dia mencoba tetap saja, perut kotak-kotak dan bahu bidang Faaz menghantui otaknya.
"Huft dia ngapain sih? Langsung pakai baju apa susahnya? Sengaja banget pamer perut ... minta ditimpuk apa gimana?" batin Ganeeta sembari memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
Seburuk itu prasangka Ganeeta, padahal Faaz tidak melakukan apa-apa. Tidak segera ganti baju wajar, karena memang masih terlalu basah.
Seakan tidak sadar diri dengan kelakuannya, padahal Ganeeta sama saja. Bahkan, bisa dibilang lebih parah karena bukan sekali dua kali tampil hanya dengan bra dan celana pendek seperti hendak yoga, tapi berkali-kali sampai Faaz lelah menegurnya.
Anehnya, hanya dengan melihat Faaz berte-lanjang dada beberapa menit Ganeeta sudah resah sampai menduga Faaz sengaja menggoda.
Bahkan, makannya sampai tidak fokus lagi dan Ganeeta mendorong piring di hadapannya dengan segera.
"Sudah?"
"Sudah," jawabnya sembari meraih segelas teh hangat yang juga terletak di meja demi melegakan dahaganya.
Rasanya Ganeeta terlalu haus sampai salah ambil gelas di sana.
"Astaghfirullah, bukannya itu masih panas?" tanya Faaz khawatir andai tenggorokan Ganeeta terbakar nantinya.
"Tidak, sudah dingin kebetulan," jawab Ganeeta sedikit berbohong dengan menahan rasa panas di tenggorokannya.
Tak segera menjawab, Faaz yang sudah rapi dan siap pergi ke masjid masih dibuat bingung akibat ulah istrinya.
"Syukurlah kalau begitu ... sekarang minum obatnya."
"Iya, ini mau minum."
Masih dalam pengawasan Faaz, sedetik pun tak pria itu lepaskan. Khawatir Ganeeta berbohong dan justru membuang obatnya sembarangan.
Mengingat, Faaz pernah mendapat amanah sang mertua untuk lebih perhatian terutama dikala Ganeeta sakit.
Karena itulah, dia sampai mandi dengan begitu cepat hanya karena tidak ingin Ganeeta lebih dulu bertindak.
Sesuai harapan, sewaktu dirinya selesai Ganeeta bahkan belum melakukan apa-apa.
"Sudah?"
Ganeeta mengangguk pelan pasca obatnya masuk dengan sempurna dan kali ini Faaz meraih minyak angin dan bagian ini adalah yang Ganeeta tunggu-tunggu sebenarnya.
Seakan sengaja mencari kesempatan, Ganeeta pasrah saja tatkala Faaz mengoleskan minyak angin di pelipis maupun perutnya.
Tak hanya sekadar mengoleskan semata, tapi Faaz juga memberikan pijatan lembut di pelipis sang istri hingga membuat mata wanita itu perlahan mengecil padahal belum waktunya.
.
.
"Mendingan?"
Ganeeta mengangguk pelan, karena memang itu yang dia rasakan.
"Mas berangkat ya ... nih waktunya dikit lagi."
"Iya."
"Kamu sanggup berdiri, 'kan?"
"Iya, memang aku lumpuh apa gimana? Pertanyaannya gitu banget."
Jawabannya sungguh berselimut emosi, sampai Faaz tersenyum lagi. "Kalau masih sanggup berdiri, maksud Mas jangan lewatkan shalatnya."
Wajah Ganeeta tampak menyesal menjawab seperti tadi, ingin sekali dia ulang sebenarnya.
Sayangnya, semua sudah telanjur dan kali ini Ganeeta tidak punya pilihan selain mengangguk pelan.
Tidak berbeda seperti yang sudah-sudah, menjelang magrib mereka memang tidak pernah bersama.
Ganeeta juga berusaha menunaikan shalat walau awalnya sangat terpaksa. Sempat terbesit untuk berbohong dan mengaku sudah jika Faaz bertanya, tapi ternyata Sang Khalik masih baik dan menganugerahkan rasa gelisah sewaktu Ganeeta ingin berbohong di hadapan suaminya.
Bermodalkan dengan surah yang itu-itu saja, Ganeeta mulai kembali menata diri pelan-pelan setelah sempat terjerumus dalam jurang kemak-siatan.
Beberapa kali dalam sujudnya, Ganeeta sempat menitikkan air mata karena merasa tidak pantas untuk kembali menghadap Yang Maha Agung sebenarnya.
Akan tetapi, hal itu memang tidak dia perlihatkan kepada Faaz. Biar jadi urusannya dan Tuhan, begitu prinsip Ganeeta.
Sejauh ini, Ganeeta masih hanya mengungkapkan penyesalan. Dia belum berani meminta apapun di hadapan Tuhan.
Alasannya tentu karena malu, dia merasa terlalu sombong dan tidak tahu diri karena selama ini Ganeeta merasa teramat jauh.
Selang beberapa saat pasca dia mengakui kesalahan di hadapan sang pencipta, ketukan pintu terdengar dan Ganeeta bergegas membukanya segera.
"Alifah?"
"Ck, kalau tidak di hadapan Mas Faaz bisa tidak panggilnya Mbak atau Kakak? Aku jauh lebih tua darimu, Ganeeta."
"Tapi Mas Faaz bilang panggil nama saja."
"Aku tidak bersedia, yang boleh memanggilku Alifah saja adalah Mbak Shanum ... kamu tidak pantas, aneh rasanya."
"Oh, iya, Mbak, maaf," ucap Ganeeta seraya menundukkan kepala.
Untuk bagian ini dia akui memang ada benarnya. Sedari awal juga sudah merasa tidak sopan, tapi Faaz sendiri yang mengatakan memanggil Alifah dengan nama saja.
"Kamu sudah shalat?"
"Sudah, Mbak."
"Magrib berapa rakaat mbak tanya?"
"Tiga," jawab Ganeeta apa adanya.
"Sama rawatibnya berapa?"
"Hah?" Ganeeta mengerjap pelan, dia sedikit bingung untuk bagian ini karena memang kerap kali tidak tahu istilah, tapi tahu kalau menggunakan bahasa yang sederhana.
Tanpa berniat menjelaskan maksud pertanyaannya, Alifah langsung saja menilai buruk Ganeeta yang sedari awal memang dia duga kosong otaknya.
"Benar-benar miris," gumam wanita itu cukup pelan, tapi dapat terdengar dengan jelas oleh Ganeeta.
"Maaf, Mbak, ak_"
"Sudahlah, bantu aku menyiapkan makan malam," ucap Alifah kemudian berlalu dan tentu saja tidak dapat Ganeeta ikuti segera karena saat ini masih pakai mukena.
Alhasil, hal itu membuat Alifah salah sangka dan dengan lancang menerobos masuk ke kamar mereka demi mendesak Ganeeta untuk keluar segera.
"Heh bocah, ini bukan rumahmu ya ... jangan berpikir bisa manja dan semua disiapkan oleh pembantu, buruan keluar."
.
.
- To Be Continued -
denger dr mulut orang lain lebih sakit hati
gapapa sebagai pengantar tidur
sabar ya ... tapi mas suami mu gak. merasa beban Lo Net ...