Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wisuda
Setelah kejadian di rumah sakit, ibarat bintang-bintang yang tak pernah lagi bersinar di langit malam, Kusuma, Agvia, dan Bilqis sepakat untuk tak mengungkit kembali apa yang terjadi di sana. Hari ini, kampus mereka menjadi lautan bahagia, dipenuhi gelak tawa dan pelukan hangat saat para mahasiswa satu per satu pulang bersama orang tua mereka. Namun, Bilqis seperti sebuah bunga yang tumbuh di tengah badai, terlahir sebagai anak yatim piatu, merindukan kehangatan yang tak pernah ia rasakan.
"Tante, saya belum bisa pulang ke Malang sekarang," ucap Bilqis, suaranya lembut namun tegas, seolah menantang langit yang kelabu.
Bilqis, dengan satu-satunya kakak sebagai penopang hidup, berjuang di tengah ombak kesendirian yang tak kunjung reda. Ia berusaha keras menjalani hidup tanpa bantuan siapa pun, termasuk Mamanya Agvia, yang tak lain adalah adik kandung ibunya.
"Tapi Bilqis, setidaknya kamu bisa bekerja di klinik paman kamu!" ujar Linda, mama Agvia, berusaha menyalakan harapan yang meredup.
"Alhamdulillah, saya sudah dapat pekerjaan di sini, Tante. Semoga semuanya bisa menjadi berkah," jawab Bilqis, seolah melemparkan jaring harapan ke lautan yang tak bertepi.
Ia meraih tangan sang Tante, seolah meminta restu untuk melangkah maju ke dunia yang penuh tantangan.
"Baiklah, jika terjadi apa-apa? Pulanglah! Rumah tante terbuka lebar," ujar Linda, sambil memberikan senyuman penuh kasih, seperti cahaya mentari yang menghangatkan tanah kering.
Semua saling berpamitan, kebahagiaan tampak terpancar dari raut wajah mereka, sementara Kusuma hanya bisa berdiri di sudut, menjadi pengamat kesenangan yang tak mampu ia sentuh.
"Bilqis! Kamu sudah siap?" tanya Dokter Lista, suaranya mengalun lembut seperti musik yang menenangkan.
"Sudah, Dok!" Bilqis menjawab, semangat berapi-api membara dalam suaranya.
"Kita berangkat sekarang!"
"Kusuma, kamu jangan bersedih, ya. Maaf, aku harus pergi dengan Dokter Lista," kata Bilqis, dengan nada menyejukkan hati.
Ia memeluk Kusuma untuk berpamitan, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya perpisahan.
Kusuma tersenyum, namun air mata mengalir tanpa diundang, menetes seperti embun pagi yang jatuh dari daun. Tangan kanannya berusaha menghapus jejak air mata yang menggurat kesedihan, sementara tangan kirinya menarik koper, melangkah pergi meninggalkan kampus yang penuh kenangan, pulang ke Jogja dengan jiwa yang terasa sepi.
"Kenapa keluarga Kusuma tidak datang?" tanya Dokter Lista, suaranya mengalun seperti aliran sungai yang lembut.
"Ibunya sakit, Dok. Sementara ayah tirinya menghadiri pernikahan anaknya yang bertepatan dengan wisuda kita hari ini," jawab Bilqis, suaranya terisak seperti dedaunan yang tertiup angin.
"Kenapa tidak memberitahu? Pak, putar balik ke kampus," perintah Dokter Lista, nada suaranya penuh kepedihan, seolah jiwanya terjerat oleh kepedihan Kusuma.
Sejak menjadi dosen pendamping, Dokter Lista bagaikan awan gelap yang mengintimidasi pelangi; ia tidak begitu menyukai Kusuma karena gadis itu beberapa kali membuat kekacauan di saat jam kuliah. Ironisnya, meskipun Kusuma adalah mahasiswa terbaik di kampus, sinar prestasinya seolah tertutup oleh bayang-bayang kesalahan.
Berbeda dengan Bilqis, yang bagaikan embun pagi yang menyejukkan. Dokter Lista sangat menyukainya, tidak hanya karena statusnya sebagai yatim piatu, tetapi juga karena perilaku Bilqis yang lemah lembut memancarkan cahaya hangat yang menarik simpati hati Dokter Lista.
"Berhenti, Pak!" seru Dokter Lista ketika melihat Kusuma menarik kopernya sendiri dari pintu gerbang. Dalam hati, sisi baik Dokter Lista tergerak, seolah badai amarahnya mereda oleh bayu lembut yang datang.
"Masuklah. Setelah Pak Joko mengantarkan kami, dia akan mengantarmu pulang," ujar Lista, menawarkan tumpangan seperti seorang pelindung yang datang di saat-saat genting.
"Terima kasih, Dok!" ucap Kusuma bahagia, senyum merekah di wajahnya seperti bunga yang mekar di tengah padang.
"Letakkan kopermu di belakang dan duduklah di samping Pak Joko!" perintah dosen Kusuma, suara tegasnya mengalun di antara riuhnya perpisahan.
Dalam perjalanan, Kusuma dan Bilqis lebih banyak diam, seolah mereka adalah dua bintang yang terjebak dalam orbit yang sama, menghormati kehadiran Dokter Lista yang menjadi pusat gravitasi mereka.
"Apa rencana selanjutnya, Kusuma? Apa kamu sudah dapat pekerjaan?" tanya Dokter Lista, suaranya lembut seperti petikan gitar di malam sunyi.
"Belum ada pekerjaan, Dok! Saya sedang berencana untuk mencarinya setiba di Jogja," terang Kusuma dengan tatapan penuh harap melalui spion mobil, matanya berkilau seperti bintang yang bersinar di kegelapan.
"Oh begitu! Semoga lancar, ya!" balas Dokter Lista, senyumnya membawa harapan seperti sinar mentari yang menembus awan gelap.
"Terima kasih, Dok," jawab Kusuma, rasa syukur mengalir dalam jiwanya.
Sesampainya di rumah Dokter Lista di Magelang, Bilqis dan sang dosen turun dari mobil, sementara Kusuma tetap berada di dalam, terjebak dalam pelukan kehangatan mesin, karena Pak Joko akan mengantarnya pulang.
"Kalau di Jogja tidak dapat pekerjaan, kemarilah, aku akan menerima kamu bekerja di sini," ujar Dokter Lista, tawarannya meluncur seperti sinar bulan yang menyinari jalan gelap, sebelum ia berlalu pergi.
"Kusuma, kamu ke sini saja, aku akan menunggumu di sini!" Bilqis meraih tangan Kusuma, berharap sahabatnya menerima tawaran Dokter Lista, seolah tangan mereka adalah jembatan menuju masa depan yang lebih cerah.
"Aku akan pulang dulu dan merawat ibu. Tunggu aku, ya," jawab Kusuma, senyumnya penuh harapan seperti embun yang menanti pagi.
Pak Joko melajukan mobilnya dengan santai, seolah waktu mengalir dalam irama lembut, hingga tiba di Jogja. Meski Pak Joko tetap melanjutkan kembali perjalanan ke Magelang, di benak Kusuma terbayang harapan-harapan baru yang bersinar di ujung jalan.
"Assalamualaikum, Bu," Kusuma memanggil lembut, seperti embun pagi menyapa dedaunan. Namun, rumahnya terkunci rapat, seolah hati pintu itu enggan mengungkapkan kisah yang tersimpan di dalamnya.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara lirih langkah kaki, seperti bayangan yang melintas di jalan setapak. Senyum Kusuma merekah, berharap melihat ibunya, sosok yang selama ini menjadi cahaya dalam hidupnya.
Namun, saat pintu terbuka, harapannya bergetar. Ia tidak menemukan ibunya, melainkan sang Nenek yang menggunakan tongkat, membukakan pintu dengan gerakan lambat yang seakan menggambarkan beban waktu.
"Mbah!" serunya, suaranya meluncur lembut seperti angin berdesir.
"Baru pulang kamu, Nduk!" kata Nenek, suaranya hangat seperti sinar matahari di pagi hari.
"Iya, Mbah!" jawab Kusuma, berusaha menampung semua kerinduan di dalam dadanya.
"Duduklah!" Kusuma memapah sang Nenek, menuntunnya duduk dengan hati-hati, seolah ia sedang membawa bunga langka yang harus dijaga.
"Ibu, wonten pundi, Mbah?" tanya Kusuma, rasa cemas menggelayut dalam suaranya.
"Duduk dulu, biar simbah cerita. Tadi sore, penyakit ibu kamu kambuh. Bapakmu mengantarnya ke rumah sakit, sedangkan adikmu ikut suaminya," jawab Nenek, seolah mengisahkan sebuah dongeng yang menunggu akhir bahagia.
"Di rumah sakit mana, Mbah?" pertanyaan Kusuma mengalir, mencari kepastian di antara kabut ketidakpastian.
"Di rumah sakit yang biasa ibumu datangi," jawab Nenek, nada suaranya membawa kabar yang menyejukkan namun sekaligus menyayat hati.
"Mbah, di rumah dulu, ya. Biar saya nyusul Bapak. Biar nanti Bapak yang pulang jaga simbah," ujar Kusuma, keberanian dalam suaranya seperti cahaya lilin yang berusaha bertahan di tengah badai.
"Ya Nduk!" jawab Nenek, merelakan Kusuma pergi dengan hati yang berat.
Setibanya di rumah sakit, Kusuma melihat ibunya terbaring sakit, seolah layu dalam pelukan malam. Tangisnya meledak, meratapi sang ibu yang kini tak berdaya, air matanya mengalir seperti hujan yang membasahi bumi yang kering.
"Bapak!" Kusuma memanggil lirih, suaranya nyaris terbenam dalam kesunyian, menemukan sosok bapaknya yang sedang tertidur di samping sang ibu, bagaikan pelindung dalam kegelapan.
"Kusuma, sudah tiba kamu?" tanya Harjuna, matanya yang lelah mencerminkan perjalanan penuh beban.
"Baru saja, Pak! Ibu bagaimana keadaannya?" Kusuma mengambil kursi dan duduk di samping bapaknya, kedekatan mereka seperti dua daun yang bergandeng di tengah angin.
"Kamu yang tabah, ya! Dan maafkan bapak tadi tidak bisa menghadiri acara wisuda kamu, karena adikmu tahu sendiri dia hamil. Bapak harus melangsungkan pernikahannya walau hanya menikah siri,” ujar Harjuna, suaranya mengalun penuh penyesalan.
"Bapak yang sabar, sekarang Bapak pulanglah, biar Kusuma yang nunggu," jawab Kusuma lembut.
**
Abdi, pria muda berusia 26 tahun, seperti embun pagi yang segar, baru saja mulai menapaki langkahnya sebagai seorang dokter muda. Dia akan bertugas di Puskesmas pembantu di salah satu desa di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, membawa harapan untuk menyembuhkan dan mengubah hidup orang-orang di sekitarnya.
Pagi ini, Abdi bersiap-siap untuk berangkat menuju NTB, sebuah perjalanan yang akan membawanya ke tanah yang dipenuhi oleh senyuman dan tantangan. Dia akan mendarat di Lombok International Airport sore harinya, di mana pintu-pintu baru akan terbuka lebar menunggu untuk dijelajahi. Dengan mobil panter hitam menanti, dia akan meluncur ke desa tempat dirinya ditugaskan, seolah melintasi jembatan menuju takdir yang telah digariskan.
Brian dan Inggit, dua perawat yang sudah seperti saudara bagi Abdi, telah menunggu di bandara. Mereka berasal dari Jawa Timur, seakan datang membawa angin segar dari pulau seberang. Perjalanan dari bandara menuju desa diperkirakan akan memakan waktu kira-kira 2,5 hingga 3 jam, sebuah perjalanan yang penuh dengan cerita yang menunggu untuk dituliskan.
“Apakah ada yang tertinggal?” tanya Abdi memastikan.
“Tidak dok, semuanya aman.” Jawab Brian sekaligus mewakili Inggit.
Namun, di luar jendela, langit mulai menunjukkan tanda-tanda kemurkaan. Awan mendung menggumpal, kian pekat seperti perasaan cemas yang menggelayut di hati Abdi. Hujan pun mulai turun, menyapa bumi di senja yang gelap gulita, seolah alam juga merasakan ketegangan menjelang awal tugasnya.
Suara petir tiba-tiba menggelegar, membangunkan suasana yang sebelumnya tenang. Seperti orkestra alam, suara petir bersahut-sahutan, mengisi hening dengan kegaduhan. Hujan tak henti-hentinya mengguyur, menciptakan simfoni yang mendebarkan, dan membuat suasana semakin mencekam.
“Mas Brian, apa enggak sebaiknya kita menepi dulu? Sepertinya alam sedang tidak bersahabat dengan kita," ujar Abdi, suaranya penuh kecemasan, seperti daun yang bergetar saat angin berhembus kencang.
"Tapi di sini jarang ada perkampungan, Dok!" sahut Inggit, suaranya menampakkan ketegangan yang sama.
"Pelan-pelan saja menyetirnya, Mas Brian!" pinta Inggit, ketakutannya menyelinap dalam nada bicara.
Petir kembali menggelegar, seakan memanggil mereka untuk tetap waspada. Hujan semakin lebat, menciptakan tirai air yang menutupi pandangan Brian. Mobil pun kehilangan kendali, meluncur ke kiri seolah menari dalam badai, tetapi akhirnya brisa dapat terkendali. Mereka terpaksa berhenti di tepi jalan, menunggu hujan reda, seperti para pelaut yang terjebak dalam badai menunggu ombak tenang.
Tanpa disadari, ketiga sahabat itu tertidur di dalam mobil, terlelap dalam pelukan malam yang mencekam. Suara ketukan kaca mobil membangunkan mereka di pagi hari yang cerah, seperti cahaya matahari yang berusaha menembus kabut gelap.
Abdi membuka mata, menguap perlahan, dan melihat ke arah jendela. Di sana, seorang pria yang tidak begitu tinggi berdiri di samping mobil, sosok yang terlihat seperti harapan di tengah badai. Dengan rasa ingin tahu yang membara, Abdi pun membuka jendela, bersiap untuk menyambut pertemuan yang mungkin akan menjadi awal dari banyak cerita baru.
“Bu, Pak, istri saya mau melahirkan! Tolong selamatkan istri saya, Pak!” pinta pria itu, suaranya bergetar penuh harap, seperti daun yang bergoyang ditiup angin dalam badai.
Mereka bertiga sepakat untuk membantu pria tersebut, namun naas, mobil yang mereka tumpangi seakan terjebak dalam labirin waktu, tak mampu melanjutkan perjalanan. Akhirnya, mereka melangkah di atas tanah yang becek menuju kampung tersebut, berjuang melawan langkah-langkah berat di jalanan yang berliku. Selama perjalanan, tak ada jejak sisa badai petir semalam; hanya bekas dingin yang menyisakan kerinduan akan pelukan matahari.
Jalan yang menanjak menuntun mereka melintasi sungai tanpa jembatan, seolah takdir ingin menguji keteguhan hati mereka. Akhirnya, mereka tiba di sebuah perkampungan yang tampak seolah tersimpan dalam lembaran sejarah, kuno dan anggun.
Di antara rumah panggung kecil terbuat dari kayu dan bambu, mereka menemukan seorang wanita hamil yang sedang mengeram, merintih kesakitan seperti bulan purnama yang terselimuti awan hitam. Wanita itu meraih tangan Abdi, seolah ingin mengikat harapan di tengah deru rasa sakitnya.
“Tolong selamatkan anakku!” pinta wanita itu, suaranya lembut namun penuh perjuangan, merintih dalam gelombang kesakitan.
“Selama persalinan, jangan pernah keluar dari rumahku!” ucap wanita itu lagi, mengulurkan tangan seakan menarik Abdi ke dalam pusaran harapan dan ketakutan. Abdi hanya mengangguk, menandakan bahwa ia telah siap menghadapi badai yang tak terduga.