Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EVELINE
“Azkan!!!” Suara dokter Nico kembali terdengar di dalam kastil Azkan. Teriakannya menggema di lorong lantai tiga kastil Azkan, diikuti suara derap langkah yang semakin mendekat. Laina dan Azkan yang sama-sama mendengarnya, segera beranjak dari tempat tidur. Laina segera merapikan penampilannya, dan Azkan meraih kemeja di gantungan bajunya, lalu membuka pintu tepat sebelum dokter Nico menggedor pintu kamarnya.
“Ada apa, Nic?” wajah dokter Nico pucat pasi.
“Eveline. Dia berkali-kali membunuh dirinya sendiri. Kau harus ke sana sekarang, Azkan.”
“Di mana dia?”
“Rumah sakit. Bangsal khusus.”
“Ayo.” dokter Nico langsung berlari kembali, meninggalkan Azkan yang sepertinya masih ingin berpamitan pada Laina.
“Boleh aku ikut?” Laina tak bisa diam saja setelah mendengar kata-kata dokter Nico.
“Ayo.” Azkan mengulurkan tangannya, menyambut tangan Laina dalam genggamannya. Mereka berkendara lebih cepat dari biasanya menuju Rumah Sakit Asa yang terletak di sisi lain pulau dari kastil Azkan. Sesampainya di Rumah Sakit Asa, mobil Azkan tidak masuk lewat pintu masuk seperti yang seharusnya, melainkan berbelok ke sisi kanan bangunan, melewati jalan perbatasan antara bangunan rumah sakit dengan lahan pertanian pulau Asa. Di sisi tembok tinggi rumah sakit, terdapat sebuah gerbang yang hanya cukup untuk jalan masuk satu mobil. Di balik gerbang itu, sudah ada seorang petugas keamanan yang menunggu mobil Azkan. Segera setelah mobil Azkan masuk, gerbang itu pun ditutup rapat dan digembok oleh petugas yang berjaga.
Setelah mematikan mesin mobilnya, Azkan menggandeng Laina berjalan di sisinya, setengah berlari menyusuri lorong samping yang lengang, dengan deretan pintu-pintu kamar yang berjajar rapi, dan tertutup rapat. Laina mengamati sekelilingnya sambil mengejar langkah tergesa-gesa Azkan. Di sini, suasananya berbeda. Tidak ada banyak orang, tidak terdengar suara apa pun dari setiap kamar pasien yang mereka lewati, dan hingga di ujung lorong, Laina tak melihat pos perawat penjaga seperti di rumah sakit pada umumnya. Di sini, bahkan tidak ada akses jalan lain. Hanya gerbang yang dijaga penjaga keamanan tadi. Lalu sebaris kamar pasien dari ujung tembok sampai ujung tembok lain.
Azkan membawa Laina sampai ke ujung kanan barisan kamar pasien tersebut dan langsung membuka pintunya. Di dalam sana, pemandangan yang tak akan pernah bisa dilupakan Laina, menyapanya dengan riuh.
Seorang perawat pria dan wanita memegangi tangan kanan dan kiri Eveline yang kini penampilannya sangat berbeda dari kali terakhir Laina melihatnya. Rambut Eveline berantakan tak karuan, pakaiannya, yang merupakan pakaian pasien, terkoyak dan dipenuhi bercak darah, lalu tatapan mata Eveline berubah menjadi tatapan mata yang menakutkan. Dia benar-benar sosok yang tak bisa dikenali sebagai Eveline lagi. Dokter Nico, di sisi tempat tidur yang terus berguncang karena usaha Eveline untuk meloloskan diri, sedang memasukkan sebotol kecil cairan obat ke dalam jarum suntik. Di sisinya, seorang perawat yang bertubuh lebih besar dari semua orang di ruangan itu kecuali Azkan, menunggu instruksi dokter Nico. Setelah dokter Nico menatapnya sambil mengangguk kecil, perawat bertubuh besar itu segera menahan dua kaki Eveline, membuatnya tak bisa bergerak meski berteriak-teriak hingga suaranya memekikkan telinga semua orang. Dokter Nico segera menusuk paha Eveline dengan jarum suntiknya, mendorong masuk semua cairan obat di dalamnya hingga tak bersisa. Tak sampai semenit, tubuh Eveline melemas, kedua matanya terpejam, dan kamar menjadi hening. Kedua perawat yang tadi memegangi tangan Eveline, mengikatnya di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Juga kedua kakinya. Eveline sekarang, menjadi seperti seorang tahanan pesakitan yang sedang menjalani hukuman fisik.
Laina menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak bersuara atau berbicara. Dia tak sanggup memahami semua ini.
“Lihat ini,” dokter Nico mengabaikan keterkejutan Laina, dan mengajak Azkan mendekat pada Eveline yang sudah tak sadarkan diri.
Dokter Nico menunjukkan bekas sayatan yang begitu dalam di pergelangan tangan Eveline dan juga di lehernya. Laina yang terus mengekor di belakang Azkan, melihat semua itu dan hatinya terasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau dia melukai diri sampai seperti ini, bukankah seharusnya dia sudah mati?
“Lalu di sini.” dokter Nico menyibakkan baju atasan Eveline, menunjukkan luka sayatan yang tak kalah dalam dan masih mengaga di perut Eveline. Ternyata karena itu pakaiannya dipenuhi bercak darah. Laina berbicara pada dirinya sendiri. Perlahan, dia mulai mengerti apa yang tengah dilakukan Eveline. Tetapi dia tak bisa memahami, kenapa setelah semua luka itu, Eveline masih begitu bertenaga untuk memberontak seperti tadi?
“Aku akan mengobati semua luka-lukanya. Tapi sisanya kuserahkan padamu.” kata-kata dokter Nico tak bisa dimengerti Laina.
“Iya, aku mengerti.” Azkan menatap Eveline sambil menghela nafas. Tatapannya terlihat mengasihani.
“Lai,” Azkan menarik Laina menjauh dari tempat tidur Eveline supaya Nico bisa mengobati luka-luka yang dibuat Eveline pada tubuhnya. “... apa kau yakin ingin tetap ada di sini? Mungkin kau akan terkejut dengan apa yang akan terjadi sebentar lagi.” Sebenarnya Laina tak yakin dengan jawabannya. Tetapi dia tahu pasti kalau dia tidak ingin pergi. Dia ingin tahu semuanya.
Rasa ingin tahunya menang. “Iya, aku tidak apa-apa. Lakukan saja apa yang harus kau lakukan. Aku akan menemanimu di sini.” tatapan Azkan seakan sedang menyelidiki kedalaman hatinya. Namun sudah terlambat bagi Laina untuk mengubah jawabannya. Laina menepuk lembut punggung tangan Azkan yang masih menggandengnya, “Aku benar-benar tidak apa-apa, Az. Lagipula, hal ini berhubungan denganmu, jadi wajar kan kalau aku ingin ada di sini, menemanimu.”
“Tapi, bagaimana kalau kau jadi ketakutan?”
“Kalau aku takut, aku akan memberitahumu. Lalu kau akan membuatku tidak takut lagi kan?”
“Iya, itu benar, tapi tetap saja …”
“Lakukan saja apa yang harus kau lakukan, Az. Aku kan sudah memutuskan untuk menjadi kekasihmu. Jadi semakin banyak yang kutahu, semakin baik kan? Aku jadi bisa mengenalmu lebih dalam dan menerimamu sepenuhnya.”
“Aku benar-benar tidak bisa menang darimu ya?” senyuman Laina mengembang, Azkan pun memantulkan senyuman yang sama sambil mengecup pipinya.
“Mulai sekarang, bertahanlah di sisiku. Jangan kemana-mana. Apapun yang terjadi, apapun yang kau lihat, apapun yang kau rasakan, tetaplah di sisiku, jangan lepaskan tanganku. Mengerti?” tatapan serius Azkan membuat Laina membulatkan tekadnya. Dia mengumpulkan semua keberanian yang dia miliki, bersiap pada segala hal yang mungkin akan terjadi, meski dia tak punya bayangan apa pun tentangnya.
“Nico, mundurlah.” Azkan mengangkat tangan kanannya yang bebas, mengeratkan genggaman tangan kirinya yang menggandeng Laina, lalu mengarahkan tangan kanannya pada kepala Eveline. Sekeliling Laina dan Azkan segera tertutup kubah awan tembus pandang. Laina bisa melihat Nico yang berdiri di belakangnya, dan dua perawat yang jaraknya lebih jauh lagi. Tetapi tak satupun dari mereka yang ada di dalam kamar ini, bergerak. Semua diam. Setelah memperhatikan lebih teliti, Laina menyadari kalau Nico tidak berkedip.
Laina menatap Azkan, yang masih memfokuskan perhatiannya pada tangan kanannya dan Eveline.
Tiba-tiba awan tembus pandang di sekelilingnya berubah menjadi potongan-potongan gambar yang berantakan. Semuanya menunjukkan wajah Eveline dan beberapa orang lain yang tak pernah dikenal Laina. Lalu gambar-gambar yang berantakan itu mulai menyatu, memenuhi isi kepala Laina dengan suara, perasaan, dan kehidupan yang bukan miliknya. Ini milik Eveline.
“AAAAAAAAAGGGGHHHHHHHHH!!!!!!!!” teriakan Eveline memekikkan telinga. Kedua matanya terbuka lebar hingga otot matanya memerah. Wajahnya menunjukkan dengan jelas betapa menyakitkan yang dirasakan tubuhnya sekarang. Tubuh Laina gemetar. Dia ikut merasakan semua itu. Namun usapan lembut ibu jari Azkan di punggung tangannya yang terus digenggam erat, menenangkannya. Keberaniannya tumbuh lebih besar dari yang dia tahu dia miliki. Sementara Eveline, terus meronta, berteriak, berusaha meloloskan diri, tapi terus dihisap oleh kenangan masa hidupnya.
Laina melihat dengan pikirannya. Seakan tubuhnya, turut memasuki kehidupan Eveline.
Ini bukan hal yang kubayangkan.