Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Kesetiaan yang Diuji
Malam semakin larut, namun ketegangan di istana belum juga mereda. Pangeran Ji-Woon, yang mengabaikan nasihat Ratu untuk beristirahat, berjalan dengan tegas menuju paviliun Seo-Rin. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya tentang serangan yang dialami oleh selirnya malam itu. Bagi Ji-Woon, peristiwa itu tak bisa dianggap sebagai insiden biasa, dan mungkin saja merupakan ancaman yang ditujukan padanya atau keluarganya melalui Seo-Rin.
Saat Pangeran tiba di paviliun Seo-Rin, Aluna sedang termenung, memandangi bayangan bulan di permukaan kolam kecil di taman paviliun. Pikirannya penuh tanda tanya dan kekhawatiran, bukan hanya tentang kejadian yang baru saja terjadi, tetapi juga tentang dampaknya pada posisinya di istana. Begitu banyak hal yang berputar di benaknya, terutama karena ia merasa bahwa insiden tersebut tak hanya sebatas kecelakaan atau serangan biasa.
Pangeran Ji-Woon melangkah mendekat dengan pelan, namun cukup membuat Aluna tersadar dari lamunannya. Ia mendongak, menatap Pangeran dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan ketakutan. Pangeran menghentikan langkahnya, lalu menatapnya dengan lembut.
“Seo-Rin, bagaimana keadaanmu?” tanya Ji-Woon, suaranya tenang namun mengandung kepedulian yang tulus.
Aluna berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Hanya sedikit terkejut dengan kejadian tadi malam.”
Ji-Woon mendesah pelan. Ia mendekat, mengulurkan tangannya untuk menenangkan Aluna. “Kau tak perlu khawatir. Aku akan mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Namun, aku ingin memastikan bahwa kau aman. Apapun yang terjadi, kau adalah bagian dari tanggung jawabku di sini.”
Mendengar ketulusan dalam ucapan Pangeran, Aluna merasa dadanya bergetar. Ada perasaan yang tak biasa—sesuatu yang tak ia rencanakan dalam alur novel yang ia tulis. Kehadiran Pangeran begitu nyata, dan Aluna mulai merasakan kehangatan yang tak pernah ia bayangkan. Tanpa sadar, ia mengangguk pelan.
Namun, jauh di dalam hatinya, Pangeran Ji-Woon masih mempertanyakan apakah Seo-Rin yang ia kenal benar-benar telah berubah. Pangeran menyadari bahwa sejak insiden ini, Seo-Rin mulai menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian yang berbeda dari yang biasa ia lihat.
Dalam kebingungan itu, Panglima Han datang, berjalan dengan langkah mantap menuju mereka. Setelah memberikan salam hormat, ia berdiri di samping Pangeran Ji-Woon, lalu beralih menatap Aluna.
“Yang Mulia,” Panglima Han membuka percakapan, “penjagaan di sekitar paviliun telah diperketat. Saya telah menugaskan beberapa orang terpercaya untuk memastikan tidak ada yang mencurigakan. Namun, saya merasa insiden ini menunjukkan adanya ancaman di dalam istana yang harus kita waspadai.”
Pangeran Ji-Woon mengangguk, pandangannya serius. “Kau benar, Han. Kita tidak bisa menganggap remeh. Siapa pun yang berani menyusup ke istana malam itu jelas tahu apa yang dia lakukan.”
Panglima Han memandang Aluna dengan sorot mata penuh pengertian, seolah mengatakan bahwa ia turut peduli pada keselamatannya. Lalu, dengan suara lembut, ia menambahkan, “Nona Seo-Rin, jika Anda merasa ada sesuatu yang aneh atau mencurigakan, mohon jangan ragu untuk memberi tahu saya. Ini adalah tanggung jawab saya sebagai panglima untuk melindungi seluruh keluarga istana.”
Aluna mengangguk, merasa sedikit tenang dengan adanya Panglima Han dan Ji-Woon di sisinya. Meskipun ia masih bingung dengan situasinya di dunia yang serasa semakin nyata ini, Aluna tahu bahwa memiliki perlindungan dari keduanya adalah hal yang berharga.
Malam itu, Pangeran Ji-Woon memutuskan untuk tetap di paviliun Seo-Rin untuk memastikan keamanannya. Meskipun hal itu membuat para pelayan berbisik penuh penasaran, mereka tetap melanjutkan tugas mereka dengan hati-hati.
Sementara itu, di tempat lain, Putri Kang-Ji mendengar berita bahwa Pangeran Ji-Woon berada di paviliun Seo-Rin. Rasa cemburu yang sejak awal membara di hatinya semakin menjadi-jadi. Bagi Kang-Ji, perhatian Ji-Woon pada Seo-Rin adalah penghinaan besar yang tak bisa ia terima begitu saja.
Dengan penuh amarah, ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa suatu hari, ia akan menyingkirkan Seo-Rin dari sisi Ji-Woon. Tidak peduli bagaimana caranya atau apa yang harus ia korbankan, Putri Kang-Ji akan memastikan dirinya menjadi satu-satunya wanita yang diperhatikan oleh Pangeran Ji-Woon.
*
Sepeninggal Panglima Han, suasana terasa hening, hanya diiringi suara lirih angin malam yang menyusup melalui sela paviliun. Pangeran Ji-Woon, yang masih diliputi oleh kekhawatiran dan tekad untuk melindungi Seo-Rin, tiba-tiba meraih tangan Aluna dengan lembut namun tegas. Tanpa berkata apa-apa, ia membawanya perlahan memasuki kamar.
Aluna terdiam, membiarkan Pangeran memandu langkahnya. Hatinya berdebar lebih cepat, bercampur dengan kegelisahan dan kebingungan. Tak pernah ia bayangkan, dalam novel yang ia tulis, bahwa ia akan berada di posisi seperti ini—di kamar yang sama, dalam keheningan yang penuh arti dengan seorang tokoh yang dulu hanya ada di dalam imajinasinya.
Aluna menatap Pangeran Ji-Woon dengan rasa bersalah. Cahaya lentera yang lembut menerangi wajahnya, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam di matanya. Ia menunduk sejenak, berusaha menata kata-kata yang ingin diucapkannya.
“Pangeran …,” Aluna memulai, suaranya sedikit bergetar. “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa kejadian tadi bisa sampai melukai Anda.” Ia menarik napas dalam, menatap Ji-Woon dengan sorot mata yang sarat dengan penyesalan. “Tidak seharusnya Anda menahan serangan itu. Seharusnya Anda biarkan saja gadis itu menyerangku.”
Pangeran Ji-Woon menatapnya, sedikit terkejut mendengar kalimat itu. Ada rasa heran yang tergambar jelas di wajahnya, dan ia menggeleng pelan.
“Seo-Rin, apa kau pikir aku akan diam saja melihat orang yang berada di sampingku diserang seperti itu?” Pangeran Ji-Woon berkata, suaranya tegas namun lembut. “Sebagai seseorang yang ada di lingkup kerajaanku, keselamatanmu adalah tanggung jawabku juga.”
Aluna menunduk, merasa kata-kata Pangeran membuatnya tersentuh. Namun, bagian dari dirinya masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Pangeran harus terluka demi dirinya.
“Yang Mulia, aku hanyalah seorang selir. Luka ini … seharusnya tak perlu Anda tanggung.” Ia mencoba menjelaskan, merasa tidak layak atas perhatian yang diberikan Pangeran padanya. Namun, melihat raut tegas di wajah Pangeran Ji-Woon, ia sadar bahwa ia mungkin tidak akan bisa meyakinkannya.
Pangeran Ji-Woon mendekat dan mengulurkan tangan, menangkup dagunya dengan lembut agar Aluna kembali menatapnya. “Seo-Rin, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Aku yang memilih untuk melindungimu, dan aku tak menyesalinya.”
Ada jeda sesaat dalam keheningan, saat keduanya saling menatap. Aluna merasakan desakan dalam hatinya, campuran dari rasa kagum, syukur, dan ketulusan. Ji-Woon, dengan tatapan yang dalam dan lembut, melepaskan tangannya, namun senyumnya yang hangat tetap tersisa.
Malam itu begitu sunyi, seolah dunia luar perlahan menghilang, menyisakan hanya Pangeran Ji-Woon dan Aluna di tengah keheningan. Lentera yang redup menerangi kamar dengan sinar hangat, menciptakan bayangan-bayangan lembut yang bergerak seiring hembusan angin.
Pangeran Ji-Woon meraih tangan Aluna dengan lembut. Ia memandanginya sejenak, raut wajahnya penuh perhatian dan kelembutan, berbeda dari ketegasan yang biasanya terpancar darinya. Suara detak jantung Aluna terasa lebih keras, memenuhi malam yang sepi.
“Seo-Rin …,” ujar Pangeran dengan suara yang nyaris berbisik, lembut namun penuh makna. “Kau telah melalui banyak hal hari ini. Izinkan aku menemanimu malam ini.”
Aluna mengangkat wajahnya, menatap Pangeran Ji-Woon yang berada di hadapannya. Ada rasa hangat yang mengalir di antara mereka, seperti arus tak terlihat yang perlahan menghubungkan dua jiwa yang terjebak dalam badai emosi dan takdir.
Keheningan malam semakin dalam, dan hanya cahaya rembulan yang menyorot lembut melalui tirai, menerangi kamar dalam temaram yang menenangkan. Aluna merasakan setiap sentuhan dari Pangeran Ji-Woon seperti percikan hangat yang membuat hatinya bergetar. Tanpa kata-kata, hanya keheningan dan napas mereka yang saling mengisi ruang di antara mereka.
Pangeran Ji-Woon perlahan mendekatkan wajahnya, dan dengan lembut bibirnya menyentuh dahi Aluna, membelai dengan kehangatan yang begitu tulus. Sentuhan itu begitu tenang, namun membawa ribuan perasaan yang mengalir seperti arus. Ciuman hangat itu kemudian bergerak perlahan, menelusuri pipinya, seolah ingin menenangkannya, menghapus segala kekhawatiran yang ada di benaknya.
Degup jantung Aluna semakin berdebar kencang, seakan-akan seluruh dunianya menyempit hanya pada momen ini, hanya pada kehadiran Pangeran Ji-Woon yang begitu nyata di sampingnya. Tanpa sadar, ia memejamkan mata, membiarkan setiap detik berlalu dalam keheningan yang penuh arti. Ji-Woon melanjutkan sentuhan lembut itu, menciptakan kehangatan di setiap inci wajah Aluna.
Dengan lembut, Ji-Woon meraih tangan Aluna, jari-jarinya menyatu dalam genggaman yang menenangkan. Tanpa memutuskan pandangan, ia menatap dalam-dalam ke mata Aluna, seolah mencoba menyampaikan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Perlahan, ia merebahkan tubuh Aluna di atas tempat tidur, membawanya dalam dekapan yang hangat dan menenangkan.
Di tengah keheningan malam yang syahdu, mereka membiarkan perasaan mereka mengalir tanpa batas. Tidak ada lagi jarak atau kebingungan di antara mereka—hanya ada kehadiran Ji-Woon yang menenangkan dan pelukan hangat yang memberi rasa aman bagi Aluna. Mereka menghabiskan malam itu dalam keintiman yang begitu damai, membiarkan hati mereka berbicara dalam keheningan, terhubung oleh perasaan yang kini tak lagi bisa diingkari.
Di antara keheningan malam yang tenang, Aluna menemukan ketenangan dalam kehadiran Ji-Woon. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia yang dulu hanya khayalan ini, kini telah menjadi kenyataan yang membawa rasa bahagia yang tak pernah ia bayangkan.
Bersambung >>>