novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Pintu ke Masa Lalu
Angin dingin berembus melewati pepohonan yang menjulang tinggi, mengirimkan desiran aneh ke dalam hutan. Aric, Lyria, dan Kael berjalan dalam diam, pikiran mereka masih terguncang oleh kejadian sebelumnya. Kekuatan yang mengalir dari Aric adalah sesuatu yang tak pernah mereka duga, dan itu membuat mereka lebih waspada dari sebelumnya.
Lyria akhirnya memecah keheningan. "Aric," katanya dengan suara pelan namun penuh perhatian. "Kau benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padamu tadi?"
Aric menggeleng, wajahnya mencerminkan kelelahan yang ia rasakan baik secara fisik maupun emosional. "Aku benar-benar tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi... saat itu, rasanya seperti ada sesuatu dalam diriku yang ingin keluar. Seperti bayangan yang tak bisa ku kendalikan." Ia mengepalkan tangan, menatap tanah dengan tatapan kosong. "Suara itu... itu bukan aku."
Kael melirik Aric dengan mata waspada. Meskipun mereka telah berteman lama, saat ini ia merasa bahwa ia tidak benar-benar mengenal sahabatnya. "Mungkin kita harus tahu lebih banyak tentang legenda Dewa Naga Kehancuran itu," katanya, mencoba menenangkan diri. "Kalau memang kau terhubung dengannya, kita harus mencari cara untuk memastikan kau tetap... kau."
Lyria mengangguk setuju. "Tapi bagaimana?" Ia menghela napas, bingung. "Kita tidak punya banyak sumber di sini. Hutan ini penuh misteri, dan kita bahkan belum tahu apakah kita akan keluar hidup-hidup."
Eldric, yang berjalan di belakang mereka, akhirnya angkat bicara. "Ada cara untuk memahami masa lalu," katanya, suaranya serak namun penuh keyakinan. "Tetapi itu akan membutuhkan keberanian kalian semua. Kalian harus siap menghadapi kebenaran, tidak peduli seberapa menyakitkan itu."
Aric menatap Eldric, rasa ingin tahu dan ketakutan bercampur dalam hatinya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya.
Eldric memandang ke kejauhan, seolah-olah mencari sesuatu yang tak terlihat. "Di tengah hutan ini, ada sebuah kuil kuno yang pernah dibangun oleh pengikut Dewa Naga," katanya. "Di sana, kalian akan menemukan Portal Kenangan, pintu yang akan membawamu ke masa lalu dan mengungkap kebenaran yang telah lama terkubur."
Lyria terkejut mendengar hal itu. "Portal Kenangan?" ulangnya. "Itu terdengar berbahaya. Bagaimana jika kita terjebak di masa lalu?"
Eldric menatapnya, ekspresinya serius. "Itu adalah risiko yang harus kalian ambil," katanya. "Tapi itu juga satu-satunya cara untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Aric, dan mungkin menemukan cara untuk mengendalikan kekuatan itu sebelum ia melahap jiwanya."
Aric menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan misteri ini terus menghantuinya. Jika benar ia adalah pewaris dari kekuatan kegelapan, maka ia harus tahu mengapa, dan bagaimana ia bisa mengendalikannya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Bawa kami ke kuil itu."
Eldric tersenyum tipis, seolah-olah ia sudah memperkirakan jawaban itu. "Ikuti aku," katanya, dan mereka mulai berjalan lebih dalam ke hutan, menuju tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang.
---
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah area yang dikelilingi oleh pilar-pilar batu tinggi yang berlumut. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah kuil kuno, temboknya retak dan ditumbuhi akar-akar pohon yang menyelimuti hampir seluruh strukturnya. Pintu besar dari batu hitam berdiri kokoh di depan mereka, dihiasi ukiran naga yang tampak hidup dalam gelap.
"Ini dia," kata Eldric, berhenti di depan kuil. "Kuil Para Naga. Tempat di mana kenangan lama masih hidup dan berbisik kepada mereka yang berani mendengarnya."
Aric menelan ludah, merasa jantungnya berdetak kencang. Meskipun ia sudah memutuskan untuk melanjutkan, ketakutan masih merayapi pikirannya. "Apa yang harus kami lakukan di sini?" tanyanya, mencoba tetap tenang.
Eldric mengangkat tangan, menunjuk ke pintu batu. "Masuklah ke dalam kuil," katanya. "Di dalam, kalian akan menemukan altar yang digunakan untuk memanggil kenangan. Tapi ingat, setiap kenangan yang kalian lihat akan terasa nyata, dan bisa saja melukai kalian jika kalian tidak cukup kuat."
Lyria menggenggam tongkat sihirnya lebih erat, mencoba menenangkan detak jantungnya. "Apakah kita benar-benar siap untuk ini?" bisiknya, menatap Kael.
Kael mencoba tersenyum, meskipun senyumnya tampak gugup. "Kita tidak punya pilihan," katanya. "Kita harus melindungi Aric dan membantu dia memahami apa yang terjadi. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur."
Aric menatap kedua sahabatnya, merasa terharu dengan keberanian mereka. "Terima kasih," katanya pelan. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku bersyukur kalian ada di sini bersamaku."
Lyria tersenyum, mencoba mengusir rasa takut yang menghantuinya. "Kita selalu bersama," katanya. "Sampai akhir."
Dengan tekad yang diperbarui, mereka bertiga berjalan menuju pintu besar itu. Eldric menyentuh batu hitam, dan ukiran naga di pintu itu mulai bersinar dengan cahaya biru yang misterius. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong gelap yang penuh dengan bayangan yang bergerak seolah-olah memiliki nyawa sendiri.
"Masuklah," kata Eldric, suaranya bergema di udara. "Dan bersiaplah menghadapi kebenaran."
Aric, Lyria, dan Kael saling pandang satu terakhir kali sebelum melangkah masuk ke dalam kegelapan. Udara di dalam terasa berat, penuh dengan aroma debu dan keheningan yang menekan. Cahaya biru dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding memberi penerangan yang cukup bagi mereka untuk melihat altar di ujung ruangan.
Mereka berjalan perlahan, dan Aric merasa jantungnya berdetak semakin cepat. "Aku siap," katanya, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Apa pun yang terjadi, aku akan menghadapi ini."
Lyria meletakkan tangannya di pundak Aric, memberinya keberanian. "Kami di sini bersamamu," katanya. "Jangan pernah melupakan itu."
Mereka berhenti di depan altar, yang diukir dengan simbol-simbol kuno yang bersinar samar. Aric mengangkat tangannya, menyentuh permukaan dingin altar, dan tiba-tiba, sebuah suara bergema di seluruh ruangan.
"Selamat datang, Pewaris Kegelapan," suara itu berkata, dalam dan penuh kuasa. "Apakah kau siap melihat masa lalu yang telah lama tersembunyi?"
Aric menutup matanya sejenak, lalu mengangguk. "Ya," jawabnya dengan tegas. "Tunjukkan padaku."
Cahaya biru dari altar itu meledak, melingkupi mereka bertiga. Dunia di sekitar mereka berubah, dan tiba-tiba mereka tidak lagi berada di dalam kuil. Sebaliknya, mereka berdiri di padang luas, di bawah langit yang dipenuhi oleh naga-naga besar yang terbang, dan di depan mereka, perang besar sedang berkecamuk—perang yang akan mengubah segalanya.