NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Gita telah mengikuti pembelajaran pertama yang dilakukan di kelasnya.

Rasa suntuk bercampur angin dingin yang digerakkan masuk hingga dapat menerpa wajahnya, telah dirasakan cukup lama.

Tirai-tirai jendela melembutkan kulitnya beberapa kali, karena itu membuat perempuan merasakan beratnya mata yang berjalan turun.

Ruang kelas sepetak dihuni dua puluh lima murid sejak awal. Guru matematika memulai pengajaran tanpa berhenti melihat wajah-wajah anak didiknya yang lesu. Angka-angka yang dicampur dengan huruf dan huruf, tidak bisa diterima di otak.

Berbeda dengan waktu ketika duduk di bangku sekolah dasar. Perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian.

Ketukan demi ketukan papan selalu mengejutkan. Katanya agar mereka fokus belajar dan tidak melupakan materi-materi yang ditulis sekarang.

Pangkuan wajah selalu dilakukan bagi salah seorang murid dengan ikatan rambut panjang. Selain itu, mengintai Salma yang selalu menulis, Gita selalu menganggap temannya selalu rajin belajar.

Satu jam berlalu cukup cepat, tetapi pengaruh menunggu jam istirahat tetaplah terasa lama. Menghadap mata ke jam dinding, rasanya begitu lama untuk menyelesaikan pelajaran pertama.

Seketika tubuh yang membungkuk menjadi kesakitan untuk mendengarkan materi yang disampaikan. Alih-alih berharap ilmu itu bisa meresap masuk, ternyata tidak.

Bukan pikiran Gita yang dipenuhi dengan angka-angka rumus, melainkan menu-menu kantin menggiurkan hari ini.

Semakin lama materi matematika berjalan otomatis, kegelapan mata menutupi bola matanya, pelan-pelan.

Tertidur dengan posisi tangan memangku wajahnya.

Gerakan murid itu turut diperhatikan oleh bapak berkumis tebal dari tempat ia berdiri. Gerakan spidol harus berhenti karena satu anak tidak memperhatikan.

Ketika lainnya fokus menulis dan mencatat, Pak Fajar berjalan menuju meja yang dipakai, membuka tas hitam, mengambil barang yang diperlukan.

Setelah satu barang selesai diambil, guru matematika memutar barang itu ke belakang tubuhnya. Menyembunyikan ketika murid didiknya tidak fokus melihat gerak-geriknya.

Lemparan jarak jauh mengenai meja belajar dan benda aneh berhasil menyentuh kulit tangan Gita.

"Ular!" Gita membuang cepat benda tadi.

Teriakan melengking, mengejutkan seisi kelas.

Salma menoleh kaget, sedangkan seluruh anggota kelas delapan B tersentak kaget tentang apa yang sedang menimpa mereka. Ada yang terjatuh dari kursi karena suara mengagetkan, ada pula yang mendorong meja.

Semua anak menjauh dari kursi-kursi itu untuk mengetahui keberadaan ular yang disebutkan.

Pak Fajar menjulurkan kedua tangan. "Tenang, tenang semuanya. Tidak ada ular asli. Bapak hanya mencoba membangunkan teman kalian yang tertidur."

Suruhan itu melegakan peringatan tentang suara mengejutkan.

Seluruh anak berjalan menuju tempat masing-masing. Merapikan ulang bencana kekacauan yang menimpa.

"Bapak!" seru Gita, kesal diberikan ular mainan.

Pak Fajar tertawa lega. "Kalau guru sedang menjelaskan, jangan sibuk tidur. Cuci muka dulu, sana. Bapak tunggu tiga menit."

Dilanjutkan mengawasi anak didiknya, Pak Fajar menghentikan pengajaran. "Lainnya kalau mengantuk, bapak persilahkan untuk ke kamar mandi, cuci muka. Kalau bisa sekalian kumur-kumur gosok gigi. Supaya apa? Supaya kalian-kalian ini semangat belajar."

Setelah semua hal terjadi dalam satu hari ini berlangsung mengagetkan, guru tadi memberikan tumpukan satu set peralatan gosok gigi yang dipersiapkan.

"Silahkan diambil yang mau gosok gigi. Bapak persiapkan semuanya."

"Waa..." Beberapa anak menyeru senang karena perhatian guru matematika yang berbeda dari sekolah-sekolah lain.

Tampak rasa antusiasme yang tergambar di wajah-wajah bahagia. Awalnya cemberut, berubah menjadi sebuah senyuman.

Inilah alasan Pak Fajar disukai oleh anak-anak di sekolah ini.

Cukup sederhana, karena setiap murid yang tertangkap tertidur atau fokus beralih kepada hal lain, jangan harap dapat lari dari hadiah mengejutkan. Namun, ia juga memberikan solusi bagus untuk mengatasi masalah itu.

...***...

Empat sepatu mengawali jalan lorong panjang berliku-liku. Anak-anak sekolah melewati masa belajar mereka sejak pagi.

Target paling dominan dilakukan ketika masa istirahat berlangsung adalah sebuah bangunan yang menjajakan makanan dan minuman. Kantin dengan aroma semerbak wewangian makanan-makanan yang dimasak, dijual beragam jenis.

Seperti Gita, ia menganggap yang bisa menghilangkan emosinya hanyalah dengan mengisi perut. Bukan orang lain, bukan Salma, juga Bian.

Pasti. Itu pasti.

Mulut segar, mata lentik membuka, memperjelas melihat pemandangan manusia-manusia yang berlalu lalang. Para pemain basket, anak berbeda kelas, bercampur di bangunan lebar ini. Kursi-kursi panjang yang diletakkan di depan teras kelas, menjadikan tempat singgah sementara.

"Aku kira tadi Bian tidak datang meleraikan. Kalau dia tidak ada, bagaimana nasibmu tadi. Harus dilaporkan ke guru karena melawan bendahara kelas. Tapi... lain dari itu semua, memang keren juga tingkahnya." 

Gita kembali menyimak selama teman sebangkunya sibuk berbicara kepadanya. "Kalau suka Bian, bilang sejak awal, Sal. Jadi aku bisa menyeret tubuhnya supaya kau bisa bercerita dengannya."

Warna merah bermunculan di seluruh wajah Salma. Secara langsung, dia telah mengungkapkan isi hatinya melalui Gita tentang anak laki-laki bertubuh tinggi.

"Tolong jangan beritahu padanya, Git. Aku malu." 

"Iya, aku tidak akan memberitahunya. Lagipula untuk apa, juga." Gita memandang jalanan yang dilalui bersama Salma.

Lantai berkelok telah dijalani hingga menuju bagian depan sekolah. Namun tempat yang dipijak oleh kedua siswi itu tetap tidak bisa melewati gerbang paling depan. Benda itu dijaga ketat oleh salah satu satpam yang melihat murid di sekolah berjalan-jalan menenteng jajanan.

Sebelah kiri telah diisi penuh oleh para murid yang menunggu antrian. Tiga ruangan itu dijadikan kantin kecil-kecilan. Penuh sesak dengan murid-murid yang berdesakan memilih jajanan kemasan.

"Kau jadi membeli?" Pemandangan itu membuat kami berdua meragukan langkah apa yang harus dipilih selama menyaksikan kerumunan manusia yang tidak bisa berbaris rapi. 

Salma memikirkan panjang, karena waktu menipis harus digunakan bijak. Anak dengan rambut pendeknya harus mencari ide selanjutnya.

"Ya ampun," ucap Gita memperhatikan tingkah temannya yang melipat tangan, mengelus dagu, memberi garis-garis panjang di keningnya. 

Karena Gita harus menemani temannya yang berpikir lama, Gita menonton keributan dan wajah-wajah beragam manusia. Melihat datar membuat mudah mengantuk, Gita menutup mulutnya. 

Senggolan bahu tidak sengaja dilakukan ketika Gita berdiri diam. 

"Hei, tidak bisa sabar, apa?" 

Anak yang melakukan pun tidak mendengarkan. Lekas berjalan menuju kantin, mengharuskan Gita untuk belajar lebih sabar. Menurunkan emosi yang tertahan yang dipaksakan, Gita hanya menggeleng heran.

"Git, kita kembali saja. Terlalu banyak orang sangat tidak nyaman." Salma mengernyit dahi.

"Kembali? Kau yakin itu?" Gita memastikan ulang balasan Salma yang ditentukan.

"Iya, Git. Setelah jam istirahat kedua saja, ya?"

"Kalau kau kuat menahan lapar, ya aku ikut saja keputusanmu. Kembali, ayo kembali. Maju beli jajan, ayo aku temani." Gita mengangguk mengikuti kemauan temannya. "Tetapi jangan salah kalau nanti kau merengek meminta jajan."

"Tidak, aku sungguh mengatakan itu." Mata berbinar-binar akhirnya diperlihatkan, diarahkan menuju Gita yang melihat aneh.

"Ya, ayo kembali," ajak Gita untuk mengikuti langkahnya. Melawan arus anak-anak sekolah yang maju menemui kantin.

Rencana untuk kembali ke kelas harus ditunda setelah Bian dan dua anggota trio itu muncul menuju dua siswi yang sebenarnya tidak ada rencana untuk berkumpul bersama. Kael dan Azka menunggu berdiri menemani Bian, seperti dua penjaga.

"Kalian lagi, kalian lagi." Gita mengelus wajah, malas menemui ketiga anak laki-laki. "Apa kalian tidak ingin bertemu dengan perempuan-perempuan lain, huh? Selalu saja kami. Kami tidak memiliki apa-apa disini. Menjauhlah."

Pengusiran itu tetap tidak berhasil. Trio nakal berdiri menatap dua siswi.

"Kalian mengerikan kalau mendekat," pinta Gita mengomentari mata dan mata milik mereka. "Langsung bicara saja, kalian mau apa?"

Nada berat dikeluarkan dengan pemilik nama "Bian Zaynal Affarin" selama anak laki-laki itu berdiri sehat. "Soal gelang tadi, aku ingin membelinya sekarang. Berapa banyak barang yang kamu miliki?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!