Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garangan buntung
Rahma dan Abdillah melepas kepergian Kirana dan kedua cucunya dengan mata berkaca-kaca.
Sepanjang perjalanan baik Kirana maupun Zidan memilih tak banyak bicara. Kirana memilih menatap keluar kaca, sementara Zidan fokus menatap jalan yang dilalui. Lalu lintas lumayan padat membuat perjalanan yang seharusnya hanya membutuhkan waktu satu setengah jam menjadi lebih lama.
“Ngapain kamu diam aja, Kira?”
Kirana menoleh sejenak sebelum kembali memalingkan wajah. “Aku harus ngomong apa?”
“Kamu berubah,” cicit Zidan pelan.
“Semua akan berubah saat hatinya tersakiti,” sahut Kirana datar membuat Zidan mengatupkan mulut.
Di antara mereka seperti ada jarak yang memisahkan. Raga mereka memang berdekatan tetapi ada sesuatu yang hilang.
Kirana memilih bersandar dan memejamkan mata mengabaikan Zidan.
“Oh, ya, jangan lupa kirim orang untuk ambil mobilku.” Kirana bicara tanpa menoleh.
“Mobil baru mau nggak?” Tiba-tiba tawaran Zidan membuat Kirana membuka mata, menoleh cepat dengan kening yang mengernyit.
“Apa ini seperti sogokan agar aku menerima apa yang kamu perbuat?” Bibirnya tertarik sinis, “semenjak kapan kamu suka menghamburkan uang buat beli sesuatu yang nggak penting? Jangan mentang-mentang sekarang banyak uang kamu bisa mengeluarkannya dengan mudah.”
“Ya bukan begitu, Kira. Maksud aku kan juga baik, kali aja kamu udah bosen sama mobil yang ini.”
“Mobilku masih bagus bahkan masih layak pakai.”
Zidan tak melanjutkan obrolan lagi. Bicara dengan Kirana memang gampang-gampang sulit.
Satu jam kemudian mereka tiba di rumah. Kirana segera membangunkan kedua anaknya dan mengajak mereka masuk.
“Sebelum bobo, cuci tangan, kaki dan sikat gigi dulu ya. Mau makan dulu nggak?”
“Enggak Ma. Rina langsung bobo aja, ngantuk.”
“Lina juga,” sambung putri bungsunya mengikuti sang kakak masuk ke satu kamar yang sama.
Kirana segera masuk ke kamar dan merapikan barang-barangnya. Tak lama Zidan masuk ke kamar dan menawarinya makan. Ia hanya mengangguk setuju. Setelah semuanya beres dan rapi ia segera masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Bersamaan dengan guyuran mengalir air matanya ikut meleleh, hatinya begitu sakit apalagi ketika melihat sikap sang suami yang tak menunjukkan rasa bersalah.
Berbakti dengan orang tua memang diperlukan tetapi bukan berarti boleh mengorbankan hati istri. Zidan seharusnya bisa menolak tetapi pria itu tak melakukannya. Apalagi hanya dengan alasan karena ia tak bisa memberikan anak laki-laki, bukankah itu tidak masuk akal? Kirana berteriak keras meluapkan segala amarah dan kekecewaan yang dirasakan.
Suara pintu kamar mandi diketuk beberapa kali diiringi suara Zidan memanggil.
“Kira, kenapa lama sekali?”
“Sebentar,” sahutnya keras, menyahut kimono handuk dan segera keluar kamar mandi.
“Makanan udah di atas meja, aku mandi dulu.” Kirana mengabaikan dan keluar dari kamar menuju dapur.
Kirana segera merapikan makanan yang dibeli dan memindahkannya ke piring. Apa yang sedang dikerjakan tidak benar-benar ikhlas sehingga suara gesekan dari meja kaca dan piring terdengar begitu nyaring.
Setelah semuanya selesai, dia segera duduk dan menyantap makanan miliknya tanpa menunggu kehadiran Zidan.
“Kok makan nggak nungguin aku sih?” protes suara Zidan yang baru saja datang dengan rambut yang masih basah.
“Aku lapar,” sahutnya acuh tak acuh.
Tangan Zidan menarik kursi dengan kasar dan segera duduk. Dia menghentakkan sendok kasar hingga terdengar suara yang memekik.
“Nggak sopan!” Bibirnya menggerutu kesal.
Setelah selesai makan Kirana bergegas kembali ke kamar dan mengunci pintu, membiarkan Zidan yang masih duduk di meja makan berteriak kesal karena tingkahnya.
“Kamu ini benar-benar kurang ajar, Kira. Suami masih di sini kok ditinggalin gitu aja!”
“Bodoh amat!”
Kirana tersenyum masam dan segera memakai daster batik-batik kesayangan. Pakaian wajib yang hampir memenuhi sebagian lemarinya. Setelah memakai skincare rutin tubuhnya berbaring di ranjang bersiap tidur. Mulai sekarang dia harus terbiasa tidur sendiri dan mandiri.
...✿✿✿...
Pukul lima Kirana sudah bangun dan keluar dari rumah menuju jalan raya berniat membeli beberapa masakan jadi yang praktis. Saat keluar kamar, dia tak melihat keberadaan suaminya di manapun.
Biarlah ... dia juga sedang butuh waktu sendiri untuk saat ini.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit, Kirana sudah kembali ke rumah. Tangannya memegang kantong plastik yang berisi beberapa macam sayur yang dikemas dalam plastik berukuran sedang dan lauk di kotak plastik.
Setelah menyiapkan semuanya di atas meja, Kirana segera membangunkan kedua anaknya.
“Papa di mana, Ma? Kok nggak ikut sarapan?” tanya Rina yang tak melihat keberadaan sang papa.
“Ke rumah nenek,” sahut Kirana malas.
“Jadi hari ini Mama yang antar?” tanya Lina terlihat senang.
“Iya.”
Setengah tujuh Kirana mengeluarkan mobil sang suami. Motor yang biasa dipakai untuk antar jemput anak-anak tidak ada, sepertinya dipakai oleh Zidan.
Kirana hanya mengenakan daster batik sepanjang lutut dilapisi outer berwarna putih lengan panjang, rambutnya diikat ke atas rapi. Pikirnya dia hanya akan mengantar, tak perlu berdandan.
Keduanya bersekolah di tempat yang sama. Jika Rina sudah duduk di kelas tiga, Lina masih di kelas satu.
Sesampainya di sekolah Kirana segera meminta kedua anaknya untuk masuk. Saat dia berbalik badan berniat pergi sapaan dari ibu-ibu membuat langkahnya terhenti.
“Eh, tumben Bu Kirana yang antar anak-anak. Biasanya Pak Zidan.”
Kirana tersenyum tipis tanpa menjawab.
“Pak Zidan kan nikah lagi, ya pasti sekarang lagi menikmati bulan madu sama istri baru.”
Senyum di wajah Kirana pudar berganti dengan wajah datar.
“Eh jangan ngawur gitu, Bu Diana!” tegur Irma tak senang mendengarnya.
“Enggak ngawur ya, itu memang kenyataan.” Diana yang usianya tak jauh berbeda dengan Kirana kembali menyahut. Dari sekian banyak ibu-ibu di sini, dia memang yang paling suka nyinyir. “Istri barunya cantik, masih muda pula.”
“Bu Diana ini nggak seharusnya ngomong kayak gitu. Sesama perempuan kok nggak bisa jaga perasaan sesamanya.”
“Eh ibu-ibu ini dibilangin kok malah nyolot sih. Ini tuh sebagai bentuk antisipasi buat kalian semua supaya jadi istri itu harus tetep cantik di depan suami biar suami nggak nyari pemandangan indah yang lain.”
Kirana memutar bola mata malas, dia tahu bahwa Diana sedang menyindir penampilannya saat ini.
“Enggak begitu juga kali Bu. Buktinya suamiku meskipun tiap hari lihat penampakan istrinya yang kucel dan bau bawang, dia tetap suka kok.” Yuni menimpali sambil tersenyum lebar.
“Jangan didengerin Bu Kirana,” sahut Irma menimpali.
“Semoga suami Bu Diana nggak gitu ya,” ucap Kirana datar.
“Jelas enggak dong Bu. Di rumah kan udah kenyang lahir batin. Jangankan nyari, ngelirik aja kayaknya udah nggak minat,” sahut Diana dengan begitu sombong.
Kirana menyunggingkan senyum. “Harus banyak bersyukur kalau gitu, Bu.”
“Makanya Bu Kirana harus bisa jaga diri, jaga penampilan supaya suami nggak nyari yang lain. Kalau sudah gini yang repot juga diri sendiri.”
Kirana malas menanggapi, dia segera pamit kembali pulang. Namun belum jauh kakinya melangkah, ucapan Diana kembali terdengar.
“Enggak salah kalau Pak Zidan lebih milih nikah lagi sama istri baru. Bu Kirana ada tangkapan besar nggak dijaga dengan baik.”
Orang lain cuma tahu dari sudut pandang mereka saja, kemudian berkomentar seenaknya hingga menyakiti orang lain.
“Dijaga kayak apa kalau dasarnya emang dia nggak bisa bersyukur, ya tetep aja Bu. Namanya juga garangan.”
To Be Continue ....