Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ide
[Ya, ini laki loe 'kan?]
Sebuah pesan masuk dari Alifa yang hari itu memang cuti kerja karena ingin menemani keluarga kakaknya yang sedang berlibur ke sana. Setelah menikah memang kakak Alifa memilih tinggal di kota sang suami. Senang melihat kakak, ipar, dan para keponakannya datang, ia pun segera mengurus cuti agar bisa bersenang-senang dengan keluarga sang kakak.
Alifa mengajak keluarga kakaknya ke wahana permainan air. Di saat itulah Alifa tanpa sengaja melihat keberadaan Andrian yang sedang bermain air dengan gembira bersama Marissa dan Tania.
Alifa pun segera mengambil gambar Andrian, Marissa, dan Tania. Berikut siapa saja yang ada di sana. Bahkan saat Marissa hampir jatuh dan suami Ellena-Hasta langsung meraih pinggangnya pun tak luput dari jepretan kamera Alifa.
Yaya yang saat itu sedang memeriksa laporan keuangan pun segera membuka ponselnya. Ia pun membelalakkan matanya saat melihat deretan foto yang Alifa kirimkan.
Seketika Yaya tertawa miris. Sudut matanya sampai basah. Ia memukul-mukul dadanya yang kian sesak karena sikap dan kelakuan laki-laki yang baru satu bulan menikahinya itu.
"Mas Rian, sebenarnya apa mau mu? Apa hubunganmu dengannya? Sahabat macam apa itu sementara sikap dan perhatianmu padanya saja sudah sangat di luar batas. Kamu benar-benar keterlaluan Mas. Bukannya mencoba memperbaiki diri dan membuktikan kalau kalian tidak memiliki hubungan apapun, kalian justru pergi liburan."
Miris. Yaya merasa amat sangat miris. Memiliki suami yang lebih mementingkan dan memprioritaskan orang lain atas nama sahabat.
Sakit, benci, marah, kecewa kini campur aduk menjadi satu. Ingin rasanya Yaya berteriak sekencang mungkin untuk meluapkan segala emosi yang memenuhi rongga dadanya.
"Oh Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini," lirih Yaya sambil memukul-mukul dadanya yang kian sesak.
[Ya, are you okay?]
Sebuah pesan masuk lagi dari Alifa. Dengan tangan bergetar, Yaya pun membalas pesan itu.
[Ya, i'm okay. Jangan khawatir! Aku perempuan kuat, kau tau bukan?]
[Ya, aku tau. Kau perempuan kuat. Jangan lemah, oke! Aku memang belum tau apa hubungan mereka, tapi aku tetap berharap, tak ada hubungan spesial diantara mereka dan aku pun akan berdoa agar rumah tanggamu baik-baik saja.]
[Terima kasih doanya, Bestie. You're the best. Emot tersenyum lebar.]
Pesan ditutup. Ingin melanjutkan pekerjaan, tapi Yaya sudah kehilangan semangat untuk melakukannya. Alhasil, Yaya memilih bercosplay menjadi pramusaji seperti yang biasa ia lakukan.
Sementara itu, di wahana permainan air.
"Sa, kata mama kamu mau ajak Mama ke butik, kok nggak ngajak Mbak sih?" tukas Ellena dengan wajah cemberut.
"Eh ... "
"Kalau mau ikut, ya ikut aja. Kamu nggak papa 'kan, Sa?"
"I-iya, Mbak. Kalau mau ikut, nggak papa. Ikut aja. Hehehe ... " ucapnya sambil tertawa kaku.
Alhasil, sepulangnya dari wahana permainan air, Marissa, Nurlela, dan Ellena memilih pergi ke butik. Sementara Tania memilih ikut Andrian dan Riko memilih ikut ayahnya, Hasta.
"Tania mau ikut Pa--- eh Om Iyan," pekik Tania yang hampir saja keceplosan.
"Tapi Nak, Om Iyan masih sibuk," ucap Marissa.
"Nggak Papa. Kalian pergi saja," ucap Andrian.
Hasta pun lantas ikut menimpali. "Iya, nanti kami ajak anak-anak makan es krim. Kalian pergi saja. Bagaimana Riko, Tania, kalian mau makan es krim?" tanya Hasta.
"Mau, Pa, mau, Om," seru keduanya bersamaan. Marissa mengangguk. Akhirnya ia, Nurlela dan Ellena pun segera pergi bersama, sementara Andrian dan Hasta membawa kedua anak kecil itu ke kedai es krim.
Sepanjang perjalanan, Andrian hanya satu sibuk dengan Tania, sementara Hasta dan putranya diam saja sebab Riko justru sibuk bermain gim di ponselnya.
...***...
Nurlela dan Ellena berdecak kagum saat tiba di sebuah butik yang terlihat begitu mewah dan berkelas. Butik bernama Alma Boutique yang menurut Marissa nama Alma merupakan singkatan namanya dan Andrian karena ia sangat menghargai persahabatan mereka. Jelas saja Nurlela dan Ellena menjadi semakin kagum saja.
Saat keduanya melangkah masuk ke dalam butik, mereka melangkah dengan pongah. Dagu terangkat. Jelas sekali mereka terlihat begitu bangga bisa masuk ke butik itu.
Karyawan Alma Boutique melihat keduanya dengan tatapan tak suka sebab cara keduanya berbicara benar-benar menyebalkan.
"Apa kau liat-liat, hah? Kau mau dipecat?" sentak Ellena pada salah seorang karyawan membuat karyawan itu terpaksa menunduk.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud seperti itu. Tapi emang mata saya agak-agak gimana gitu ya, Bu. Kalau tidak percaya, lihat!" Karyawan wanita itu pun mengangkat kepalanya. Ellena tiba-tiba tersentak saat melihat bola mata karyawan itu sedikit juling.
"Ya sudah, sana-sana. Marissa milih karyawan gimana sih, kok aneh-aneh banget."
Maksudnya aneh sebab Ellena melihat ada beberapa karyawan yang tampak memiliki kekurangan fisik. Ada yang pincang, ada yang juling, ada yang memiliki tangan yang kecil (tidak tumbuh sempurna), dan ada yang menggunakan bahasa isyarat. Sepertinya orang itu mengalami gangguan pendengaran dan juga bisu. Butik itu memang mempekerjakan beberapa karyawan disabilitas. Biarpun mereka memiliki kekurangan, tapi ternyata mereka memiliki kelebihan. Beberapa dari mereka ada yang pandai memasang payet, menjahit tangan, dan membuat pola.
Melihat gaun-gaun yang terpajang di manekin membuat mata Nurlela dan Ellena berbinar-binar. Namun tidak dengan mata Marissa. Mata itu justru berpendar khawatir.
"Mama mau yang ini ya, Sa?"
"Kalau mbak yang hitam itu, bisa 'kan, Sa?"
'Aduh, gawat, kenapa mesti milih yang paling mahal sih?'
"Aduh, Ma, Mbak, bukannya nggak boleh, tapi itu pesanan orang. Orangnya malah udah bayar dan tinggal ambil aja. Kebetulan orangnya lagi ke luar negeri, makanya belum sempat diambil," ujar Marissa.
Terdengar helaan nafas kasar dari keduanya.
"Ya udah, kalau yang itu?"
"Yang itu juga, orangnya udah bayar DP."
"Kalau yang ini?"
"Itu sama aja. Itu pesanan customer yang rencananya sore ini akan segera diambil."
Sudah beberapa pakaian yang mereka tunjuk, tapi Marissa selalu menjawab kalau itu pesanan orang. Meskipun akhirnya mereka tetap membawa pulang gaun, tapi tentu yang mereka bawa pulang bukanlah gaun istimewa yang terpajang di manekin khusus. Mereka sedikit kecewa, tapi mengingat kalau baju mereka merupakan baju butik yang cukup ternama, membuat rasa kecewa itu perlahan sirna.
"Kenapa nggak Marissa aja sih yang jadi istri Rian? Daripada si Yaya itu, namanya aja anak dokter, taunya cuma karyawan doang."
"Kamu benar, Len. Coba aja Marissa pulangnya lebih cepat, pasti yang akan menikah dengan Rian itu Marissa, bukan anak haram itu," jawab Nurlela dengan bersungut-sungut.
"Dasar Rian aja yang bodoh masa' nggak tau silsilah keluarganya sih. Kalau tau 'kan, pas Marissa kembali, tinggalin aja si Yaya. Terus nikahin Marissa. Belum jadi keluarga aja, Marissa udah baik banget, apalagi setelah nikah sama Rian ya, Ma."
"Kamu benar. Rian juga sepertinya sebenarnya suka sama Marissa. Kamu liat 'kan gimana perhatiannya Rian sama Marissa dan Tania dibandingkan sama perempuan itu."
"Mama benar. Apa kita jodohin saja mereka?" ide licik muncul di benak Ellena.
"Sepertinya itu ide yang bagus," sahut Nurlela yang menyetujui ide anak perempuannya itu.
...***...
Maaf baru sempat update, D'wie sempat nggak enak badan. Capek banget jadi nggak sempat ngetik. Terima kasih.
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...