Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 24
Ningsih tak bisa memejamkan matanya, meskipun malam terus merangkak larut dalam sunyi. Detak setiap detik di jam dinding kian terdengar nyaring di telinga. Ningsih sendirian menjaga Salwa di kamar rawat yang ada di klinik. Gadis kecil dengan tubuh yang kurus namun terlihat begitu ayu, tengah tertidur lelap dengan wajah yang sudah mulai memerah, tidak sepucat tadi. Dipandanginya wajah cantik nan polos milik Salwa, satu satunya yang menjadi penyemangat dan kekuatan Ningsih untuk terus bertahan dan berjuang dalam kehidupannya yang serba sulit. Tak terasa air mata berlahan berjatuhan membasahi wajahnya. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, Ningsih benar benar ada di titik dia dalam keadaan pasrah dan berusaha iklas dalam menjalani TakdirNYA.
"Maafkan mama, nak. Maafkan kalau belum bisa memberikan kebahagiaan dan keindahan untukmu. Tapi mama janji, mama akan berusaha sekuat tenaga untuk membuatmu bahagia, agar kamu bisa menikmati masa kecilmu dengan ceria." Bisik Ningsih di dalam batinnya. Waktu terus merambat, hari hampir menjelang pagi. Ningsih berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Bersujud di sepertiga malam demi menumpahkan rasa yang kian menyesakkan dadanya. Mengadu dan mengiba pada Tuhan adalah caranya untuk menyembuhkan luka.
"Ma." Suara lirih Salwa, membuat Ningsih menghentikan rintihannya pada sang Khaliq. Buru buru dia beranjak dari tempatnya bersujud, menghampiri gadis kecil yang terlihat lemah di atas ranjangnya.
"Iya, nak. Salwa mau apa, minum?" Tanya Ningsih yang sudah berada di bibir ranjang sambil membelai lembut pucuk kepala Salwa penuh kasih sayang.
"Salwa mau minum susu, boleh?" Sahut Salwa dengan tatapan mengiba. Seulas senyum tipis terukir di bibir Ningsih, hatinya bersorak penuh syukur, akhirnya Salwa mau mengisi perutnya.
"Boleh sayang, sebentar mama buatkan." Dengan cekatan Ningsih membuatkan susu rasa vanilla kesukaan Salwa.
"Minum, nak. Dihabiskan ya, biar cepet sehat." Dengan lembut Ningsih meminumkan susu pada Salwa, sekejap saja gelas yang disodorkan sudah kosong, Salwa menghabiskan susunya.
"Alhamdulillah, Salwa mau makan roti?
Tadi mbak Rina dan mas Supri belikan banyak jajanan buat Salwa. Mau, nak?" Sambung Ningsih yang merasa lega, karena Salwa mulai berangsur membaik dan sudah mau mengisi perutnya lagi.
"Mau, ma. Ada apa aja jajannya?" Sahut Salwa yang terlihat semangat menatap kantong kresek dengan logo ternama di atas nakas samping tempat tidurnya.
"Ini, kamu lihat saja. Mana yang mau Salwa makan, biar mama bukain." Ningsih membawa kantong kresek yang berisi banyak jajanan ke ranjang Salwa. Wajah ceria dengan mata berbinar, Salwa membongkar isi dalam kresek yang berlogo biru itu.
"Aku mau makan yang ini, ma." Salwa menyodorkan satu bungkus roti keju kesukaannya. Ningsih tersenyum dan membukakan bungkusnya, lalu menatap bahagia saat Salwa dengan lahap memakan roti kesukaannya.
"Ma, maafin Salwa ya. Salwa sudah buat mama khawatir." Tiba tiba Salwa meraih jemari Ningsih dan meminta maaf dengan wajah polosnya.
"Tidak, nak. Kamu sakit juga bukan kemauan kamu. Mama hanya khawatir melihatmu kesakitan, mama takut tiap kali kamu sakit. Janji sama mama ya, nak. Salwa harus sehat sehat terus, jangan sulit makan lagi, nurut ya sayang." Sahut Ningsih lembut, matanya sudah berkaca kaca menatap dalam wajah cantik sang buah hati.
"Iya, ma. Salwa janji gak akan buat mama sedih lagi."
"Makasih sayang, sekarang Salwa tidur lagi ya, istirahat. Ini masih gelap, masih jam dua pagi." Sambung Ningsih yang langsung di iyakan sama Salwa. Gadis kecil itu kembali merebahkan tubuhnya dan mulai memejamkan matanya kembali.
******************************"**
"Dasar gak becus jaga anak, Salwa selalu menderita dan tersiksa ikut kamu. Dia sering masuk rumah sakit karena kebodohan kamu dalam merawatnya. Dasar perempuan bodoh!" Maki Wandi saat kakinya baru saja masuk ke dalam kamar rawat Salwa. Beberapa pasang mata yang ada di kamar sebelah memperhatikan keributan yang dibuat Wandi.
"Tutup mulutmu, mas. Ini tempat orang sakit, jangan ngajak ribut disini." Tekan Ningsih yang merasa malu dengan sikap Wandi yang sudah keterlaluan.
"Halah, bilang saja kamu takut kalau orang pada tau kebodohan kamu itu. Sudah berapa kali Salwa keluar masuk rumah sakit begini, semua itu karena kecerobohan kamu yang tidak becus ngurus anak." Bentak Wandi yang memang sengaja ingin mempermalukan Ningsih.
"Diam! Pergi dari sini, aku masih sanggup jaga dan merawat anakku. Kalau kedatangan kamu hanya bikin sakit hati dan ngajak ribut, lebih baik kamu pergi dan jangan pernah ikut campur urusan apapun tentang anakku. Sebaiknya kamu ngaca, sudah benar belum kamu jadi ayah selama ini?
Apa yang sudah kamu berikan untuk Salwa? Nafkah saja kamu abai dan tidak pernah perduli dengan apapun yang berkaitan dengan Salwa. Bisa bisanya kamu datang lalu memakiku dengan begitu entengnya. Kamu sehat, mas?" Sahut Ningsih yang tak mau kalah membela dirinya, karena jika didiamkan Wandi akan semakin menjadi. Lebih baik menamparnya dengan kalimat yang mempermalukan harga dirinya.
"Jaga mulutmu, Ningsih. Aku tak Sudi kalau harus membayar biaya perawatan Salwa. Ini kesalahan kamu, jadi jangan memintaku untuk bertanggung jawab. Urus saja sendiri, aku tidak perduli." Bentak Wandi yang langsung mendapatkan sindiran sindiran dari beberapa orang yang ada di sekitar mereka. Sedangkan Ningsih memilih diam, karena percuma berdebat dengan manusia tak berhati seperti Wandi. Hanya akan semakin membuatnya sakit hati dan emosi saja.
"Pergilah, kami gak butuh kamu disini." Usir Ningsih dengan wajah mengeras.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Hati Yang Kau Sakiti
#Dendam terpendam seorang istri
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tamat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
sekedar saran utk karya2 selanjutnya, kurangi typo, dan di setiap ahir bab jgn terlalu banyak yg terkesan menggantung.
semoga smakin banyak penggemar karyamu dan sukses. terus semangat.. 💪😊🙏
mksh ka/Kiss/sumpah ceritanya bagus buat candu
entah apa hukumnya wandi mentalak irma tanpa saksi juga ..syahkan cerainya. ktnya hrs dpn saksi jatuhin talak