Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musibah lagi
Acara ulang tahun kecil-kecilan itu berjalan lancar. Hanan begitu bahagia mendapat kado dari Ayu dan Ninik. Memang bukan barang yang mahal, akan tetapi sangat berarti baginya. Mensyukuri apa yang diberikan sang mama.
"Aku boleh main di lapangan ya, Ma?" ucap Hanan dengan mulut yang dipenuhi dengan kue.
Ayu langsung mengangguk. Ia tahu bahwa lokasi sangat dekat dari tempat nya hingga ia tak khawatir.
"Jangan nakal, ya. Mama gak suka kalau Hanan membuat masalah dengan teman," tutur Ayu serius.
Sering kali berpesan untuk melakukan kebaikan sebelum Hanan keluar dari rumah.
Hanan mengangguk mengerti, ia tak mungkin lupa dengan wejangan Ayu.
Ninik yang mendampingi Alifa dan Adiba iri melihat keluarga kecil Ayu. Meskipun tak memiliki suami, faktanya wanita itu terlihat bahagia. Bahkan, segala masalah yang menerpa tak lagi menjadi rintangan.
Ayu merapikan meja. Menyimpan beberapa potong kue di lemari pendingin. Lumayan bisa dimakan nanti daripada dibuang, sedangkan Ninik pun tak mau membawanya.
"Aku pergi ya, Ma." Hanan berteriak sambil menuntun sepeda menuju halaman.
Belum mendapat jawaban bocah itu sudah mengayuh kuda besinya menuju lapangan terdekat.
Ninik ikut tersenyum melihat punggung Hanan mulai menjauh. "Dia sudah pintar ya, Yu." Aku yakin nanti dia akan sukses."
Ayu hanya bisa mengamini. Meskipun saat ini belum bisa memastikan, ia tetap berusaha sepenuhnya untuk membuat anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Berharap akan ada titik terang secepatnya.
''Bagaimana dengan kabar suami kamu?'' Ninik mengalihkan pembicaraan.
Ayu menghentikan aktivitasnya. Menatap Ninik dari arah jauh. Dari lubuk hati terdalam tak ingin lagi memikirkan Ikram, dan ingin membuang jauh namanya. Baik dari dirinya maupun anak- anaknya.
"Sudah lah, Bu. Aku gak peduli dengan urusan dia, karena yang terpenting sekarang adalah anak-anak."
Ayu ke belakang, menghindari pertanyaan dari Ninik. Enggan membahas Ikram yang sekarang sudah melupakan anak-anaknya sendiri.
Tak berselang lama, terdengar suara tangis dari arah depan.
Ayu yang sudah selesai itu kembali ke depan. Nampak sepeda milik Hanan terparkir di halaman. Suara tangis itu pun terdengar nyaring dari samping.
''Sepertinya itu suara Hanan?'' Ninik berdiri dari duduknya mengikuti langkah Ayu yang sudah tiba di belakang pintu.
Ternyata benar, Hanan menangis sambil duduk merangkul kedua lututnya. Matanya tak teralihkan dari sepeda yang terparkir di dekatnya.
''Kamu kenapa, sayang?'' Ayu menghampiri dan merengkuh tubuh mungil sang putra. Tak biasanya Hanan menangis sesenggukan, bahkan matanya terlihat memerah dengan hidung yang mulai keluar ingus.
Tak menjawab, Hanan hanya menunjuk sepedanya.
Ayu menoleh mengikuti jari Hanan. Matanya fokus pada bagian ban yang nampak baik- baik saja.
''Kenapa dengan sepedanya, Nak?'' tanya Ayu antusias.
''Rantainya putus, Ma,'' ucap Hanan tersendat-sendat. Kedua tangannya mengusap air mata yang masih tersisa di pipi.
Ayu manggut-manggut mengerti.
"Tenang saja, mama akan membawa sepedanya di bengkel.'' Ayu mencium pucuk kepala Hanan, menenangkan bocah itu untuk tidak sedih lagi.
Ayu menitipkan Alifa dan Adiba pada Ninik. Kemudian, ia menuntun sepeda itu menuju bengkel, sedangkan Hanan mengikuti dari belakang.
Di sepanjang jalan, banyak pasang mata yang menatapnya dengan tatapan sinis. Namun Ayu tak peduli, dan menganggap mereka itu patung hidup.
"Kemarin aku juga melihat dia berpelukan dengan laki-laki asing di toko kue. Sepertinya sugar daddy." Salah seorang warga sengaja mengucap dengan lantang saat Ayu melintas.
"Pasti laki-laki itu adalah teman kencannya," timpal yang lainnya.
Hanan menarik ujung baju Ayu dari belakang hingga membuat sang empu berhenti lalu menoleh.
"Ada apa, Nak?" tanya Ayu dengan suara lembut. Meskipun dadanya bergemuruh, ia tetap terlihat santai. Berpura-pura tidak mendengarkan mereka.
"Siapa yang mereka maksud, Ma?" Hanan menunjuk beberapa orang yang memperhatikannya.
Ayu hanya melirik. Melepaskan satu setirnya dan meraih tangan mungil Hanan.
"Orang di luaran sana. Hanan gak boleh mendengarkan perkataan orang lain selain mama."
Hanan mengangguk. Jawaban Ayu sudah meyakinkan.
Suasana bengkel sangat ramai, banyak pria duduk di tempat itu. Ada tiga motor yang dioperasi, di antaranya baru dipegang oleh salah satu montir. Terlihat jelas semua orang sibuk dengan tugas masing-masing.
"Permisi, Pak." Ayu memberanikan diri untuk menyapa sang pemilik. Bukan takut, pasalnya ia khawatir akan memakan biaya sangat banyak, sementara saat ini uangnya menipis.
"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Pria yang hanya memakai baju tanpa lengan itu menatap penampilan Ayu dari atas hingga bawah. Lalu beralih pada sepeda yang ada di belakangnya.
"Sepeda anak saya rusak, apa Bapak bisa memperbaikinya?"
Ayu menjelaskan bahwa rantai sepeda Hanan terputus. Lalu menanyakan biaya yang harus dibayar.
Setelah diperiksa. Pria itu menghampiri Ayu. "Sepertinya tidak hanya rantainya yang putus, Bu. Tapi ada beberapa bagian juga perlu diperbaiki, takutnya nanti akan cepat rusak."
Ayu lemas seketika, namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan itu.
"Baiklah, Pak. Tidak apa-apa. Yang penting bisa dipakai lagi."
Ayu dan Hanan duduk bersejajar. Mereka memilih untuk berada di luar daripada harus bergumul dengan orang-orang yang tak dikenal. Terlebih, mereka semua pria.
Sekali lagi, hanya satu alasan Ayu. Ia tak ingin dianggap merayu para pria.
Hampir satu jam menunggu, akhirnya sepeda milik Hanan sudah selesai diperbaiki.
"Berapa, Pak?" tanya Ayu sambil merogoh dompet dari saku gamis nya.
Pria itu memberikan selembar kertas kecil pada Ayu. Itu adalah rincian biaya yang harus dibayar.
Lima ratus ribu.
Kedua bola mata Ayu terbelalak. Ia ingin protes dengan catatan itu yang menurutnya sangat mahal, akan tetapi tak ingin ribut di tempat orang.
Ayu merogoh uangnya yang ada di dompet. Ternyata uangnya hanya tinggal empat ratus ribu, itu artinya tidak mencukupi untuk membayar biaya.
"Uang saya kurang seratus ribu, Pak." Ayu menyodorkan uang di depan pemilik bengkel.
Pria itu hanya melihat tanpa menerimanya.
"Di sini tidak boleh berhutang, Bu. Saya harus membayar beberapa pegawai. Jadi harus lunas," pekik pria itu hingga beberapa pengunjung menoleh ke arah Ayu.
Ayu memutar otaknya. Berusaha untuk mencari jalan keluar masalah yang dihadapi sekarang.
Bagaimana cara supaya Hanan pergi dari sini?
"Baiklah. Sebagai gantinya, saya akan melakukan apapun, tapi saya mohon biarkan Hanan membawa pulang sepedanya," ucap Ayu memohon.
Daripada rugi, akhirnya pemilik bengkel menyetujui tawaran Ayu. Yang terpenting ia mendapat imbalan yang setara.
"Kamu bersihkan oli itu. Menunjuk beberapa kaleng yang berwarna hitam.
Ayu tak membantah, ia langsung melakukannya setelah Hanan pergi. Takut si sulung melihat pengorbanannya yang sangat sengsara.
nambah kesni nambah ngawur🥱