" Tapi sekarang kamu jauh dari abang. Siapa yang melindungimu kalo dia kembali merundung? " Arya menghela napas berat. Hatinya diliputi kebimbangan.
" Kalo dia berani main tangan pasti Diza balas, bang! " desis Diza sambil memperhatikan ke satu titik.
" Apa yang dia katakan padamu? " Arya menyugar rambut. Begitu khawatir pada keselamatan adiknya di sana. Diza menghela napas panjang.
" Mengatakan Diza ngga punya orang tua! Dan hidup menumpang pada kakeknya! " ujarnya datar.
" Kamu baik-baik saja? " Arya semakin cemas.
" Itu fakta 'kan, bang? Jadi Diza tak bisa marah! " pungkasnya yang membuat Arya terdiam.
Perjuangan seorang kakak lelaki yang begitu melindungi sang adik dari kejamnya dunia. Bersama berusaha merubah garis hidup tanpa menerabas prinsip kehidupan yang mereka genggam.
Walau luka dan lelah menghalangi jiwa-jiwa bersemangat itu untuk tetap bertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isha iyarz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
" Ada apa, Diza? Kamu tau abang lagi sibuk! Kita ngga sempat kemana-mana " Arya tidak menggubris rengekan adiknya yang mengajaknya keluar sore ini.
" Sebentar aja, bang! Kita harus pergi! " Diza tetap duduk mengintili kakaknya yang sedang membuat laporan keuangan gudang. Arya begitu serius, karena ini pertama kalinya dia menggunakan laptop.
" Kamu ngga bilang mau kemana. Cuma ngajakin pergi-pergi aja! " Arya bersungut.
" Ayolah, bang! Diza ngga bisa bilang karena_pokoknya berangkat dulu! " Diza meraih lengan baju Arya dan meremasnya kuat.
Arya menatap setengah jengkel. Diza tak pernah ngotot jika menginginkan sesuatu. Selalu penuh pengertian jika dia belum bisa mengabulkan permintaannya. Mengapa kali ini jadi berbeda?
" Abang tau kamu melanggar aturan dengan belajar motor sembunyi-sembunyi sama Tatiana di lapangan " Arya menarik bibir miring. Diza nyengir.
" Kalo kamu ngerasa udah ngga bisa nunda hingga sehari dua kedepan, kamu pergi sendiri aja sana! Tapi jangan lama-lama! " Arya mengulurkan kunci motor diatas meja.
Diza terdiam. Dia nampak berpikir sambil menatap kakaknya lama. Perlahan dia bangkit menuju kamar. Meraih jaket dan sling bag berwarna coklat. Gegas keluar lalu meraih helm diatas lemari. " Kamu bukannya mau nyobain motor baru dari pak Yunus kan? " Arya mengikuti langkah adiknya menuju teras.
Jujur saja dia sebenarnya tak tega membiarkan Diza pergi sendiri. Menggunakan motor pula. Adiknya belum punya SIM. Tapi dia sedang sibuk. Belajar mengoperasikan laptop yang diberikan pak Yunus kemarin pagi.
Diza menoleh. Gadis itu menggeleng dengan wajah mendung. " Abang ingat bang Tama? " Diza menghentikan langkah. Arya tercekat dengan wajah yang sempat pias. Namun dia buru-buru menetralkan wajahnya.
" Ada apa? " suara Arya memberat.
" Diza bertemu dengannya kemarin. Dia terluka. Dan sepertinya keadaan bang Tama tidak terlalu baik. " gadis itu memainkan kunci motor ditangannya.
Arya tak menunggu kelanjutan cerita adiknya. Tanpa bicara dia segera masuk dan mematikan laptop. Menyambar jaket yang selalu tergantung di dekat pintu tengah dan berteriak agar Diza segera menutup jendela.
Sambil tersenyum lebar gadis itu kembali masuk ke rumah. Seharusnya dia bercerita sejak pulang mengantar Tatiana dua hari lalu. Arya tidak butuh penjelasan lebih lanjut. Nama Tama sudah membuatnya bergerak cepat.
Motor yang dikendarai Arya melewati jalan setapak yang cukup baik. Katanya itu jalan penghubung dengan pemukiman yang disebutkan adiknya tadi. Diza bertindak sebagai pemandu jalan dan mereka tiba di sebuah rumah kosong di tikungan sebuah gang.
Rumah semi permanen yang terbengkalai. Suasana sore yang mulai remang membuat Diza sedikit merinding. Pohon trembesi tumbuh besar di sudut rumah. Semak belukar, kaca jendela yang pecah separuh, rumah gelap tanpa cahaya, cukup membuat pikiran tentang makhluk lain berlompatan liar dikepala Diza.
" Gimana masuknya? " Arya menggumam sambil berusaha mendorong pagar. Namun pagar itu tidak bergerak sama sekali.
" Di situ aja, bang! " Diza menunjuk rekahan pagar yang jadi dua. Mereka menyelipkan tubuh diantara pintu pagar yang patah dan membuat ujung jilbab Diza sempat tersangkut.
Gadis itu mencekal erat lengan Arya yang tetap meneruskan langkah setelah meninggalkan motornya di depan pagar.
" Kamu yakin bang Tama kesini? " Arya memeriksa suasana di kiri rumah. Karena hanya lokasi itu yang sedikit lapang menuju tangga.
" Yakin. Diza sendiri yang nganter. Cuma kemarin ngga sampe masuk. Bang Tama udah nyuruh Diza pulang! " gadis itu berusaha menolak pintu samping yang sepertinya terkunci.
" Lewat belakang aja, Diz! Lewat jalan sini " Arya melipir menuruni undakan di sebelah ujung teras samping yang sudah keropos. Mereka menemukan pintu di bagian belakang.
Langsung terbuka karena memang dibuka oleh seseorang yang berdiri dalam gelap di dalam ruangan. Bau apek menyerbu penciuman keduanya. Aroma ruangan yang sudah begitu lama tidak dibersihkan.
" Kalian_? " suara berat yang terdengar dan tubuh tinggi besar itu sedikit terhuyung menuju pintu.
" Bang Tama! " Arya segera mengenali pria didepannya. Dia menubruk tubuh itu dan memeluknya erat. Diza hanya memperhatikan dari luar pintu.
Arya segera mengurai pelukannya saat Tama mengeluh tertahan. " Oh, maaf, bang! " Arya memapah tubuh pria itu kembali memasuki ruangan.
" Kalian sungguh_ anak-anak kecil dari panti itu? " Tama setengah tertawa menatapi keduanya.
Arya mengangguk. Dadanya masih buncah. Kenangan itu berkelindan tak terkendali dikepalanya. Lekat. Saat dia terburu-buru mencari keberadaan Tama di markas. Sempat dipukul anak buahnya yang berjaga di pintu depan.
Karena tak percaya hubungan sang bos dengan bocah sebelas tahun yang tubuhnya kurus.
Arya menjual informasi dimana lokasi dan hari apa polisi akan melakukan penggerebekan markas yang dicurigai sebagai tempat transaksi penjualan narkoba. Harga yang berimbang saat Tama membuatnya bisa pergi dari kota itu.
" Kalian sedang membalas budi? " Tama terkekeh pelan. Tubuhnya masih sangat sakit. Luka itu hampir rata disekujur tubuhnya. Arya dan Diza kompak menggeleng.
" Kami tidak menganggap ini balasan yang cukup atas kebaikan yang pernah abang lakukan pada kami " jawab Arya sungguh-sungguh.
Tama melebarkan tawa mendengar kata-kata itu. Dia merasa Arya terlalu berlebihan. " Tak ada apa pun yang aku lakukan untuk kalian waktu itu, bocah! " Tama setengah menggumam.
Dia hanya menyediakan mobil dan seorang asistennya memenuhi keinginan Arya yang memohon padanya agar diantar pergi. Meninggalkan panti yang sempat jadi tempat bernaung.
" Apa sebenarnya yang terjadi sekarang, bang? Mengapa abang jauh berada di sini? " Arya memperbaiki duduknya. Tak peduli celananya jadi kotor karena lantai itu penuh debu.
" Markasku direbut seorang lawan " sahut Tama sambil mengeluh. Dia menekan dadanya perlahan.
" Dikhianati? " Diza menatap ingin tahu. Suasana remang dari bias matahari sore di ventilasi rumah menerangi sedikit ruangan itu. Arya menghidupkan senter ponselnya.
Tama tertawa. Menatap tajam Diza penuh penghargaan. " Bocah ini begitu keras kepala. Terima kasih memberiku minum waktu itu, bocah! Juga mengobati sedikit lukaku " Tama menangkupkan sebelah tangannya di dada.
Diza hanya diam. Arya menoleh terlihat sedikit penasaran. " Dia menemukanku sedang dikejar sekawanan monyet. Mereka memang mendapat perintah mengeksekusiku. Saat berusaha kabur bocah ini cukup pintar mengecoh para bedebah itu. Percakapan mereka membuatku menemukan tempat bersembunyi. "
" Abang terluka cukup parah waktu itu. Wajah dan tubuhnya penuh luka. Diza hanya bawa spray buat membersihkan sebagian lukanya " ujar gadis itu pelan sambil menatap kakaknya.
Tama menyeringai. " Kakiku hampir patah. Entah siapa lelaki dan wanita yang datang tergopoh waktu itu. Kaukah yang menyuruh mereka, hei bocah? " Tama melirik. Diza mengangguk.
" Aku tidak tahu harus meminta tolong siapa. Jadi menemui tante Tatiana agar mencarikan abang rumah. Tak mungkin membawa abang ke rumah mereka juga. " aku Diza.
" Mereka pasti menemukan abang disini besok lusa. Sebaiknya abang ikut kami pulang! Abang harus berobat " putus Arya yang ditolak Tama mentah-mentah.
Mereka sempat berdebat sebentar. Sebelum Diza bergerak menekan sebelah kaki Tama yang membuatnya mendelik kesakitan.
" Jangan membantah lagi! Abang bisa mereka habisi jika tetap disini. Abang ngga bisa melawan. Setidaknya obati dulu sampai abang sembuh. Abang ingin membalas kan? " Diza melotot.
Arya melirik adiknya mendengar kalimat terakhir gadis itu. Tama kembali menyeringai. " Aku memang akan membalas mereka, bocah! Kau memang pintar! " ujarnya dingin.
" Kalian serius sekali tentang masa lalu itu? " Tama menatap keduanya bergantian sebelum mereka bergerak.
Diza tertawa pelan. " Jika abang merasa yang kami lakukan sekarang berlebihan, abang bisa membayar sisanya! " pungkasnya membuat Tama terdiam. Dia menyetujui keinginan kedua kakak beradik itu. Meninggalkan tempat itu sebelum malam tiba.
persepupuan compleks... 😒