Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Sedang jatuh cinta
Tidak begitu riuh, namun percakapan itu masih dapat terdengar oleh pendengaran Aza semakin jelas ketika kepingan kesadarannya mulai terbentuk kembali bersama aromatheraphy yang membawanya untuk menapak di bumi.
"Indikasinya kolera..."
"Dia ada minum di rumah mama Nania kemarin?"
"Kurang tau, dok."
"Desa X?" timpal Jagat bertanya.
Suara helaan nafas pendek nan cepat memecah obrolan mereka.
"Hem, sadar...Za...bisa denger gue kan?" Nisa menjauhkan aromatherapy miliknya.
"Gue kena kolera, Ca." Ucap Aza lemah menatap ketiga manusia yang kini ada di ruangan kesehatan bersamanya, tidak perlu diperiksa orang...Aza sudah dapat menebak apa yang dialaminya sekarang.
Aza berusaha bangun dan duduk, "sini gue bantu."
Jagat mengurungkan niatannya untuk membantu Aza karena sudah didahului Nisa, namun dapat Aza lihat kekhawatiran menghiasi wajah pria itu.
"Kamu ada minum air disana, Za?" dokter Dimas meraih selembar hasil lab yang ia bawa ke kota kemarin, "kamu bener. Hasilnya positif," angguk dokter Dimas tersenyum bangga, dokter Alteja benar....profesor Suwitmo benar, Aza sangat membantu disini.
"Air sumur disana mengandung virus vibrio cholerae dengan tingkat tinggi."
"Lo inget kan Ca, genangan deket sumur yang kita liat kemaren? Itu yang selalu diminum hewan ternak, terus kata papanya Nania hewannya kalo mati mereka konsumsi...sanitasi disana juga jelek." Jelas Aza yang rupanya berjalan-jalan meneliti Desa kemarin.
"Iya gue inget Za."
Aza melihat Jagat, "sumurnya harus ditutup bang. Minta warga buat cari sumber air lain...kalo bisa, nanti sanitasi jangan deket sumber air..." kini Aza menatap Nisa dan dokter Dimas, "gue ngga tau ya ini bener apa engga...kayanya sumur itu juga dapet rembesan dari saluran pembuangan..."
"Ya. Udah gitu kamu minum airnya, ngaco!" dokter Dimas mengetuk kepala Aza dengan menggulungkan kertas hasil lab tadi pelan membuat Nisa tertawa.
"Tadinya aku mau uji nyali dok. Seberapa besar tingkat virusnya..." kilah Aza gengsi mengakui ia salah dan Nisa makin tertawa, "enak?"
Jagat menggeleng, disaat-saat begini Aza masih mampu bercanda. Padahal dirinya sudah khawatir.
"Kacau nih anak satu." umpat dokter Dimas sebal pada Aza, "ya udah rehidrasi sekarang...kepaksa kamu stay disini sampai sembuh. Pasangin infusan, Ca. Biar kali ini, calon dokter kita ini cosplay jadi pasien dulu!" pinta dokter Dimas, "ntar nih anak tepar lagi, saya yang kena omel emaknya!" ia melengos pergi.
"Bilang makasih tuh sama om tentara, udah gendong lo yang berat..." ucap Nisa mulai menyiapkan alat infus untuk Aza, "oh iiya, gue ambil dulu sarapan buat lo deh..kali ini jangan dimuntahin! Kasian om Anggar udah capek-capek bikinin nasi tim." Dan Nisa pergi dari sana meninggalkan Aza bersama Jagat yang nyatanya masih setia disana, hanya mereka berdua.
Aza membuang mukanya ke samping lain, entahlah...semakin sini ia merasa semakin canggung terhadap Jagat, bahkan tangannya tak dapat berbohong dengan menunjukan kegugupannya, ia froze.
Tak ada obrolan selain dari kursi yang digeser ke arah ranjang Aza. Dan gadis itu hanya memainkan jemarinya nervous, ia hanya mencoba sibuk sendiri dengan meraih benda sekitarnya termasuk obat yang sempat ia ambil tadi dengan susah payah dari atas lemari.
Aza membaca kandungan, nama obat, pt tempat obat itu diproduksi dan didistribusikan serta tanggal produksi dan expire.
Bahkan Jagat hanya memperhatikannya semakin membuat Aza merasa sesak, pergerakannya seolah terjerat pandangan Jagat, ingin rasanya ia menjerit kencang.
"Kemarin..." Aza mulai bersuara dan menoleh menatap Jagat, tak tahan lagi dengan situasi canggung ini, mana Jagat malah stay disitu bukannya pergi, tak taukah ia sudah deg-degan.
"Hm.." Jagat menunggu Aza melanjutkan kalimatnya. Namun pandangan diantara alis tebal itu seketika membuatnya ciut hingga Aza memilih menunduk saja.
"Abang bilang ada yang mau diomongin, apa?" tanya Aza menelan saliva sulit, tanpa disengaja giginya refleks menggigit bibir bawahnya demi bersiap menerima kenyataan kalau Jagat ingin membicarakan masalah mereka.
"Lupa." Dan jawaban itu praktis membuat Aza mengangkat kedua alisnya beserta pertanyaan tergugup, "ya?"
Si alan! Padahal udah deg-degan duluan!
"Bisa gitu, ya...tapi kalo pake baju ngga lupa kan?" tanya Aza bernada ci biran, Jagat mendengus, "kamu nih. Masih sempat-sempatnya bercanda disaat saya sudah khawatir berat sama kamu, Za."
"Ya?" Aza kembali membeo, sakit kolera rupanya membuat otak Aza mendadak rebahan juga. Suara sedalam lautan tak berdasar itu rupanya berkontribusi besar dalam upaya membuat Aza syok lahir batin, bukan---bukan hanya suaranya saja melainkan padanan kalimat tadi bikin jantungnya tiba-tiba meledak dan seluruh kinerja ototnya melemah.
Apakah rasa khawatir berat Jagat padanya seberat beban bumi? Arghhh! Kenapa ia greget sihh! Pengen nyemilin batu pondasi rasanya!
Jagat tiba-tiba tertawa melihat wajah kebingungan sekaligus syok Aza yang mungkin tidak siap dengan kalimat manis darinya. Baru gitu aja udah melongo apalagi kalo digombalin, "kenapa, aneh ya. Kamu ngga keberatan kalo saya khawatir sama kamu?" tanya Jagat yang langsung digelengi Aza cepat, "engga. Itu artinya bang J punya rasa kemanusiaan." jawab Aza, diantara mereka tak ada yang mau memulai obrolan tentang perjodohan atau tebakan masing-masing.
Tak tau. Rasanya belum siap jika nanti saat bicara, justru jaraklah yang tercipta diantara mereka. Dan Aza juga Jagat tak mau ambil resiko itu. Biarlah semua mengalir seperti seharusnya untuk saat ini, dan mereka nyaman dengan hal itu.
Jagat mengulas senyuman, ada saja jawaban Aza, "kalo khawatir saya melebihi orang pada umumnya?"
Aza mengangguk dengan tak kalah tersenyum manis, "boleh. Sayang juga boleh..." tawanya menggeleng, "bercanda bang."
Namun Jagat sudah terkekeh, "bukankah kalo khawatirnya melebihi orang lain berarti sudah sayang?"
Aza hanya bisa tertawa renyah namun dadanya sudah berdegup kencang tak karuan, "bang J jangan kaya om-om lain, ngga boleh...nanti kharismanya ilang..." Aza menggoyangkan telunjuknya yang dibalas ulasan senyum hangat Jagat.
"Siap dok!" hormatnya, "jadi harus kaku begini?"
Aza tertawa ketika mendapati Jagat menurut padanya.
Nisa datang dan mengacau suasana "Suster datangggg bawa suntikan!" serunya mendorong meja peralatan, dimana Aza langsung menerima cairan infus yang dipasang tepat di punggung tangannya, "emh alus banget tangannya calon dokter kita ini...ngga keliatan deh uratnya..." cibir Nisa yang dihadiahi tepukan tangan lain Aza, "disini peak..." pukk!
"Ngga usah usil casss--cuss dimana-mana ya.." pelotot Aza, ia memang dokter tapi ia pun tak begitu suka dengan suntikan.
"Hahahaha, calon dokter kita takut suntikan penonton!" usil Nisa.
"Makanan datanggg!" Laras ikut masuk kesana namun melihat Aza yang tengah sibuk merecoki Nisa, Jagat mengambil alih nampan berisi sarapan Aza begitupun obatnya.
"Done.. Nikmati bangsal vip kami yang seadanya ya dok..." kekeh Nisa kini sudah selesai memasang infusan. Namun ia juga menaruh ponsel Aza di meja, "takut lo bosen. Ta bawain ponselnya."
"Makasih Ca." Aza mengangguk puas, teman pengertian!
"Sama-sama." Gadis itu pergi kembali mendorong troli keluar dari ruangan.
"Makan dulu, Za."
Aza mengangguk hendak menerima nampan, namun gerakannya terhenti ketika tiba-tiba Jagat sudah menyodorkan sendok berisi nasi tim bercampur tumisan ayam cincang dan sayur sop.
"Aaa.." pinta Jagat, dan kembali Aza dibuat tak berkutik oleh aksinya.
"Ini hangat, jadi tidak perlu dikipasi apalagi ditiup..." ucap Jagat, mulut Aza refleks terbuka untuk menerima suapan dari Jagat.
Bu, pak...Azalea disini. Dan sepertinya saya sedang jatuh cinta padanya. Jagat tersenyum saat sendok itu masuk mulut Aza dan Aza mengunyah isinya.
.
.
.
.
.
.
lanjut