Mungkin ada banyak sekali gadis seusianya yang sudah menikah, begitulah yang ada dibenak Rumi saat ini. Apalagi adiknya terus saja bertanya kapan gerangan ia akan dilamar oleh sang kekasih yang sudah menjalin hubungan bersama dengan dirinya selama lima tahun lamanya.
Namun ternyata, bukan pernikahan yang Rumi dapatkan melainkan sebuah pengkhianatan yang membuatnya semakin terpuruk dan terus meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan. Di masa patah hatinya ini, sang Ibu malah ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang ternyata adalah anak dari salah satu temannya.
Tristan, pewaris tunggal yang harus menyandang status sebagai seorang duda diusianya yang terbilang masih duda. Dialah orang yang dipilihkan langsung oleh Ibunya Rumi. Lantas bagaimana? Apakah Rumi akan menerimanya atau malah memberontak dan menolak perjodohan tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Dengan pakaian serba tertutup dan juga wajah yang tak terlihat sama sekali, Kartika mulai melangkahkan kaki jenjangnya bersama dengan kedua asistennya yang setia mengekori di belakang sana.
Meskipun saat ini hidung mancungnya tertutup oleh masker hitam, namun Kartika masih bisa menghirup aroma yang baginya begitu berbeda jika dibandingkan dengan tempat dimana dirinya tinggali selama ini.
"Tolong pesankan hotel yang paling bagus ya, kalau bisa yang ada di tengah kota supaya aku lebih gampang kalau mau kemana-mana." Permintaan itu keluar dari mulut Kartika tepat saat mereka baru saja berhenti karena harus mencari taksi terlebih dahulu.
"Mba Tika nggak pulang ke rumah aja?" Ririn yang berada di sebelahnya langsung saja memberikan tatapan mematikan pada Indri yang tadi berceletuk dengan asal.
Mereka baru saja tiba, dan rekan kerjanya ini malah berniat ingin membuat suasana hati Kartika memburuk. Tidak kah mereka lupa kalau kepulangannya Kartika saat ini juga untuk berlibur?
"Barang aku tolong dibawakan juga ya, aku pergi sendiri aja." Kalau saja setelah ini Kartika akan sulit untuk mereka hubungi, maka Ririn akan menyalahkan sahabatnya ini. Lihat saja nanti.
"Mba mau kemana? Nggak istirahat dulu? Sebentar lagi juga jam makan siang loh." Iya, Kartika juga tentu mengetahui tentang hal itu, namun sepertinya ia tak peduli sama sekali.
"Kalau barang-barangku udah dimasukkin ke dalam kamar, nanti kunci atau kartu untuk masuk ke kamarnya titipin ke resepsionis aja." Itu adalah kalimat terakhir yang Kartika ucapkan sebelum akhirnya ia mendatangi sebuah taksi dengan logi burung yang sangat khas.
"Mba Rin, itu Mba Tika beneran nggak mau pulang ke rumahnya apa? Sayang banget kalo harua tidur di hotel gitu." Setelah Kartika benar-benar memasuki kendaraan beroda empat itu, barulah Indri mendekatkan dirinya pada Ririn yang langsung menjeling dengan malas.
"Kamu ini loh In, kalo mau tanya sesuatu itu tanyain ke aku dulu dong. Ini kalo sampe moodnya Mba Tika jelek, kamu loh ya yang aku salahin." Apa-apaan ini? Bukannya memberikan jawaban pada pertanyaannya yang tadi, Ririn malah justru memarahinya.
Mari tinggalkan Ririn dan Indri yang masih harus mencari taksi yang ukurannya lebih besar karena barang bawaan mereka yang cukup banyak jumlahnya, dan mari beralih pada Kartika yang sedang menikmati pemandangan kota Jakarta.
Ada banyak sekali yang berubah di tempat ini, berbeda sekali seperti yang ia lihat terakhir kali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pindah dan tinggal sangat jauh dari kota kelahirannya ini.
Tapi ada satu hal yang tidak berubah sama sekali, apalagi kalau bukan jalanan yang macet. Sekarang saja taksi yang sedang ia tumpangi harus berhenti total bersama dengan kendaraan lainnya.
"Where you come from, madam?" Sang supir sepertinya sengaja mengajak Kartika untuk mengobrol agar penumpangnya ini tidak merasa jenuh di tengah kemacetan siang ini.
"Saya orang Indonesia asli kok Pak, pakai bahasa Indonesia aja." Dari tempatnya duduk saat ini, Kartika bisa melihat dengan jelas raut terkejut sekaligus kagum dari sang supir yang ada di depan sana.
"Neng nggak kelihatan kaya orang Indonesia loh, eh taunya orang Indonesia asli." Keramahan seperti inilah yang sebenarnya sangat Kartika rindukan dari tanah kelahirannya ini.
"Iya kah? Mungkin karena saya ketutup begini dari ujung kaki sampai ujung kepala." Baru di dalam taksi inilah Kartika melepaskan masker yang ia kenakan sehingga kini wajah cantiknya terpampang dengan sangat nyata.
"Walah, setelah dibuka maskernya malah makin kelihatan bukan orang Indonesianya." Mana bisa Kartika menahan tawanya saat mendengar ucapan jujur yang berasal dari pria paruh baya itu.
"Oh iya neng, ini kan sekolah yang mau didatengi lumayan jauh posisinya kalo dari bandara. Mungkin pas kita nyampe di sana sekolahannya udah bubaran." Senyuman yang tadi masih tertinggal barang sedikit di wajah cantiknya Kartika langsung sirna begitu saja.
Ini masih pukul sepuluh pagi, memangnya jam pulang anak sekolah itu kapan? Kartika tidak mengetahuinya sama sekali, sungguh.
"Iya gapapa Pak, kalau misalnya udah sepi ya kita jalan-jalan aja dulu sebelum nanti anterin saya ke hotel." Penumpang adalah raja, jadi si supir hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan lalu mulai kembali fokus ke jalanan di depan sana.
Mobil terus melaju sampai melewati salah satu gerbang masuk perumahan yang sangat terkemuka di kawasan ini. Perumahan yang terkenal dihuni oleh orang-orang kalangan atas, yang memiliki kekayaan di atas rata-rata.
Di sanalah dirinya pernah tinggal dulu, di sanalah rumah yang tadi Indri pertanyakan padanya. Tapi tak pernah sekalipun Kartika berpikir untuk kembali ke sana setelah apa yang telah ia hadapi selama ini.
"Ini neng, kebetulan saya punya air minum yang masih baru. Siapa tau nengnya mau." Sebotol air mineral Kartika terima saat kendaraan itu kembali berhenti karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah.
"Makasih, Pak." Memang kebetulan Kartika itu sedang haus sekali, mungkin karena cuaca kota Jakarta hari ini yang cukup terik. Jadi kerongkongan mudah kering.
Ternyata apa yang dikatakan oleh supir taksi ini ada benarnya, sekolah yang akan mereka datangi ini posisinya jauh sekali. Bahkan perumahan tempat keluarganya tinggal pun sudah jauh tertinggal, tetapi sepertinya mereka masih belum tiba juga.
Kartika jadi merasa heran, kenapa Tristan menyekolahkan Joyie jauh sekali begini? Tapi kalau dipikir-pikir tidak terlalu jauh juga jika ditempuh dari rumah kedua orang tuanya Tristan.
"Nah udah sampe, neng." Kartika terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ia tak sadar kalau taksi ini sudah berhenti di depan sebuah bangunan yang ukurannya sangatlah besar.
Akhirnya. Akhirnya Kartika bisa melihat secara langsung bagaimana rupa sekolahan tempat Joyienya menempuh pendidikan selama ini.
"Kayanya bener deh ini udah pada bubaran, udah sepi soalnya neng. Tinggal beberapa mobil aja noh yang ada di sana." Iya, Kartika juga tahu karena saat ini ia pun sedang melihat ke arah yang sama.
Apakah dirinya benar-benar terlambat? Apakah Joyie juga sudah pulang ke rumah seperti teman-temannya yang lain?
"Kita tunggu sebentar ya Pak, saya mau mastiin sesuatu. Kalau misalnya memang nggak ada, kita balik aja." Matanya langsung ia pertajam karena Kartika tidak mau melewati kesempatannya sama sekali.
Padahal sekolahan sudah benar-benar sepi dan sepertinya pun sudah tidak ada lagi murid yang tertinggal di dalam gedung itu.
"Itu." Suara Kartika memelan kala ia menemukan entitas seseorang yang pernah ia lihat sebelumnya, tapi dimana.
Ah benar, Kartika baru bisa mengingatnya sekarang. Wanita itu kan yang kemarin Ririn katakan padanya, wanita yang ia ketahui sedang dekat dengan Tristan saat ini.
Netra Kartika yang semula tengah menyipit lantas membelalak dengan sempurna saat melihat seorang gadis kecil yang berlari dengan senyuman cerah di wajahnya ke arah wanita yang tidak ia kenali itu.
Itu Joyienya, gadis kecil yang selama ini begitu Kartika rindukan keberadaannya. Hatinya begitu nyeri saat melihat bagaimana bahagianya Joyie saat wanita itu mensejajarkan tinggi mereka lalu merengkuh tubuh kecilnya dengan penuh kehangatan.
Oh astaga, ternyata apa yang selanjutnya terjadi malah membuat hatinya semakin sakit. Tristan datang bersama dengan sebuket bunga mawar merah muda di tangannya yang kemudian ia berikan pada wanita yang sudah tidak memeluk Joyie lagi.
"P-pak, pergi sekarang aja." Sudah tidak sanggup lagi, Kartika memilih untuk menghentikannya sekarang juga dan menyuruh sang supir kembali melajukan mobil agar segera meninggalkan tempat ini.
Ketiga orang yang tadi ia lihat nampak begitu bahagia dengan wajah yang saling melemparkan senyuman antara satu sama lainnya dan itu membuat cairan bening langsung menggenangi pelupuk matanya.
Bukan hal itu yang ingin Kartika lihat saat dirinya mendatangi sekolah Joyie. Bukan keharmonisan yang seharusnya ia yang merasakannya.
Berarti yang Ririn katakan padanya beberapa waktu lalu bukanlah rumor belaka, karena Kartika sudah membuktikannya sendiri.
Tapi kalau saja boleh jujur, Kartika tidak bisa menerimanya begitu saja. Hatinya marah, ingin sekali rasanya Kartika menampar wanita yang tadi tersenyum dengan begitu lembut pada Tristan dan juga Joyienya.
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih