Meraih Mimpi
" Dek! " sapaan lembut dari pintu depan membuat seorang anak perempuan enam tahun mengangkat kepalanya dari pasir yang dibuatnya menjadi bangunan kecil. Matanya yang dihiasi bulu lentik membelalak indah.
" Wah, ayam goreng! " dengan gerakan tangkas dia mengibaskan tangan ke baju, membuang pasir yang menghuni sela jemarinya lalu berlari menuju pintu.
" Ayo, cuci tangan dulu! " Arya duduk diatas lantai dapur sambil meletakkan dua potong sayap ayam goreng ke dalam dua piring plastik. Mengisi piring dengan nasi dari dalam periuk kecil yang dia turunkan dari atas dapur.
" Abang udah ada duit? Udah bisa beli ayam? " gadis kecil itu berceloteh riang. Arya tersenyum sambil mengangguk.
" Ya, dek! Mulai sekarang abang ada kerjaan. Jadi setiap hari kamu harus ikut abang berangkat. Karena tempatnya agak jauh dari sini. " anak lelaki sebelas tahun itu menatap adiknya lembut.
Diza mengangguk mantap. Tak ada yang dia patuhi selain kakaknya. Apa yang dikatakan Arya dia yakin pasti terbaik untuknya. Pemahaman itu sudah tertanam sejak lama dibenaknya.
Selesai makan tangan mungil Diza terampil membereskan dua piring miliknya dan Arya untuk dicuci. Tak ada cerita manja untuk mereka. Sudah sejak lama nikmat bermain dunia anak-anak itu tercerabut. Walau tidak pernah membuat dirinya mencari uang namun Diza sadar diri agar tidak merepotkan kakaknya yang bekerja keras menghidupi mereka.
Malam menjelang. Arya yang selesai mengimami sholat isya mengajak adiknya membuka buku. Melanjutkan kegiatan belajar. Setengah delapan malam Arya memadamkan pelita yang menerangi rumah tua itu dan tidur di sebelah adiknya. Untuk kembali bangun menjelang subuh.
Alarm otomatis itu sudah tertanam sejak dia masih tinggal di panti asuhan di kota. Bedanya sekarang dia bangun dalam keadaan tenang karena tak akan ada yang menunggunya di muka pintu dengan wajah bengis. Menyiapkan kaleng dan berganti baju untuk pergi mengemis di perempatan.
Arya menggoyang tubuh adiknya yang masih bergelung. Bangun berdua dan pergi mandi di sebuah kolam di belakang rumah. Arya mengajak adiknya sholat subuh sebelum berkemas untuk berangkat menuju tempat yang dia katakan semalam.
Tak ada protes apa pun dari Diza. Mengikuti Arya adalah jalan keselamatan yang dia tahu dalam hatinya. Seperti pelarian yang mereka lakukan setahun lalu. Tangan kecil itu tak tahu apa yang terjadi. Tapi genggaman erat dan tatapan cemas dari mata kakaknya membuat denting waspada itu tumbuh sebagai naluri perlindungan diri.
Diza pontang-panting mengiringi langkah cepat Arya menyusuri jalan gelap menjauhi bangunan besar di belakang mereka. Bertemu seorang lelaki dewasa dengan tampang sangar yang hanya melirik mereka dengan acuh. Tanpa bicara membawa mereka berdua menaiki mobil dan meninggalkan jalan tanpa henti kendaraan itu menjauhi keramaian kota.
Mata lentik itu memperhatikan jalan yang mereka lewati. Keluar dari jalan setapak yang menjadi akses dari rumah tua di belakang mereka, keduanya kembali menyusuri jalan raya yang masih begitu lengang.
Hari masih remang-remang, namun penglihatan mereka yang sudah terbiasa dalam gelap tidak kesulitan melewati jalan setapak sebelumnya. Rumah-rumah, bangunan kantor, berdiri megah di kiri kanan jalan.
Keringat mulai menetes di dahinya. Namun Diza tidak mengeluh. Kaki kecilnya sudah terbiasa berjalan kaki cukup jauh.
Seperti saat dulu mengikuti seorang gadis tanggung menyusuri jalanan membawa kaleng di tangan.
Ingatan itu timbul tenggelam dalam kepalanya. Diza memperhatikan rumah yang akan mereka masuki. Arya membuka pagarnya lebar. Kembali menggandeng tangan itu untuk melintasi halaman dan membuka pintu gudang di samping bangunan rumah.
Arya mengeluarkan peralatan untuk membersihkan rumput yang memang tinggi di depan rumah. Diza membantu menggotong cangkul yang ditinggal Arya karena tangannya tak cukup besar membawa sabit, parang juga serokan sampah.
" Terima kasih, dek! Sekarang kamu duduk saja di sana. Abang kerja dulu " Arya menunjuk bangku taman dari semen di samping kiri rumah. Diza mengeluarkan buku dari kantong kresek. Belajar membaca.
Nyaris dua minggu kesibukan harian itu mereka lakoni. Pergi saat masih gelap, pulang ketika sore. Saat pagi mulai menyapa, seorang wanita dengan wajah keibuan akan mendekati mereka membawa sarapan. Bercakap-cakap sebentar dengan Arya kemudian pergi.
Datang lagi jika hari siang. Membawa dua nasi bungkus dan menemani mereka makan sebentar lalu pulang. Hari itu sebuah mobil sudah terparkir di depan teras saat mereka tiba.
Seorang lelaki berumur enam puluhan duduk di kursi di depan rumah. Menatap keduanya dengan takjub. Memanggil istrinya dan mereka berbincang serius. Diza tidak berani mendekat. Dia hanya duduk di kursi taman sejak pertama kali datang. Memperhatikan Arya bekerja atau duduk membaca. Sesekali iseng membantu kakaknya.
Pekerjaan Arya memangkas rumput sudah selesai sejak seminggu lalu. Namun dia ternyata diserahi tugas menanami halaman depan rumah dengan bunga dan apotek hidup di belakang.
Siang hari mereka dipanggil naik ke dalam rumah. Diza yang sudah mencuci tangan dan kaki bersama Arya di keran depan duduk di kursi makan. Seorang wanita paruh baya sibuk bolak-balik membawa mangkuk dan piring berisi lauk keatas meja makan.
Sambil menikmati makan siang itu mereka berbincang ringan. " Kalian setiap hari pulang pergi jalan kaki kesini? " wanita yang mengenalkan diri sebagai Masayu itu menatap keduanya bergantian. Arya mengangguk.
" Saya tak mungkin meninggalkan Diza di rumah seharian, nek! " jawab Arya sopan.
" Di mana orang tua kalian? " Dirga, suaminya bertanya dalam suara berat namun hangat. Diza menatap kakaknya lamat-lamat.
" Kami diantar ke panti asuhan saat umur Diza dua tahun lebih. Ibu sudah pergi setengah tahun sebelumnya. " Arya meraih gelas di depannya. Mengingat masa lalu selalu membuatnya tercekik.
" Pergi itu kemana? " Masayu menahan mulutnya agar tidak mengucap minggat atau meninggal. Dia tahu keduanya mulai merasa tertekan.
" Keluar negeri. Bekerja " lirih Arya. Dia tak akan mengatakan bahwa ibunya dipaksa berangkat oleh ayahnya sebagai pekerja di negeri tirai bambu.
" Ayahmu? " Dirga menghela napas panjang. Diza menunduk. Dia tidak sedih kehilangan orang tua. Dia tidak tahu mengapa hatinya kebas jika mengingat keduanya. Namun Diza tidak bisa jika melihat mata Arya berkabut luka. Hatinya ikut berdenyut sakit.
" Ayah yang mengantar kami ke panti bersama teman wanitanya. " Arya tersenyum canggung. Ingatan itu selalu melumat hatinya. Arya menerima jika dia tidak diinginkan. Namun Diza, adiknya masih begitu kecil jika dipaksa meninggalkan rumah.
Namun naluri melindungi itu tak bisa dibantah. Arya lebih khawatir Diza ditangan keluarga ayahnya daripada di panti bersamanya. Arya bisa menjaga adiknya seperti permintaan terakhir ibunya.
Selaras dengan permintaan istri kedua ayahnya yang tak ingin ada Diza diantara mereka, Arya merengkuh tubuh kecil adiknya untuk masuk ke panti bersama. Di sanalah mereka tinggal hingga teror itu membuat Arya mengambil langkah nekat. Kabur dari panti membawa adiknya.
Masayu mengerjapkan mata tuanya. Dia mengangguk menatap suaminya yang sejak tadi melihat kearahnya dengan tatapan dalam. " Nanti sore, kakek akan ikut Arya pulang ke rumah. Kemasi barang-barang kalian di sana. Mulai besok, kita akan tinggal bersama! " suara lembut Masayu yang tegas membuat kedua anak itu menoleh kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Lestari Setiasih
baru baca sdh sedih
2024-07-27
0
Jasmin
keren Thor ..
2024-05-11
0